Tafsir Ibn Katsir, Biografi Pengarang dan Karakteristika Tafsirnya #3 (Tamat)
January 29, 2015
Add Comment
Kecenderungan pada pentingnya
teks dalam tafsîr Ibn Katsîr
Penguasaan Ibn Katsîr akan ‘Ulûm al-Hadîs,
dan Jarh wa al-ta’dîl menjelma dalam penafsirannya sebagai mufassir
yang disiplin dalam menuliskan sanad hadis, dan men-tarjih-nya, Jika
terdapat dua atau beberapa pendapat yang berbeda. Ia bahkan tak segan-segan
untuk menghukumi daîf-nya sebuah riwayat.
Ibn Katsîr sependapat dengan Penafsiran Imam
al-Syafi’i
Kematangan Ibn Katsîr dalam ilmu Fiqh (khususnya Fiqh Syafi’iyyah[1])
membuatnya tidak melewatkan
pembahasan fiqh dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum. Penafsiran
Ibn Katsîr dalam beberapa kesempatan sependapat dan menguatkan tradisi dalam
madzhab Syafî’iyyah[2]
Misalnya “Al-Syâfi’i berpendapat bahwa wajib
hukumnya bagi orang yang salat untuk membacakan Shalawat kepada Rasulullah Saw
dalam Tasyâhud akhir, jika tidak maka tidak sah salatnya hal ini
berlainan dengan pendapat sebagian kalangan pengikut Madzhab Mâlikiyah telah
memandang buruk pendapat imam Syâf’î dalam mensyaratkan membaca shalawat dalam
salat. Mereka mengira bahwa riwayat al-Syâfi’i adalah ahadî, padahal
riwayat itu sudah menjadi Ijmâ’
Ibn Katsîr berkata: “Mereka yang menolak riwayat
al-Syâfi’i telah berbuat ta’assuf; semparangan, karena telah menolak
Ijmâ’. Kewajiban membaca Salawat dalam salat adalah makna lahir dari
ayat menurut tafsiran dari kesepakatan para sahabat diantaranya Ibn Mas’ûd, Abû
Mas’ûd al-Badrî, dan Jabir bin Abdillâh.
Selain itu dari kalangan Tâbi’în seperti al-Sy’abî, Abû Ja’far al-Bâqir, dan
Muqâtil bin Hayyân, oleh karenanya pendapat al-Syâfi’i ini sudah menjadi
Ijmâ’, dan diperkuat oleh Imâm Ahmad bahkan pengikut al-Hanâbalah juga
mewajibkan untuk membaca Shalawat dalam Salat. Oleh karenannya, pendapat
al-Syâfi’î akan wajibnya membaca Shalawat dalam Salat merupakan kesepakatan
Ulama Salaf dan Khalaf.
Ibn Katsîr berbeda dengan al-Syafi’i terkait ayat
tatacara berwudlu
namun terkadang pendapatnya berbeda dengan tradisi
madzhab Sya’ifiyyah, misalnya Ibn Katsîr lebih memilih mengartikan وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ dalam
Sûrah al-Mâidah/5: 6 dengan mengusap seluruh kepala (memaknai bâ’harf
jâr dengan makna ilsâk)[3],
padahal dalam tradisi Madzhab Sya’fi’iyyah diartikan dengan mengusap sebagian
kepala (memaknai bâ’ dengan makna li al-Tab’îd)[4]
Berkata Ibn Katsîr “Mereka ulama Nahwu berbeda pendapat
mengenai makna bâ yang ada dalam lapad biru ûsikum apakah mempunyai makna ilsâk (usaplah seluruh kepala)
atau mempunyai makna tab’îd (usaplah sebagian kepala).
Penyelesaiannya terdapat dua pendapat. Pertama: ayat ini bersipat
mujmal dan perlu dicari penjelasannya dalam Sunnah, telah ditetapkan dalam Sahihain
(Bukhari-Muslim) melalui jalur Tarîq Mâlik, dari Amr bin Yahyâ al-Mâzanî dari Bapaknya, bahwasanya
seorang laki-laki berkata kepada Abdullah bin Zaid bin ‘Âsim “mampukah kiranya engkau memperlihatkan kepadaku
bagaimana cara Rasulullah berwudu?
Berkata Abdullah bin Zaid, selanjutnya
rasul mengusap dengan kedua tangannya pada kepala depan-belakang; menyeluruh,
secara berulang ulang. Selanjutnya membasuh kedua kakinya” melalui hadis ini menjadi dalil bagi yang berpendapat
akan wajibnya untuk menyempurnakan mengusap seluruh kepala, seperti halnya yang
terdapat dalam Madzhab Imâm Mâlik dan Ahmad bin Hanbal, begitu pula bagi
kalangan yang menyakini penjelasan atas kemujmalan al-Qur’ân. ..demikian ashâbuna berpendapat akan
wajibnya untuk mengusap seluruh kepala.
Fakta ini dapat dipahami bahwa pentingnya teks dalam penfsiran Ibn Katsîr dan kesahihan sebuah riwayat menjadi ukuran
kesahihan tafsir, dan kemahiran Ibn Katsîr dalam meramu fiqh tidak membuatnya
selalu setuju dengan aliran madzhabnya yakni Syâfi’iyah
Faktor-faktor internal dan eksternal
Ibn Katsîr sependapat dengan keyakinan Ibn Taimiyyah
bahwa sebab lemah (mundurnya) Islam adalah karena pada masanya adalah karena
banyaknya terjadi perbedaan di antara kaum muslimin akibat dari banyaknya ikhtilâf, Khurafat, dan
tersebarnya bid’ah-bid’ah (tidak kembali kepada sunnah dan kitab Allah
swt.[5]
Ibn Katsîr mengikuti pendapat dan membela Ibn Taimiyyah,
hingga akhirnya Ibn Katsîr mendapat fitnah dan kecaman sebagaimana yang dialami
oleh Ibn Taimiyyah[6]
[1] Ibn
Katsîr tumbuh di lingkungan mayoritas bermadzhabkan Syâfi’i yang pada saat itu
tersebar di Mesir dan Syâm (Suriah), dan guru-gurunya dalam bidang Fiqh
bermadzhabkan Syâfi’î, dimasa kecilnya, Ibn Katsîr telah mengahapal kitab al-Tanbîh
li al-Syairazî fi al-Fiqh al-Sy’afi’i, kemudian hari Ibn Katsîr mengarang
kitab al-Wâdih al-Nafs Fî Manâqib Ibn Idrîs. Kemudian beliau
menjadikannya sebagai muqaddimah untuk karyanya yang lain yakni “Tabaqât
al-Fuqahâ al-Syâfi’yîn” lihat Ahmad Musfir, al-Imâm Ibn
Katsîr al-Mufassir (Makkah: Jâmi’ah Umm al-Qurâ, 1406 H.) h. 54
[2] Lihat. Ahmad Musfir, al-Imâm Ibn Katsîr
al-Mufassir (Makkah: Jâmi’ah Umm al-Qurâ, 1406 H.) seperti penafsiran Ibn
Katsîr pada Sûrah al-Ahzâb ayat
56.
[3] Ibn Katsîr
sebagai ahli fiqh yang besar tidak berarti selamanya di belakang bayang-bayang
al-Syâ’fi’i dalam semua masalah fiqh,
dengan pertimbangan dan istinbât langsung kepada al-Qur’ân dan
sunnah, beliau berbeda dengan al-Syâfi’i misalnya dalam permasalahan mash
al-ra's dalam berwudu. Lihat Ahmad Musfir, al-Imâm Ibn
Katsîr al-Mufassir (Makkah: Jâmi’ah Umm al-Qurâ, 1406 H.), h. Berikut
penafsiran Ibn Katsîr:
بَعِّضْ وَبَيِّنْ وَابْتَدِء فِى الْأَمْكِنَةْ بِمنْ وَقَدْ تَئْتِى لِبَعْضِ
الْأَزْمِنَةِ
Lihat dalam Lihat Jamâluddîn Muhammad bin Abduillah bin Mâlik, Syarh
Ibn ‘Aqîl ‘alâ alfiyyah (Jeddah: al-Haramain, t.th), h. 98
[6] Dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah Ibn Katsîr memuat khusus biografi Ibn Taimiyyah sebanyak 5
halaman, merupakan biografi terpanjang diantara biografi-biografi guru Ibn Katsîr yang ia tulis dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah lihat Ahmad, al-Imâm ibn Katsîr al-mufassir, h. 94
0 Response to "Tafsir Ibn Katsir, Biografi Pengarang dan Karakteristika Tafsirnya #3 (Tamat)"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR