-->

Kritikan Terhadap Kitab Kuning; Sebuah Pendekatan Akademisi #1


Jakarta, Faquha News - Kitab kuning selama ini dikenal sebagai literatur (maraji’ atau ma’khad) wajib bagi santri di pesantren-pesantren tradisional di seluruh pelosok tanah air. Dengan membaca kitab kuning kalangan pesantren mencoba bersikap, memaknai dan menjawab ‘hampir’ seluruh persoalan yang muncul dan berkembang.

Bahkan jika kita rajin mengikuti halaqah-halaqah atau bahtsul masail kaum santri salaf ini, maka sepertinya seluruh persoalan sudah ada dan sudah dijawab oleh kitab kuning ini bukan saja terkait persoalan-persoalan masa lalu, tetapi bahkan isu-isu terkini pun pembahasannya sudah ada, atau minimal diasumsikan ada, sebut saja misalnya, persoalan pro-kontra poligami ada di kitab kuning. Persoalan formalisasi syariah, perdebatan pornoaksi-pornografi, persoalan sikap terhadap agama lain, dan lain-lain sebagainya sudah ada dalam kitab kuning

Persoalan muncul kemudian, setelah ada dua kategori kitab kuning. Kitab mu’tabarah (valid untuk di ruju’) dan kitab gair mu’tabarah (tidak valid di ruju’) sebagian besar  pesantren tradisional menggunakan pakem keagamaan yang sama, yaitu nada keberagaman dalam pakem kitab kuning yang mu’tabarah.

Lalu pembacaan tafsir-tafsir ajaran agama dalam berbagai disiplinnya, yang tadinya menghargai berbagai pandangan yang berbeda, kemudian hanya menghargai dan akrab dengan ajaran-ajaran versi kitab mu’tabarah. Bila ada kyai atau pesantren yang keluar dari pakem ini, habislah sudah otoritasnya.

Pembatasan rujukan hanya pada kitab-kitab mu’tabarah sejatinya lebih cenderung sebagai upaya ideologisasi, dan tidak murni kerja-kerja ilmiah. Karena itu kecenderungan demikian sungguh layak dicurigai kecenderungan yang tidak kondusif bagi pengembangan keilmuwan pesantren tersebut
Realitas diperparah oleh penuhanan metode pembacaan dan kajian keagamaan. Yakni penuhanan pada metode ambil comot teks alias tekstualis, dan juga metode gampang percaya pada konon konon kata ulama’ alias taqlid qaulan

Akibatnya kitab kuning dibaca dan didekati sebagai korpus tertutup, yang ahistoris, dan anti kritik. Pembacaan dan pemahaman yang dilakukan pun cenderung berulang-ulang. Masalah apa pun muncul, segera dicarikan jawabannya dari kitab kuning mu’tabarah begitu saja, tanpa membandingkan perbedaan konteks zamaninya, padahal kitab-kitab itu berisi pandangan ulama yang ditawarkan untuk menyelesaikan persoalan pada zaman dan tempat yang jauh berbeda dengan konteks kekinian dan kedisinian.


Berbagai upaya dilakukan ulama kontemporer terkait masalah ini, misalnya al-Syatibi menggagas kembali Maqasid al-Syari’ah, Ibn Asyur menambahkan prinsip Fitrah (Natural), musawah (egaliter), huriyyah (kebebasan) dan taisir (kemudahan) sebagai pondasi Maqasid al-Syaria’h. Selain itu Fazlur Rahman dengan sumbangan double movement dalam membaca teks, Nasir Hamid Abu Zaid menekankan pentingnya Maghza (Signifikansi) dalam setiap makna, atau Muhammad Shahrur dengan Teori Limit (Nazariyyah al-hudud) dalam kontruksi hukum. Dan sumbangan pemikiran pembaharuan lainnya (bersambung)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Kritikan Terhadap Kitab Kuning; Sebuah Pendekatan Akademisi #1"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel