Genealogi caci-maki urusan politik di Masjid
Perdebatan tentang agama dan politik tidak akan pernah usai, akan senantiasa terulang dengan beragam bentuk derivasinya. Hubungan antara keduanya ibarat dua sisi mata uang yang saling terkait berkelindan. Politik tidak kedap dari pengaruh agama, begitu pula sebaliknya, agama tidak jarang dijadikan objek politik (baca: politisasi) demi merengkuh kekuasaan dan melegitimasinya.
Mengaitkan politik dan agama (Islam) bukan
persoalan gampang bahkan sering menimbulkan problematika tersendiri,
misalnya politik bersifat keduniaan dan profan sementara agama bersifat
akhirat yang sakral. Menurut Ali Abdur Raziq, Islam adalah agama yang menyeru
kepada ke-Esaan Tuhan. Islam tidak memiliki karakter politik, karena ia
hanya seruan suci agar manusia mengabdi kepada Allah, bersaudara dengan
yang lain dalam rangka pengabdian kepada-Nya serta sebuah panggilan untuk
perdamaian dunia
Ali Abdur Raziq berpandangan, Islam tidak
menetapkan satu bentuk pemerintahan tertentu. Memberikan kebebasan bentuk
sistem pemerintahan dan negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial,
ekonomi dan zaman serta perkembangannya. Islam tidak memiliki keterkaitan
sedikitpun dengan sistem pemerintahan, termasuk sistem kekhilafahan.2Ia menceritakan bagaimana agama dijadikan sebagai alat legitimasi
kekuasaan pada masa kekhalifahan antara lain seperti Yazid Ibn Mu’awiyah
karena kecintaannya atas jabatan Khalifah, dia tidak segan menumpahkan darah
Husain Ibn Ali Ibn Thalib dan memporak-porandakan Madinah, Abu Abbas
as-Saffah berubah menjadi seorang yang haus darah disebabkan kaitannya terhadap
jabatan khalifah, padahal pertumpahan darah tersebut adalah darah sesama
muslim.3 Era demokrasi saat ini, perdebatan tidak hanya mengarah pada
bentuk pemerintahan dan negara melainkan pada upaya strategi menarik
simpati masyarakat sebagai pemilik suara dalam gelaran pemilihan umum.
Salah satu tempat yang strategis untuk mencari suara adalah masjid,
dengan beragam aktivitas kegiatan-kegiatannya para politisi mencoba untuk
mendekatinya.
Akhir-akhir ini juga terjadi upaya “politisasi
masjid”4di beberapa wilayah terutama saat adanya
gelaran pemilihan kepala daerah. Seperti yang mencolok di DKI Jakarta
pada saat Pemilihan Gubernur tahun 2017, masjid menjadi sarana efektif
yang digunakan oleh beberapa oknum takmir, oknum tokoh agama dan oknum
politisi untuk mengumpulkan jama’ah dengan dalih pengajian umum.
Mirisnya, ternyata di dalam pengajian tersebut disusupi upaya mendukung
salah satu calon kepala daerah, bahkan ada juga takmir yang sampai tidak mau
menshalati jenazah akibat perbedaan pilihan politik.
Dengan kondisi demikian, menarik peneliti untuk
mengkaji lebih dalam politisasi masjid. Mengambil sample Kota
Surabaya, karena kota ini dikenal sebagai kota metropolitan, kota
terbesar kedua setelah DKI Jakarta. Pendapat takmir terkait politisasi
masjid akan dianalisis berdasarkan kajian fiqh Siyasah untuk mengetahui
tentang keabsahan masjid boleh tidaknya dijadikan sebagai tempat berpolitik
praktis.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pandangan
takmir masjid di Kota Surabaya tentang politisasi masjid, strategi takmir
masjid menangkal politisasi masjid, dan politisasi masjid perspektif fiqh
siyasah.
Kontribusi penelitian ini adalah sebagai pedoman
bagi stakeholder dalam membuat kebijakan antisipasi adanya
politisasi masjid dan ujaran kebencian melalui mimbar masjid, menjadi
pengembangan ilmu Fiqh Siyasah yang dapat diaplikasikan dalam fenomena
permasalahan kontemporer. Menjadi pegangan dan pedoman bagi para politisi
dalam melihat peran dan fungsi masjid, sehingga mereka dapat berpolitik
dengan baik tanpa melanggar etika, norma bahkan aturan. Menjadi dasar
pedoman takmir masjid dalam mengelola dan memfungsikan masjid
sebagaimana mestinya. Dan menjadi pedoman masyarakat khususnya kaum muslim
dalam menyikapi kegiatan kemasjidan pada saat menjelang gelaran pemilihan
umum (pemilu).
Menanamkan kebencian melalui masjid sebenarnya
bukan hal baru. Pasca terbunuhnya Utsman bin Affan, sahabat Nabi Muhammad
Saw., terdapat ketegangan politik sehingga fenomena saling hujat dan
caci-maki pernah terjadi. Pada masa awal berdirinya Dinasti Muawiyah
terdapat sebuah kebiasaan yang tercela, yaitu kebiasaan mengutuk Ali bin
Abi Thalib diberbagai mimbar pengajian maupun khutbah. Caci maki terhadap
pribadi Ali bin Abi Thalib dilakukan dengan cara terang-terangan dan jauh dari
nilai-nilai akhlak Islami, semuanya dilakukan demi melegitimasi kekuasaan.
Dengan demikian, terdapat “korelasi” apa yang terjadi pada masa sekarang
ini terkait dengan memanfaatkan masjid sebagai media saling hujat dan
caci-maki memiliki “genealogi” sejarah. Menariknya, aspek
politik-ideologis jauh lebih dominan daripada persoalan menjaga atau
mempertahankan kebenaran sebagaimana diklaim oleh para pencaci dan
penghujat tersebut
0 Response to "Genealogi caci-maki urusan politik di Masjid"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR