Tafsir Kontemporer; Biografi Muhammad Shahrur
November 16, 2014
Add Comment
Faquha.site -Dinamika kajian al-Qur’an sepertinya memang tidak akan
pernah mengalami kejumudan. Dari masa ke masa selalu saja ada yang baru seputar
kajian al-Qur’an ini. Hal itu tidak terlepas dari faktor sosiokultural dan
sosiopolitis yang mengikat para mufassir yang menginterpretasikan
al-Qur’an pada masanya.
Selain itu latar belakang (pendidikan) para penafsir tentu
sangat mempengaruhi model dan corak penafsiran mereka. Seorang faqih misalnya,
akan menafsirkan al-Qur’an dengan coraknya yang bernuansa hukum. Begitu pula
seorang filsuf, sufi maupun pakar linguistik. Suatu penafsiran tentu akan
sangat dipengaruhi oleh cakrawala (horison) sang penafsir.
Adalah Muhammad Shahrur, seorang intelektual Muslim asal
Syria yang mencoba menawarkan Theory of Limit dalam memahami al-Qur’an.
Metode yang ia tawarkan tidak terlepas dari latar belakang ilmu yang ia
pelajari dan ia kuasai, yaitu linguistik dan sains.
Model penafsiran seperti ini merupakan produk penafsiran
modern. Terlepas dari itu, menurutnya, umat Islam sudah bukan saatnya lagi
terpenjara dalam kebenaran yang diterima apa adanya. Dengan kata lain ada
beberapa ajaran (dogma) agama yang kiranya perlu dikaji ulang untuk memperoleh
pemahaman yang lebih relevan.
Tak ayal, gagasan-gagasan yang diusung oleh Muhammad Shahrur
mengundang perhatian untuk kita telaah. Namun dalam makalah ini penulis
membatasi ruang lingkup pembahasan ke dalam tiga bagian, yakni: (1) apa yang
dimaksud dengan teori limit menurut Muhammad Shahrur dan bagaimana
aplikasinya? (2) bagaimana Muhammad Shahrur menyikapi permasalahan
poligami? (3) waris dalam al-Qur’an di mata Muhammad Shahrur.
Makalah ini ingin menguji pertanyaan apakah Muhammad Shahrur
memiliki pedekatan teori limit dalam menafsirkan ayat-ayat yang
berkenaan dengan masalah-masalah di atas. Selain itu, masalah poligami maupun
waris bukanlah hal yang tabu di telinga para pengkaji tafsir ataupun para
pengkaji hukum Islam.
Hanya saja di sini kiranya perlu kita tahu apakah beliau
punya pandangan tersendiri yang berbeda dari yang lain atau justru mendukung
pendapat para ulama sebelumnya. Adapun manfaat dari kajian ini diantaranya
adalah mengetahui sejauh mana konsistensi Shahrur dengan pendekatan yang ia
tawarkan di dalam penafsiran jika dilihat dari aplikasinya.
Biografi M. Shahrur Latar Belakang Sosialnya
Syria dengan ibu kota Damaskus, tercatat sebagai negara yang
memiliki pengaruhluar biasa di blantika pemikiran dunia Islam, baik sosial,
politik, budaya, dan intelektual. Kehadiran Muhammad Shahrur menjadi bukti
bahwa Syria merupakan negara yang menerima ide-ide segar yang muncul dalam
pemikiran Islam.
Pendidikan awal Syahrur
ditempuh di kota kelahirannya, Pada Maret 1958 dengan beasiswa dari pemerintah
ia pergi ke Uni Soviet untuk mempelajari Teknik Sipil (Hadanah Madaniyah) di
Moskow.
Pada 1964, Shahrur menyelesaikan diplomanya di bidang teknik
tersebut dan kembali ke Syria pada tahun 1965 serta mulai mengabdi di
Universitas Damaskus. Pada tahun yang bersamaan, Shahrur melanjutkan
studi ke Irlandia tepatnya di Universitas College, Dublin dalam bidang studi
yang sama. Pada 1967, Shahrur berhak melakukan penelitian pada Imparsial
College, London, Inggris. Karena pada tahun itu, terjadi konflik politik antara
Syria-Inggris, lalu ia keluar dari Inggris
Gelar Magisternya ia dapat pada 1969 dan gelar Doktoralnya
pada 1972 dan sejak itulah Shahrur kembali ke Damaskus, kota kelahirannya.,
Shahrur diangkat menjadi dosen di fakultas Teknik Sipil, Universitas Damaskus
di bidang mekanika tanah dan dasar bumi sejak 1972 sampai sekarang.
Dari hasil
belajarnya diluar negeri, ia tidak hanya belajat teknik sipil, akan tetapi ia
juga belajar ilmu Filsafat, Fiqh Lughah, dan ilmu Linguistik. Ia
menguasai dua macam bahasa selain bahasa Arab yaitu bahasa Rusia dan bahasa Inggris.
Meskipun dasar
pendidikan Muhammad Shahrur adalah teknik, namun ia tidak berarti ia sama
sekali kosong mengenai wawasan keislaman. Maka tak heran jika akhirnya ia
tertarik untuk mengkaji al-Qur’an dan Hadis secara lebih serius dengan
pendekatan filsafat bahasa dan dibingkai dengan teori ilmu eksaktanya, bahkan
ia juga menulis dan artikel tentang pemikiran keislaman
Konsen Shahrur
terhadap kajian ilmu keislaman sebenarnya dimulai sejak ia berada di Dublin,
Irlandia pada 1970-1980 ketika mengambil program magister dan doktoralnya. Di
samping itu, peranan temannya Dr. Ja’far Dik al-Bab juga sangat besar.
Sebagaimana diakuinya, berkat pertemuannya dengan Ja’far pada 1958 dan 1964,
Shahrur dapat belajar banyak tentang ilmu-ilmu bahasa dalam masa mengenyam
studi di Moskow.
Karya-karyanya
Buku pertama yang ia terbitkan adalah al-Kitab wa
al-Qur’an: al-Qira’ah al-Mu’asirah pada tahun 1990. Pada tahun 1994,
Shahrur merampungkan buku keduanya dengan judul Dirāsat Islāmiyah
Mua’sirah fi al-Daulah wa al-Mujtama. Di tahun 1996 Shahrur
meluncurkan buku ketiganya yang berjudul al-Islām wa al-Iman: Manzûmah
al-Qiyām. Buku terakhir Shahrur, Nahw Usul Jadîdah LiI
al-Fiqh al-Islāmi, ditulis pada tahun 2000.
Dasar Pemikiran Muhammad Shahrur
Dalam melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an, Shahrur
menjadikan linguistik sebagai dasar pandangan dalam membaca al-Qur’an (manhaj
lughawi). Metode Shahrur yang disebut sebagai al-manhaj at-tarikh al-ilmi merupakan
sebuah metode yang digali dari teori linguistik Ibn Jinni dan a-Jurjani.
Kristalisasi dari kedua tokoh tersebut menyatu menjadi teori Farisian yang
dikembangkan oleh Abu al Farisi, Shahrur menganut prinsip sebagai berikut: pertama: Bahwa
bahasa merupakan sebuah sistem (anna al-lughah nizam). Kedua: Bahasa
merupakan fenomena sosiologis dan kontruksi bahasanya sangat terkait dengan
konteks di mana bahasa itu disampaikan.
Ada keterkaitan (at-talāzum) antara bahasa dan
pemikiranJadi bahasa tidak tumbuh dalam satu masa, tetapi berkembang dalam
kurun waktu yang berkesinambungan. Selanjutnya yang
melatarbelakangi Shahrur dalam pemikirannya adalah kondisi Ortodoksi agama, dia
mengatakan:
“Saat ini kita selalu berposisi sebagai konsumen material
sekaligus pemikiran-pemikiran generasi terdahulu. Ortodoksi yang selama ini
kita pahami adalah seruan untuk mengikuti langkah generasi terdahulu tanpa
memperhatikan dimensi ruang dan waktu”.
Shahrur mengkritik Kaum Salafi yang tidak lain
mereka hanyalah pengekor (muqallid) yang mengabaikan aspek ruangdan
waktu, dan tidak menghargai peranan akal. Tidak seharusnya kaum salafi yang
hidup pada abad ke-20 meniru generasi yang hidup pada abad ke-7 secara membabi
buta, karena kondisinya sangat berbeda.
Betapapun kita berusaha, tetap tidak akan mampu membangun
persepsi yang sama dengan mereka yang hidup pada abad ke-7. Akhirnya
mereka tak ubahnya seperti “kedengkian seekor gagak untuk bisa meniru suara
bulbul. Tetapi karena tidak bisa maka ia berniat untuk kembali menjadi gagak.
Sayang, ia lupa caranya. Sampai di sini statusnya menjadi kabur, bukan gagak
bukan pula bulbul. Mereka jadi takluk dengan zamannya sendiri”
Mereka
mensakralkan ortodoksi dan menganggapnya sebagai satu-satunya solusi, maka
mereka hanyalah bagian lain dari generasi salaf yang seakan-akan hidup bukan
pada zamannya. Tak ada satu pun prestasi yang mereka raih dan tetap
tidak mampu menyelesaikan problem sosial kemasyarakatan kontemporer. Menurut Shahrur Saat ini kaum muslimin sedang
mengalami krisis ilmu fiqh. butuh fiqh kontemporer dan pemahaman mengenai sunnah
Nabi.
0 Response to "Tafsir Kontemporer; Biografi Muhammad Shahrur"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR