-->

Tafsir Kontemporer; Biografi Muhammad Shahrur

Faquha.site -Dinamika kajian al-Qur’an sepertinya memang tidak akan pernah mengalami kejumudan. Dari masa ke masa selalu saja ada yang baru seputar kajian al-Qur’an ini. Hal itu tidak terlepas dari faktor sosiokultural dan sosiopolitis yang mengikat para mufassir yang menginterpretasikan al-Qur’an pada masanya.

Selain itu latar belakang (pendidikan) para penafsir tentu sangat mempengaruhi model dan corak penafsiran mereka. Seorang faqih misalnya, akan menafsirkan al-Qur’an dengan coraknya yang bernuansa hukum. Begitu pula seorang filsuf, sufi maupun pakar linguistik. Suatu penafsiran tentu akan sangat dipengaruhi oleh cakrawala (horison) sang penafsir.



Adalah Muhammad Shahrur, seorang intelektual Muslim asal Syria yang mencoba menawarkan Theory of Limit dalam memahami al-Qur’an. Metode yang ia tawarkan tidak terlepas dari latar belakang ilmu yang ia pelajari dan ia kuasai, yaitu linguistik dan sains.

Model penafsiran seperti ini merupakan produk penafsiran modern. Terlepas dari itu, menurutnya, umat Islam sudah bukan saatnya lagi terpenjara dalam kebenaran yang diterima apa adanya. Dengan kata lain ada beberapa ajaran (dogma) agama yang kiranya perlu dikaji ulang untuk memperoleh pemahaman yang lebih relevan. 

Tak ayal, gagasan-gagasan yang diusung oleh Muhammad Shahrur mengundang  perhatian untuk kita telaah. Namun dalam makalah ini penulis membatasi ruang lingkup pembahasan ke dalam tiga bagian, yakni: (1) apa yang dimaksud dengan teori limit menurut Muhammad  Shahrur dan bagaimana aplikasinya? (2) bagaimana Muhammad Shahrur menyikapi permasalahan poligami?  (3) waris dalam al-Qur’an di mata Muhammad Shahrur. 

Makalah ini ingin menguji pertanyaan apakah Muhammad Shahrur memiliki pedekatan teori limit dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah di atas. Selain itu, masalah poligami maupun waris bukanlah hal yang tabu di telinga para pengkaji tafsir ataupun para pengkaji hukum Islam. 

Hanya saja di sini kiranya perlu kita tahu apakah beliau punya pandangan tersendiri yang berbeda dari yang lain atau justru mendukung pendapat para ulama sebelumnya. Adapun manfaat dari kajian ini diantaranya adalah mengetahui sejauh mana konsistensi Shahrur dengan pendekatan yang ia tawarkan di dalam penafsiran jika dilihat dari aplikasinya.

Biografi M. Shahrur  Latar Belakang Sosialnya

Syria dengan ibu kota Damaskus, tercatat sebagai negara yang memiliki pengaruhluar biasa di blantika pemikiran dunia Islam, baik sosial, politik, budaya, dan intelektual. Kehadiran Muhammad Shahrur menjadi bukti bahwa Syria merupakan negara yang menerima ide-ide segar yang muncul dalam pemikiran Islam.

Pendidikan awal Syahrur ditempuh di kota kelahirannya, Pada Maret 1958 dengan beasiswa dari pemerintah ia pergi ke Uni Soviet untuk mempelajari Teknik Sipil (Hadanah Madaniyah) di Moskow.

Pada 1964, Shahrur menyelesaikan diplomanya di bidang teknik tersebut dan kembali ke Syria pada tahun 1965 serta mulai mengabdi di Universitas Damaskus.  Pada tahun yang bersamaan, Shahrur melanjutkan studi ke Irlandia tepatnya di Universitas College, Dublin dalam bidang studi yang sama. Pada 1967, Shahrur berhak melakukan penelitian pada Imparsial College, London, Inggris. Karena pada tahun itu, terjadi konflik politik antara Syria-Inggris, lalu ia keluar dari Inggris

Gelar Magisternya ia dapat pada 1969 dan gelar Doktoralnya pada 1972 dan sejak itulah Shahrur kembali ke Damaskus, kota kelahirannya., Shahrur diangkat menjadi dosen di fakultas Teknik Sipil, Universitas Damaskus di bidang mekanika tanah dan dasar bumi sejak 1972 sampai sekarang.
Dari hasil belajarnya diluar negeri, ia tidak hanya belajat teknik sipil, akan tetapi ia juga belajar ilmu Filsafat, Fiqh Lughah, dan ilmu Linguistik. Ia menguasai dua macam bahasa selain bahasa Arab yaitu bahasa Rusia dan bahasa Inggris.

Meskipun dasar pendidikan Muhammad Shahrur adalah teknik, namun ia tidak berarti ia sama sekali kosong mengenai wawasan keislaman. Maka tak heran jika akhirnya ia tertarik untuk mengkaji al-Qur’an dan Hadis secara lebih serius dengan pendekatan filsafat bahasa dan dibingkai dengan teori ilmu eksaktanya, bahkan ia juga menulis dan artikel tentang pemikiran keislaman

Konsen Shahrur terhadap kajian ilmu keislaman sebenarnya dimulai sejak ia berada di Dublin, Irlandia pada 1970-1980 ketika mengambil program magister dan doktoralnya. Di samping itu, peranan temannya Dr. Ja’far Dik al-Bab juga sangat besar. Sebagaimana diakuinya, berkat pertemuannya dengan Ja’far pada 1958 dan 1964, Shahrur dapat belajar banyak tentang ilmu-ilmu bahasa dalam masa mengenyam studi di Moskow.

Karya-karyanya

Buku pertama yang ia terbitkan adalah al-Kitab wa al-Qur’an: al-Qira’ah al-Mu’asirah pada tahun 1990. Pada tahun 1994, Shahrur merampungkan buku keduanya dengan judul Dirāsat Islāmiyah Mua’sirah fi al-Daulah wa al-Mujtama. Di tahun 1996 Shahrur meluncurkan buku ketiganya yang berjudul al-Islām wa al-Iman: Manzûmah al-Qiyām.  Buku terakhir Shahrur, Nahw Usul Jadîdah LiI al-Fiqh al-Islāmi, ditulis pada tahun 2000.

Dasar Pemikiran Muhammad Shahrur

Dalam melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an, Shahrur menjadikan linguistik sebagai dasar pandangan dalam membaca al-Qur’an (manhaj lughawi). Metode Shahrur yang disebut sebagai al-manhaj at-tarikh al-ilmi merupakan sebuah metode yang digali dari teori linguistik Ibn Jinni dan a-Jurjani. Kristalisasi dari kedua tokoh tersebut menyatu menjadi teori Farisian yang dikembangkan oleh Abu al Farisi, Shahrur menganut prinsip sebagai berikut: pertama: Bahwa bahasa merupakan sebuah sistem (anna al-lughah nizam). Kedua: Bahasa merupakan fenomena sosiologis dan kontruksi bahasanya sangat terkait dengan konteks di mana bahasa itu disampaikan.

Ada keterkaitan (at-talāzum) antara bahasa dan pemikiranJadi bahasa tidak tumbuh dalam satu masa, tetapi berkembang dalam kurun waktu yang berkesinambungan. Selanjutnya yang melatarbelakangi Shahrur dalam pemikirannya adalah kondisi Ortodoksi agama, dia mengatakan: 

“Saat ini kita selalu berposisi sebagai konsumen material sekaligus pemikiran-pemikiran generasi terdahulu. Ortodoksi yang selama ini kita pahami adalah seruan untuk mengikuti langkah generasi terdahulu tanpa memperhatikan dimensi ruang dan waktu”.

Shahrur mengkritik Kaum Salafi yang tidak lain mereka hanyalah pengekor (muqallid) yang mengabaikan aspek ruangdan waktu, dan tidak menghargai peranan akal. Tidak seharusnya kaum salafi yang hidup pada abad ke-20 meniru generasi yang hidup pada abad ke-7 secara membabi buta, karena kondisinya sangat berbeda.

Betapapun kita berusaha, tetap tidak akan mampu membangun persepsi yang sama dengan mereka yang hidup pada abad ke-7. Akhirnya mereka tak ubahnya seperti “kedengkian seekor gagak untuk bisa meniru suara bulbul. Tetapi karena tidak bisa maka ia berniat untuk kembali menjadi gagak. Sayang, ia lupa caranya. Sampai di sini statusnya menjadi kabur, bukan gagak bukan pula bulbul. Mereka jadi takluk dengan zamannya sendiri”

Mereka mensakralkan ortodoksi dan menganggapnya sebagai satu-satunya solusi, maka mereka hanyalah bagian lain dari generasi salaf yang seakan-akan hidup bukan pada zamannya. Tak ada satu pun prestasi yang mereka raih dan tetap tidak mampu menyelesaikan problem sosial kemasyarakatan kontemporer. Menurut Shahrur Saat ini kaum muslimin sedang mengalami krisis ilmu fiqh. butuh fiqh kontemporer dan pemahaman mengenai sunnah Nabi. 
      

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Tafsir Kontemporer; Biografi Muhammad Shahrur"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel