Kritikan Terhadap Kitab Kuning; Sebuah Pendekatan Akademisi #1
January 30, 2015
Add Comment
Jakarta, Faquha News - Kitab kuning selama ini dikenal sebagai literatur (maraji’ atau ma’khad)
wajib bagi santri di pesantren-pesantren tradisional di seluruh pelosok tanah
air. Dengan membaca kitab kuning kalangan pesantren mencoba bersikap, memaknai
dan menjawab ‘hampir’ seluruh persoalan yang muncul dan berkembang.
Bahkan jika
kita rajin mengikuti halaqah-halaqah atau bahtsul masail kaum
santri salaf ini, maka sepertinya seluruh persoalan sudah ada dan sudah dijawab
oleh kitab kuning ini bukan saja terkait persoalan-persoalan masa lalu, tetapi
bahkan isu-isu terkini pun pembahasannya sudah ada, atau minimal diasumsikan
ada, sebut saja misalnya, persoalan pro-kontra poligami ada
di kitab kuning. Persoalan formalisasi syariah, perdebatan
pornoaksi-pornografi, persoalan sikap terhadap agama lain,
dan lain-lain sebagainya sudah ada dalam kitab kuning
Persoalan
muncul kemudian, setelah ada dua kategori kitab kuning. Kitab mu’tabarah
(valid untuk di ruju’) dan kitab gair mu’tabarah (tidak valid di ruju’)
sebagian besar pesantren tradisional
menggunakan pakem keagamaan yang sama, yaitu nada keberagaman dalam pakem kitab
kuning yang mu’tabarah.
Lalu
pembacaan tafsir-tafsir ajaran agama dalam berbagai disiplinnya, yang tadinya
menghargai berbagai pandangan yang berbeda, kemudian hanya menghargai dan akrab
dengan ajaran-ajaran versi kitab mu’tabarah. Bila ada kyai atau
pesantren yang keluar dari pakem ini, habislah sudah otoritasnya.
Pembatasan
rujukan hanya pada kitab-kitab mu’tabarah sejatinya lebih cenderung
sebagai upaya ideologisasi, dan tidak murni kerja-kerja ilmiah. Karena itu
kecenderungan demikian sungguh layak dicurigai kecenderungan yang tidak
kondusif bagi pengembangan keilmuwan pesantren tersebut
Realitas diperparah oleh penuhanan metode
pembacaan dan kajian keagamaan. Yakni penuhanan pada metode ambil comot teks
alias tekstualis, dan juga metode gampang percaya pada
konon konon kata ulama’ alias taqlid qaulan
Akibatnya
kitab kuning dibaca dan didekati sebagai korpus tertutup, yang ahistoris,
dan anti kritik. Pembacaan dan pemahaman yang dilakukan pun cenderung
berulang-ulang. Masalah apa pun muncul, segera dicarikan jawabannya dari kitab
kuning mu’tabarah begitu saja, tanpa
membandingkan perbedaan konteks zamaninya, padahal kitab-kitab itu berisi
pandangan ulama yang ditawarkan untuk menyelesaikan persoalan pada zaman dan
tempat yang jauh berbeda dengan konteks kekinian dan kedisinian.
Berbagai upaya
dilakukan ulama kontemporer terkait masalah ini, misalnya al-Syatibi menggagas
kembali Maqasid al-Syari’ah, Ibn Asyur menambahkan prinsip Fitrah
(Natural), musawah (egaliter), huriyyah (kebebasan) dan taisir (kemudahan)
sebagai pondasi Maqasid al-Syaria’h. Selain itu Fazlur Rahman dengan
sumbangan double movement dalam membaca teks, Nasir Hamid Abu
Zaid menekankan pentingnya Maghza (Signifikansi) dalam setiap makna,
atau Muhammad Shahrur dengan Teori Limit (Nazariyyah al-hudud) dalam
kontruksi hukum. Dan sumbangan pemikiran pembaharuan lainnya (bersambung)
0 Response to "Kritikan Terhadap Kitab Kuning; Sebuah Pendekatan Akademisi #1"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR