Bekal Manusia sebagai Khalifah; Tafsir Kata al-Asma
May 25, 2015
Add Comment
Faquha.site
- Setelah menciptakan Adam dan
menjelaskan tugas-tugasnya yakni sebagai Khalifah, Allah tidak melepaskannya
begitu saja untuk menjalani kehidupan di muka bumi tanpa disertai bekal yang
cukup. Artinya,
Allah tidak memberikan beban amanat tersebut (sebagai khalifah) tanpa disertai
dengan perbekalan yang memadai.
Untuk semua tugasnya itu Allah
memberikan bekal yang cukup selama menjalani tugas kekhalifahan. Proses
pembekalan itu terekam dalam surat al-Baqarah ayat 31:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam “al-Asma” (nama-nama/benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat
lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
mamang benar orang-orang yang benar!"
Yang menjadi fokus kita di sini
adalah kata wa’allama
Ȃdama al-asmâa kullahâ.
Beberapa ulama menafsirkan kata “al-Asma”
yaitu bahwa Allah telah memberi tahu Adam jika dalam hidupnya nanti akan
dihadapkan pada berbagai cobaan yang amat berat. Dalam menghadapi cobaan-cobaan
itu, bekal yang paling pertama diberikan kepada Adam adalah al-asmâa.
Apa yang dimaksud dengan al-asmâa?
Menurut Muhammad
ibn Ahmad al-Qurthuby dalam Tafsirnya “Al-Jâmi’
Li Ahkâm Al-Qur’ân”, al-asmâa adalah lafal
istighfar, bacaan-bacaan mulia, tahlil, tahmid dan tasbih yaitu subhânallâh walhamdulillâh walâilâha
illallâh wallâhu akbar.[1]
Ini semua adalah kalimat-kalimat
suci, simpul-simpul suci yang dengannya Adam bisa menjadi struggle, fight, berjuang keras dan mampu istiqamah. Allah tidak
ingin Adam menghadapi ombak kehidupan yang begitu keras dengan tangan kosong,
karena hal itu akan membuatnya rapuh. Harus ada kekuatan-kekuatan yang akan
menopang kedua kakinya ketika menapaki kehidupan yang penuh dengan guncangan
dan badai.
Pembekalan kepada Adam berarti juga
bekal bagi manusia secara keseluruhan. Untuk itulah, uraian di atas adalah
sebuah pijakan bagi kita untuk memiliki pandangan positif terhadap kehidupan
ini. Artinya, harus ada keyakinan dalam diri bahwa tidak semata-mata Allah
melepaskan kita ke muka bumi tanpa bekal dan persiapan.
Allah itu Maha Pengasih, Maha Penyayang,
dimana dengan kedua sifat itu mustahil bagi Allah untuk melepaskan Adam
(manusia) di muka bumi tanpa bekal.
Allah tentunya Maha Mengetahui
bahwa medan kehidupan dunia sungguh sangat berat. Beragam masalah akan dijumpai
oleh manusia. Hari-hari manusia adalah saat-saat menjalani masalah, baik itu
masalah individu, maupun masalah sosial. Untuk itulah, Allah memberikan bekal
berupa kalimat-kalimat suci yang dapat dipergunakan untuk menaklukan berbagai
persoalan kehidupan. Kalimat-kalimat suci ini adalah amunisi yang setiap saat
dapat dipergunakan manusia dalam mengatasi permasalahan hidupnya.
Prosedur
Kalimat-kalimat (al-Asma) menjadi senjata Ampuh
Lalu, bagaimanakah prosedur
penggunaan kalimat-kalimat suci tersebut agar bisa dijadikan senjata ampuh
menyelesaikan problematika hidup? Apakah cukup dengan membacanya kemudian semua
masalah tersebut akan lenyap? Ataukah ada prosedur lain yang harus dipenuhi?
Dari penjelasan di atas diperoleh
gambaran prosedur oprasional kalimat-kalimat suci, yaitu bahwa kalimat-kalimat
suci yang akan menjadi bekal hidup kita haruslah dipahami maksud dan tujuannya.
Allah mengajarkan Adam maksud dari kalimat-kalimat suci tersebut. Allah tidak
hanya menyuruh Adam mengamalkan kalimat-kalimat suci tersebut, akan tetapi yang
lebih penting lagi adalah mengerti maksudnya terlebih dahulu.
Dimensi
Spritual Al-Asma
Kalimat-kalimat suci itu hanyalah
seonggok kata yang tidak jauh berbeda dengan kalimat-kalimat lainnya. Ia
tersusun dari huruf-huruf yang kemudian menjadi kata, dan kata-kata tersebut
disusun hingga menjadi sebuah kalimat. Yang membedakan dengan kalimat lainnya
adalah dimensi spiritual yang terdapat di dalamnya.
Kalimat
suci tidak sekedar sebuah kalimat yang dapat dibaca kapan pun, melainkan sebuah
kalimat yang penuh makna, nilai dan
perjuangan, yang akan merubah manusia ke arah yang lebih baik manakala
mengamalkannya. Kalimat suci tersebut ibarat lentera
yang menerangi hati agar senantiasa terjaga akan keagungan Tuhan, sehingga
manusia tidak lagi merasa psimistis dalam menjalani tugas kekhalifahan ini.
Jadi, prosedur penggunaannya adalah mengetahui terlebih dahulu baru kemudian
mengamalkannya.
Dalam kehidupan ini kita akan
menjumpai berbagai cobaan, ujian dan rintangan. Itu semua menjadi garis hidup
umat manusia. Ini adalah keputusan Allah yang sudah final dan tidak bisa
diganggu gugat. Untuk itulah tidak tepat jika kita berusaha menghindarinya.
Justru yang harus kita lakukan adalah menyiapkan diri sekuat mungkin agar
cobaan tersebut dapat ditaklukan sebagaimana Adam menaklukan cobaan-cobaan
hidupnya.
Terkait dengan sikap diri terhadap
ketentuan Allah, Imam Syafi’i, ulama besar dan imam madzhab, memberikan nasihat
yang indah kepada kita. Beliau mengingatkan kita untuk mentabahkan jiwa di saat
qadha telah ditetapkan, karena jika qadha telah turun tak ada yang sanggup
mencegahnya. Tidak juga bumi, tidak juga langit. Ketabahan jiwa dalam
menghadapi musibah akan mengantarkan kita menemukan makna terdalam serta nilai
yang hendak disampaikan Tuhan dari musibah tersebut.
Apa yang disampaikan Imam Syafi’i
di atas sungguh sebuah mutiara hidup yang sangat berharga. Berapa kali kita
mengira bahwa apa yang datang adalah sebuah ketentuan dan akhir dari segalanya.
Namun ternyata itu justru semangat baru, kekuatan, dan survive. Berapa kali kita merasa bahwa jalan yang kita lalui
menjepit, tali yang kita pegang putus, dan bentangan-bentangan cakrawala yang
ada di depan mata tiba-tiba menjadi gelap. Namun ternyata itu adalah
kemenangan, pertolongan, kebaikan dan kabar baik. Kegelapan harus dihadapi
dengan jiwa yang terang. Karena Allah SWT. sudah menjanjikan akan membantu
setiap kita: QS. Al-An’am ayat 64:
“Katakanlah:
"Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan,
kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya." ( QS. Al-An’am
ayat 64).
Para ahli mistik mengumpulkan
potongan ayat ini untuk membesarkan jiwanya sehingga nanti bisa mengatasi
kesulitan-kesulitan fisiknya. Sebagai contoh, binatang buas akan menjadi jinak
hanya dengan membaca potongan ayat di atas. Ilmu kebal, ilmu menjinakan
binatang buas, dan keajaiban-keajaiban beberapa orang adalah sebuah fakta yang
tak bisa kita pungkiri. Kemampuan-kemampuan mistik seperti tadi bukan karena
ayat tersebut, tetapi kekuatan jiwa dan ketangguhan prinsipnyalah yang membuat inner power-nya bangkit sehingga mampu
melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan.
Dalam kasus orang menari di atas bara api ternyata
juga dibenarkan oleh dunia paramedis. Dalam sebuah disertasi oleh sarjana
Amerika dikatakan bahwa dalam tubuh kita terdapat zat-zat tertentu sebagai anti
api, ribuan kali lebih utama dan lebih efektif daripada zat-zat tertentu yang
dipakai untuk memadamkan api.
Jika enzim itu
dikerahkan ke telapak kaki, kemudian seluruh zat-zat itu dikumpulkan semuanya
dari betis ke bawah, maka orang itu bisa menari di atas bara api tanpa
sedikitpun membuat badannya terbakar. Tapi jangan kita
beranggapan bahwa Nabi Ibrahim seperti itu ketika dibakar di dalam api (selesai)
0 Response to "Bekal Manusia sebagai Khalifah; Tafsir Kata al-Asma"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR