-->

Pembagian waris menurut Syahrur: Aplikasi teori Nadzariyat al-Hudud

Tasikmalaya, Faquha.site - Hukum kewarisan, sering dikenal dengan istilah farāiḍ, bentuk jama’ dari kata tunggal fariḍah, artinya ketentuan. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah dibakukan dalam al-Qur’an.

Menurut Shahrur (Tokoh bidang Tafsir Kontekstual asal Suriah) "batasan hukum Allah dalam waris yang dijelaskan ayat adalah batasan maksimal bagian bagi laki-laki dan batasan minimal bagi perempuan

Yakni ketika laki-laki secara total menanggung beban keluarga atau beban ekonomi (mencari nafkah) 100 % hanya berada di tangan suami semata-mata dan istri tidak bekerja, maka dalam hal ini bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan. Maka bagian minimal perempuan adalah 33,3 % dan bagian maksimal laki-laki adalah 66,6 %.

Oleh karena itu, jika kita memberikan bagian laki-laki 75% dan perempuan 25% maka hal ini melanggar. namun jika 60% bagian laki-laki dan 40% bagian perempuan[7] kita tidak melanggar batasan hukum Allah Swt dengan pertimbangan Allah Swt. memberikan batasan maksimal bagi laki-laki dan batasan minimal bagi perempuan.

lapangan ijtihad ini berada pada batasan itu sesuai dengan kondisi objektif sejarah yang melingkupi manusia.

Bahkan Shahrur berpendapat batasan ini juga berubah menjadi 50% bagi laki-laki dan 50% bagi perempuan. Namun pembagian ini dilakukan dengna pertimbangan data-data statistik yang jelas tidak hanya semata-mata didasarkan pada dorongan emosional keduanya (baik laki-laki maupun perempuan)[8]

Di sinilah letak keistiqamahan (kepastian) hukum Islam sekaligus kefleksibelannya yang bergerak di antara hudûd Allah tersebut, dan dengan demikian ijtihad dalam Islam merupakan realisasi hudûd Allah yang didasarkan pada bukti-bukti materil yang terperinci ditetapkan dengan pertimbangan kondisi objektif dan kemaslahatan (kemudahan) bagi manusia bukan dibangun atas dasar emosi/pendapat seseorang. 

Dengan kata lain fiqh Islam selamanya tidak boleh dibangun berdasarkan kesesuaian dengan hasil pendapat/teks kata-kata ulama fiqh ratusan abad silam, karena hal ini akan menyebabkan Islam kehilangan tabiat “hanafiyahnya” (sifatnya yang lentur). Itulah sebabnya dalam kondisi yang berbeda Allah Swt merubah bagian ini sebagaimana disebutkan dalam sebelum ayat itu:

فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ
 Pembagian 2/3 ini terjadi ketika kondisi ahli waris terdiri dari perempuan saja dan beban nafkah tidak tertumpu pada mereka, maka dari kondisi ini mereka tidak dibolehkan mengambil bagian lebih kecil dari 2/3 harta. 

Demikian juga dalam kondisi lain perempuan menerima ½ harta yakni
 ketika dia adalah satu-satunya ahli waris sebagaimana firman-Nya sebagai lanjutan ayat:

وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ

Jika kita telusuri pendapat para ulama salaf atau imam mazhab, maka kita akan melihat perbedaan yang mencolok antara Shahrur dan mereka dalam konteks ini, menurut penulis, di sinilah kita akan melihat kelogisan pemikiran Shahrur. 

mufassir lain tidak mau bergerak dari batas pembagian warisan yang disebutkan Allah Swt sesuai dengan teks ayat dan dengan keadaan wanita tanpa menambah/mengurangi atau mengubahnya sama sekali, Ibnu Katsir[9] menafsirkan ayat ini waris ini sebagai berikut:


يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ أي: يأمركم بالعدل فيهم، فإن أهل الجاهلية كانوا يجعلون جميع الميراث للذكور دون الإناث، فأمر الله تعالى بالتسوية بينهم في أصل الميراث، وفاوت بين الصنفين، فجعل للذكر مثل حظ الأنثيين؛ وذلك لاحتياج الرجل إلى مؤنة النفقة والكلفة ومعاناة التجارة والتكسب وتجشُّم المشقة، فناسب أن يُعْطَى ضعْفَيْ ما تأخذه  الأنثى

Bahwa Allah Swt. menyuruh untuk berlaku adil terkait warisan, karena sesungguhnya masyarakat Jahiliyah hanya memberikan harta warisan hanya kepada laki-laki, sementara anak perempuan tidak mendapatkan, maka Allah memerintahkan untuk sama-sama mendapatkan warisan (walaupun bagiannya berbeda), yakni selisih setengah, sehingga bagian laki-laki adalah dua bagian untuk perempuan, karena laki-laki membutuhkan harta secara lebih untuk keperluan nafkah dan menanggung beban keluarga sebagai kepala keluarga, untuk modal dagang usaha lainnya, maka wajarlah bahwa laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari perempuan.  

Jelaslah bahwa mufassir klasik tetap memberikan porsi bagi laki-laki adalah dua bagian dari perempuan, dengan dalih laki-laki lebih membutuhkan daripada wanita, tanpa memberikan penjelasan kemungkinan jika laki-laki dan wanita sama-sama membutuhkan harta warisan, atau bahkan justru wanita yang lebih membutuhkan, sedangkan Shahrur memberikan perubahan bagian wanita yang dijelaskan ayat sesungguhnya merupakan pentunjuk bahwa wanita menerima warisan sesuai dengan kondisi atau keadaannya, artinya wanita bisa saja mendapatkan seperti laki-laki jika tingkat membutuhkannya sama dengan persentase di atas.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pembagian waris menurut Syahrur: Aplikasi teori Nadzariyat al-Hudud "

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel