Sayyid Muhammad ‘Alawi Al-Maliki dan Maulid Nabi
April 16, 2017
Add Comment
FAQUHA.site- Wajahnya meneduhkan, berwibawa, dengan tongkat di tangannya.
Beliau adalah seorang ulama masyhur yang diakui kepakarannya di banyak disiplin
ilmu. Bagi masyarakat Indonesia, nama beliau sangat populer di kalangan ulama,
khususnya mereka yang pernah menimba ilmu kepadanya. Terlebih ketika buku
beliau yang berjudul mafahim Yajibu an Tushohhah beredar di Indonesia, bahkan
telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dan menjadi bacaan masyarakat luas.
Beliau adalah Prof. Dr. Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki,
seorang alim Hadis kenamaan dunia yang merupakan keturunan Nabi dari jalur
Hasan. Beliau lahir di Mekkah pada tahun 1365 H/1944 M dari keluarga al-Maliki
al-Hasani yang terkenal dan merupakan salah satu keluarga yang paling dihormati
dan disegani di Mekkah. Bahkan, Raja Faisal ketika hendak memutuskan suatu
perkara yang berkaitan dengan Mekkah maka terlebih dahulu meminta nasehat dari Sayyid
‘Alawi, Ayah Sayyid Muhammad.
Sayyid Muhammad Alawi adalah ulama kharismatik yang
multidisiplin ilmu. Ini bisa kita lihat dari karya-karyanya yang sangat banyak
dan lintas disiplin, mulai dari aqidah, fikih, ushul fikih, tasawuf, hadis, dan
lain-lain. Karya-karya yang hampir mencapai seratusan tersebut telah menyebar
di seluruh dunia dan menjadi rujukan utama.
Perjalanan menuntut ilmu Sayyid Muhammad ‘Alawi
Pendidikan pertama Sayyid Muhammad adalah Madrasah Al-Falah,
Makkah, dimana ayah beliau Sayyid Alawi bin Abbas al Maliki sebagai guru agama
di sekolah tersebut yang juga merangkap sebagai pengajar di halaqah dekat Bab
As-salam Masjidil Haram. Sejak kecil beliau telah ber-talaqqi al-Quran dan
menuntaskan hafalannya kepada sang ayah secara pribadi di rumahnya. Oleh
ayahnya, beliau juga diarahkan untuk menimba ilmu dari ulama-ulama besar di
Makkah dan Madinah. Karena ketekunan dan kecerdasannya maka tidak heran jika
Sayyid Muhammad Alawi dipercaya untuk mengajarkan kitab Hadis dan fiqh kepada pelajar-pelajar
lain di Masjid al-Haram.
Setelah sang ayah wafat, Sayyid Muhammad tampil sebagai
penerus. Maka sebelum itu, terlebih dahulu beliau terbang ke Mesir untuk
menimba ilmu di Universitas al-Azhar. Gelar Ph.D-nya dalam Studi Hadits dengan
penghargaan tertinggi dari Universitas al-Azhar, berhasil beliau raih saat baru
berusia dua puluh lima tahun. Beliau kemudian melakukan perjalanan dalam rangka
mengejar studi Hadis ke Afrika Utara, Timur Tengah, Turki, Yaman, dan juga anak
benua Indo-Pakistan, dan memperoleh sertifikasi mengajar (ijazah) dan sanad
dari Imam Habib Ahmad Mashhur al Haddad, Syaikh Hasanayn Makhluf, Ghumari
bersaudara dari Marokko, Syekh Dya’uddin Qadiri di Madinah, Maulana Zakariyya
Kandihlawi, dan banyak lainnya.
Beliau kemudian kembali ke Makkah untuk melanjutkan
perjalanan yang telah di tempuh sang ayah. Disamping mengajar di Masjidil
Haram, beliau juga diangkat sebagai dosen di Universitas King Abdul Aziz Jeddah
dan Univesitas Ummul Qura Makkah. Cukup lama beliau menjalankan tugasnya
sebagai dosen di dua Universiatas tersebut, sampai beliau memutuskan untuk
mengundurkan diri dan memilih mengajar di Masjidil Haram serta mendirikan
pondok pesantren di rumah beliau.
Di rumahnya, di Hay al-Rashifah, ia mengabdi untuk ilmu dan
masyarakat. Tidak sedikit tamu dan murid yang datang untuk mengikuti pengajian
yang beliau sampaikan setiap harinya. Berbagai disiplin ilmu beliau sampaikan
dan dapat diterima oleh semua kalangan, baik masyarakat awam maupun terpelajar.
Begitu pula setiap bulan Ramadan dan Hari Raya beliau selalu menerima semua
tamu dan muridnya dengan tangan terbuka tanpa memilih golongan atau derajat.
Semua mendapat penghargaan yang sama dan semua mencicipi ilmu bersama-sama.
Dari rumah beliau lahir ulama-ulama besar yang menyebar ke seluruh pelosok
permukaan bumi. Di negara mana saja kita menginjak, di situ kita temui murid
beliau. Di India, Pakistan, Afrika, Eropa, Amerika, apa lagi di Asia, khususnya
Indonesia.
Sayid Muhammad dikenal sebagai guru, pengajar dan pendidik
yang tidak beraliran keras, tidak berlebih-lebihan, dan selalu menerima hiwar
dengan hikmah dan mauidhah hasanah. Dalam kehidupannya beliau selalu bersabar
dengan orang-orang yang tidak bersependapat dengan pemikirannya. Semua yang
berlawanan diterima dengan sabar dan berusaha menjawabnya dengan hikmah dan
dalil-dalil yang kuat.
Sebagai seorang pengajar dan pendidik, Sayyid Muhammad
memperlakukan murid-murid beliau layaknya seorang ayah yang penuh perhatian.
Ini sungguh sangat membantu murid-muridnya dalam belajar dan berkomunikasi.
Bahkan dari kecintaan dan kasih sayang beliau, tidak seorang pun murid yang
diizinkan atu dibiarkan untuk memanggilnya dengan sebuatan “ustad” atau
“syaikh” akan tetapi beliau memerintahkan mereka agar memanggilnya dengan
sebuatan “abuya” yang berarti ‘ayahku’. Agar benar-benar mendekatkan jiwa
mereka kepada beliau. Dan menambah keakraban layaknya seoarang ayah dengan
anak-anaknya.
Sekalipun demikian pada saat-saat resmi, beliau menerapkan
pendekatan seorang mursyid (pendidikan dan bimbingan) kepada para pengikutnya
dengan penuh wibawa. Dengan demikian tatkala sudah terjun bermasyarakat, maka
setiap dari murid-murid beliau mempunyai karakter serta prinsip yang kuat
melekat pada diri mereka.
Seputar Peringatan Maulid Nabi Saw.
Sayyid Muhammad ‘Alawi merupakan salah satu dari ulama yang
tekun menulis. Tidak kurang dari seratusan buku dari banyak disiplin ilmu lahir
dari tinta pena beliau. Salah satu karya yang paling fenomenal adalah kitab
Mafahim Yajibu an Tushohhah, dimana dalam kitab tersebut beliau berani
mengoreksi pendapat rekan-rekan ulama senegaranya, dan membuktikan kesalahan
doktrin-doktrin mereka dengan menggunakan sumber-sumber dalil.
Atas keberanian intelektualnya tersebut, Sayyid Muhammad
dikucilkan dan dituduh sebagai “seorang yang sesat”. Kitab-kitab karya beliau
dilarang beredar, bahkan kedudukan beliau sebagai professor di Ummul Qura pun
dicabut. Namun, dalam menghadapi hal itu, Sayyid Muhammad sama sekali tidak
menunjukkan kepahitan dan keluh kesah. Beliau tak pernah menggunakan akal dan
intelektualitasnya dalam amarah, melainkan menyalurkannya untuk memperkuat
orang lain dengan ilmu (pengetahuan) dan tasawwuf.
Salah satu yang juga turut menjadi perbincangan adalah
pendapat Sayyid Muhammad tentang peringatan Maulid Nabi Saw. yang beliau
tuangkan dalam kitab Haul al-Ihtifal bi Dzikri al-Maulid an-Nabawiy
asy-Syariif. Menurutnya, memperingati Maulid Nabi Saw. dengan mengadakan
pembacaan Sirah/ perjalanan hidupnya, mendengarkan puji-pujian atasnya, memberi
makan, dan menyenangkan sesama, sebagaimana yang terjadi di Indonesia, adalah
sesuatu yang diperbolehkan.
Beliau juga berpendapat bahwa merayakan peringatan Maulid
Nabi Saw. tidaklah seperti Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha yang hanya
berlangsung sekali dalam setahun, melainkan setiap waktu seyogyanya umat Islam
merayakannya, dan tidak mengkhususkan pada malam tertentu. Sebab mengingat dan
memiliki keterikatan bathin dengan Rasulullah Saw. harus ada dalam setiap waktu
dan memenuhi seluruh ruang hati. Sementara hari-hari besar Islam lainnya tak
akan pernah ada tanpa lahirnya Nabi Saw.
Perkumpulan dalam memperingati Maulid Nabi Saw. merupakan
media yang tepat untuk mengajak umat Islam mendekatkan diri kepada Allah.
Sehingga, selayaknya para ulama menjadikannya sebagai momentum untuk menyeru
umat dalam meneladani segala sisi kehidupan Nabi Saw. Dari sini dapat kita
lihat bahwa peringatan Maulid Nabi Saw. merupakan aktifitas yang positif dan
memiliki manfaat yang baik.
Dalam kitabnya tersebut, Sayyid Muhammad Alawi mendasarkan
kebolehan perayaan peringatan Maulid Nabi Saw. pada 21 dalil yang kuat. Kendati
demikian, beliau memberi catatan bahwa kebolehan tersebut jika tidak ada
kemunkaran dalam perayaan tersebut, seperti ikhtilath antara laki-laki dan
perempuan, melakukan hal-hal yang berlebihan, melakukan dosa, dan hal-hal lain
yang dilarang oleh baginda Nabi Saw.
Wafatnya Sayyid Alawi
Jum’at 15 Ramadan 1425 H bertepatan dengan tanggal 29
Oktober 2004 M, Makkah dan dunia Islam berkabung, seorang ulama besar Sayyid
Muhammad ‘Alawi Al-Maliki wafat. Beliau meninggal sekitar pukul enam pagi
(Waktu Mekkah) atau jam 10.00 WIB di salah satu rumah sakit di Mekkah. Sebelum
menghembuskan nafas terakhir beliau masih sempat menunaikan salat Subuh di
kediamannya.
Sayyid Muhammad dimakamkan di pemakaman Al-Ma’la disamping
kuburan istri Rasulullah, Sayyidah Khadijah binti Khuwailid ra. Dan yang
menyaksikan penguburan beliau seluruh umat muslimin yang berada di Makkah pada
saat itu termasuk para pejabat, ulama, para santri yang datang dari seluruh
pelosok negeri, baik dari luar Makkah atau dari luar negeri. Selama tiga hari
tiga malam rumahnya terbuka bagi ribuan orang yang ingin mengucapkan
belasungkawa dan melakukan ta’ziyah. Di hari terakhir ta’ziyah, wakil Raja
Saudi Arabia, Amir Abdullah bin Abdul Aziz dan Amir Sultan datang ke rumah
beliau untuk memberikan sambutan belasungkawa dan mengucapkan selamat tinggal
kepada pemimpin agama yang tidak bisa dilupakan umat. Semoga kita bisa
meneladani beliau. Amin.
Sumber bacaan:
Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki, Haul al-ihtifal bi dzikri
al-maulid an-nabawiyyi asy-syariif.
Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki, Mafaahiim yajibu an
tushahhah.
‘Abdurrahman bin Lathiif bin ‘Abdullah, Masyaahiru
al-ulamaa’ najd wa ghairihim.
Muhammad Najih Maimoen, Pendidikan karakter abuya as-sayyid
muhammad ‘alawi al-Malik.
*Penulis adalah mahasantri semester enam Darus-Sunnah
international institute for hadith sciences, asal Bulukumba Sulawesi Selatan
dan mahasiswi semester delapan jurusan dirasat islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
0 Response to "Sayyid Muhammad ‘Alawi Al-Maliki dan Maulid Nabi"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR