Ketika 4 Pilar Kebangsaan Hanya Dalam Tataran Seremonial
January 29, 2015
Add Comment
Jakarta, Faquha News - Jika melihat
geliat yang ditunjukkan para anggota dewan atau pemegang elit di negeri ini agaknya kita miris
melihat keironisan terjadi. Mereka tentu hafal dan paham Pancasila, namun anehnya tidak mencerminkan
Pancasila memang sering dipahami dari sisi Normatif bukan di wilayah Aplikatif. Ketidakmampuan menerjemahkan Pancasila dengan benar membuat sebagian kelompok meragukan dengan Pancasila yang sudah final, dan NKRI yang menjadi harga mati. Bahkan sebagian kelompok bersikap antipati terhadap Pancasila dan menawarkan rumusan baru, sebut saja aktifis Hizb Tahrir Indonesia (HTI) yang gencar dengan gagasan Khilafah dan Syari’ah sebagai pengganti Demokrasi dan Pancasila
Setiap kasus dalam Siaran televisi bak sinetron yang memiliki episode yang pelik dan panjang. tak sempat kasus A datang lagi kasus B. jika ada sebuah peribahasa "gali lobang tutup lobang" nampaknya bila dibandingkan dengan situasi negeri ini, istilah tersebut lebih baik. Pasalnya di negeri ini, terdapat istilah "gali lobang dan gali lobang", ada kasus dan muncul kasus yang lebih besar, kasus pertama bukan telah usai namun ada kasus kedua yang besar atau dianggap lebih besar dan lebih menjual di Media (memiliki rating yang tinggi) Kita terkadang belum bahkan tidak menemukan titik terang akan penyeselaian, mungkin karena memang tidak pernah diselesaikan tapi dialihkan ke permasalahan yang lain.
Sebagian kasus terhitung sukses dialihisukan dan akhirnya habis dimakan zaman, namun ada beberapa kasus yang tidak mempan dialihisukan dan sepertinya orang-orang saling mengingatkan agar melawan lupa, seperti Kasus Kejahatan Munir dan Kasus BLBI.
Permasalahan di setiap kelas
Ditingkat elitis (filosof dalam bahasa Plato sebagai kelas pertama ) yaitu suatu kelompok
bermoral baik dan berakal cerdas yang memiliki kepiawaian mengolah Negara. Setiap hari kita disuguhi berita panasnya situasi politik, perpecahan dalam partai, saling hujat, hajar dan jatuhkan antar tokoh atau kubu.
Isu dualisme bukan hanya di tataran lawan dan kawan, namun ditataran yang asalnya kawan dengan kawan, kita saksikan dualisme dalam Partai Golkar, PPP, bahkan ditingkat DPR terjadi gontok-gontokan antara Koalisi Merah Putih (KMP) vs
Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Sementara itu, berita yang tersaji dari kelas dua kelas militer atau prajurit (dalam pembagian kelas menurut Plato) yakni yang bertugas melaksanakan pertahanan negara baik dari musuh
internal maupun eksternal. Kita juga disuguhi dengan episode-episode Cicak vs Buaya jilid dua (sebagian orang menyebutnya dengan Cicak Vs Kebun Binatang) yang melibatkan dua institusi
penegak hukum yakni KPK dan Polri.
Terkait kasus
dengan KPK, Yenny Wahid (Direktur Wahid Institute) mendesak agar Kabareskrim Polri Irjen Budi
Waseso agar dicopot, karena dinilai telah menggunakan Polri sebagai alat
politisasi kepentingan segelintir orang di kepolisian.
Di kalangan kelas tiga yakni rakyat/Buruh (dalam pembagian kelas menurut Plato) disebut
dengan warga negara biasa, kita disuguhi dengan berbagai pelanggaran HAM, KDRT dan Kasus Pidana lainnya. Selain itu Media juga sering menyuguhkan potret-potret rakyat miskin yang terdzalimi oleh ketidakberpihakan hukum, "diping-pong" oleh kemerawutan aturan dan kebijakan BPJS, dirampas dan terusir oleh keserakahan Konglomerat dan lain-lain.
Konflik di kelas 1 (elitis) ditambah dengan ketidakjelasan hukum di kelas 2 (militer) mengakibatkan kesengsaraan di kelas 3 (rakyat). Dengan suara lantang dan tegas mengatakan "Bohong besar wahai para pemimpin, jika anda berjuang demi rakyat, namun anda tidak menyelesaikan pemasalahan anda"
0 Response to "Ketika 4 Pilar Kebangsaan Hanya Dalam Tataran Seremonial"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR