Gusdur dan Pribumisasi Islam; Forum Jumat Gusdurian
March 5, 2017
Add Comment
FAQUHA.site - Ketika wacana “Islam Nusantara” ramai diperbincangkan
beberapa waktu lalu, banyak kalangan yang nyinyir dengan menuduh “Islam
Nusantara” sebagai ekspresi antipati terhadap Arab. Benci terhadap orang Arab,
budaya Arab, pokoknya segala sesuatu yang berbau Arab. “Islam Nusantara” juga
dianggap mengkotak-kotakkan Islam, bahkan dicurigai sebagai strategi baru dari
Barat, Zionis, Jaringan Islam Liberal (JIL), dll, untuk menghancurkan Islam
dari dalam. Islam ya Islam. Titik.
Tuduhan terhadap Islam Nusantara tersebut umumnya datang
dari kaum Islamis yang meyakini bahwa Islam adalah ajaran yang kaffah,
menyeluruh, mengatur baik kehidupan privat maupun publik. Semua sudah ada
ketentuannya dalam al-Qur’an. Juga sudah ada rincian teknisnya dalam hadis. Di
mata mereka, Muslim harus tunduk sepenuhnya pada nash, teks Al-Quran dan Sunnah
secara literal dan harfiah, karena nash adalah sesuatu yang ta’abbudi (harus
ditaati begitu saja) sebab berasal dari Allah dan Rasul.
Bagi mereka, nash bersifat permanen, tunggal, dan mengatasi
sejarah, ruang, dan waktu. Bagi mereka, tidak mungkin ada banyak Islam,
meskipun umat Islam hidup dalam beragam konteks. Lebih jauh, latar belakang
dunia Arab yang merupakan konteks tempat Nabi hidup dianggap sama abadi dan
universalnya dengan Islam. Akibatnya, kemurnian Islam disamakan dengan ekspresi
Arab dalam Islam. Unsur-unsur budaya non-Arab yang mewarnai Islam akan mudah
dituding sebagai penyimpangan.
Bahwa Islam adalah ajaran yang kaffah, meliputi segala aspek
kehidupan, saya sepakat. Persoalannya, apakah watak komprehensif Islam tersebut
niscaya berarti ketundukan harfiah terhadap nash dan peng-copy-an terhadap
latar belakang dunia Arab yang merupakan konteks di mana Nabi Muhammad hidup?
Apakah Islam kaffah identik dengan Arabisasi?
Ataukah ke-kaffah-an Islam justru tampil dalam ekspresinya
yang beragam, sesuai dengan konteks historisnya yang beragam pula?
Misalnya konteks Indonesia di era sekarang. Umat Islam
Indonesia hidup pada suatu masa yang terpaut ribuan tahun lamanya dari era
Nabi, dan berada di suatu wilayah yang bukan hanya ratusan ribu kilometer
jauhnya dari tanah Arab, tempat asal Nabi, melainkan juga mempunyai
karakteristik budaya, sejarah, dan tradisi yang berbeda sama sekali dari Arab.
Realitas keindonesiaan abad ke-21 adalah konteks baru yang
membuka peluang bagi lahirnya persoalan-persoalan baru terkait hukum Islam,
yang bisa jadi tidak bisa ditemukan rujukannya secara eksplisit dalam
sumber-sumber hukum Islam. Berhadapan dengan situasi semacam itu, bagaimana
ke-kaffah-an Islam mesti dirumuskan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita menengok
kembali gagasan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tentang pribumisasi Islam,
yang nota bene merupakan manifesto bagi Islam Nusantara. Bagi Gus Dur,
keragaman konteks historis Islam meniscayakan adanya kontekstualisasi Islam,
bukan untuk mengubah doktrin Islam, tapi untuk membumikan ajarannya agar sesuai
dengan kebutuhan masyarakat Muslim itu sendiri. Karena itulah ia dengan tegak
menolak pengidentikan Islam dengan Arab.
Dalam rumusan Gus Dur, “Bahaya dari proses Arabisasi atau
proses mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya
kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok
dengan kebutuhan.”
Patut dicatat, pribumisasi Islam “tidaklah mengubah Islam,
melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam.” Selain itu,
pribumisasi Islam tidak lantas menempatkan Islam dalam subordinasi budaya dan
tradisi, tidak pula melakukan “Jawanisasi” atau sinkretisme. Tujuannya adalah
bagaimana agar Islam “dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor
kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya,” dan bagaimana agar
kebutuhan-kebutuhan lokal dipertimbangkan dalam merumuskan hukum agama, tanpa
mengubah hukum itu sendiri.
gus-durDengan kata lain, pribumisasi Islam a la Gus Dur
tidak bergerak dalam penciptaan hukum, melainkan dalam penerapannya. Dalam
pandangan Gus Dur, pribumisasi Islam adalah dialektika antara nash dengan
konteks yang berbeda dan berubah. Dan dialektika semacam ini terjadi sepanjang
sejarah Islam. Gus Dur menulis:
“Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di
negeri asalnya maupun di negeri lain, termasuk Indonesia. Kedua sejarah ini
membentuk sebuah sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi
oleh kali cabangan sehingga sungai ini semakin membesar. Bergabungnya kali
baru, berarti masuknya air baru yang menambah warna air yang telah ada. Bahkan
pada tahap berikutnya, aliran sungai ini mungkin terkena ‘limbah industri’ yang
sangat kotor. Tapi toh, tetap merupakan sungai yang sama dan air yang lama.
Maksud dari perumpamaan ini adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan
sejarah tidaklah merubah Islam, melainkan hanya merubah manifestasi dari
kehidupan agama Islam.”
Pribumisasi Islam dan Prinsip Maslahat
Bagaimana Gus Dur bisa sampai pada gagasan pribumisasi
Islam? Ini tak lepas dari asumsi konseptual Gus Dur yang bertolak dari Ushul
Fiqh dan Qaidah Fiqh, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk menciptakan
kemaslahatan dan menghindarkan kemafsadatan, baik dalam kehidupan dunia maupun
akhirat.
Menurut Imam al-Ghazali, yang dimaksud dengan “maslahat”
adalah upaya menjaga dan memelihara lima prinsip pokok yang bersifat universal
(al-Kulliyyat al-Khams): (1) Hifzh al-Din (perlindungan terhadap
agama/keyakinan, (2) Hifzh al-Nafs (perlindungan terhadap hak hidup, (3) Hifzh
al-‘Aql (perlindungan terhadap hak berpikir), (4) Hifzh al-Nasl (perlindungan
terhadap hak-hak reproduksi, dan (5) Hifzh al-Mal (perlindungan terhadap
hak-hak milik).
Lima prinsip pokok ini lazim disebut sebagai maqashid
al-syari’ah (tujuan-tujuan syariah). Singkatnya, segala sesuatu yang
merealisasikan terjaganya tujuan-tujuan syariah tersebut merupakan “masalahat.”
Sebaliknya, apa pun yang merusak dan menegasikannya disebut “mafsadah.”
Karena tujuan syariah adalah terciptanya kemaslahatan dunia
dan akhirat, ia niscaya berwatak komprehensif: aturannya bukan hanya mencakup
ranah hubungan manusia dengan Allah melainkan juga ranah hubungan manusia
dengan manusia. Namun perlu segera ditegaskan, terdapat perbedaan dalam hal
bagaimana kaum muslim mencapai kemaslahatan pada dua domain tersebut. Imam
Izzuddin bin Abd al-Salam berkata:
فيما
تعرف به مصالح الدارين ومفاسدها
أما
مصالح الآخرة وأسبابها، ومفاسدها وأسبابها، فلا تعرف إلا بالشرع، فإن خفي منها شيء
طلب من أدلة الشرع، وهي : الكتاب، والسنة، والإجماع، والقياس المعتبر، والإستدلال
الصحيح.
وأما
مصالح الدنيا وأسبابها، ومفاسدها وأسبابها، فمعروفة بالضرورات والتجارب والعادات
والظنون المعتبرات، فإن خفي شيء من ذلك طلب من أدلته.
Tentang apa yang diketahui mengenai kemaslahatan dan
kemafsadatan dunia dan akhirat. Kemaslahatan akhirat dan sebab-sebabnya, dan
kemafsadatan akhirat dan sebab-sebabnya, keduanya tak bisa diketahui kecuali
melalui syariat. Apabila ada yang tersamar/tidak jelas, maka kita mesti mencari
patokannya dalam dalili-dalil syara’: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas yang
bisa dipertanggungjawabkan, dan proses istidlal secara valid. Adapun
kemaslahatan dunia, dan sebab-sebabnya, juga kemafsadatan dunia dan
sebab-sebabnya, maka itu semua bisa diketahui berdasarkan keadaan darurat/kemestian,
pengalaman/praktik dalam dunia nyata, adat/ budaya, dan dugaan-dugaan yang bisa
dipertanggungjawabkan. Apabila ada yang tersamar, maka dicari patokannya dari
dalil-dalil tersebut.
Dari kutipan di atas kita bisa menyimpulkan, baik
kemaslahatan akhirat maupun kemaslahatan dunia sama-sama terangkum dalam
bingkai Syariah. Tapi pada saat yang sama, Syariah juga mengakui adanya
perbedaan dalam cara pengaturan keduanya. Masalahat untuk urusan akhirat
mempunyai mekanisme pengaturan yang tidak sama dengan mekanisme pengaturan
maslahat untuk urusan dunia.
Menurut Izzuddin bin Abd al-Salam, kemaslahatan akhirat
hanya bisa diketahui melalui dalil-dalil syar’i, yakni Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’, dn Qiyas. Sedangkan kemalashatan dunia bisa diketahui dengan bersandar pada
“keadaan darurat/kemestian, pengalaman/praktik dalam dunia nyata, adat/ budaya,
dan dugaan-dugaan yang bisa dipertanggungjawabkan.” Artinya, masalahat dunia
sesungguhnya bisa dirumuskan dan dikelola oleh akal budi manusia sendiri,
misalnya melalui local wisdom, adat istiadat, tradisi dan pengalaman praktis
yang dilakukan sendiri oleh masyarakat.
Dengan kata lain, penerapan aturan hukum dalam Islam ditakar
dari seberapa jauh hukum tersebut menciptakan maslahat, yakni realisasi lima
prinsip universal yang menjadi tujuan syari’ah seperti sudah disebutkan di
atas.
Dengan menjadikan maslahat sebagai standar acuan, maka
penerapan hukum ta melulu tekstual, tapi juga kontekstual. Terbuka peluang
bahwa keputusan hukum dalam satu tempat bisa saja berbeda dengan keputusan
hukum tentang perkara yang sama di tempat lain. Dan bisa saja keputusan hukum
di suatu masa bisa berbeda dengan keputusan hukum tentang kasus yang sama di
zaman yang lain.
Di samping itu, kalkulus pertimbangan tentang ada tidaknya
kemaslahatan dan kemafsadatan membawa implikasi bahwa setiap putusan hukum
harus mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal masyarakat. Karena itulah,
penerapan syariah yang berporos pada prinsip maslahat senantiasa mengakomodir
budaya setempat, sejauh budaya tersebut tak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syariah. Ini dirumuskan dalam sejumlah kaidah fiqh.
Misalnya, al-‘adah muhakkamah (adat kebiasaan dijadikan
panduan penetapan hukum). Juga kaidah “al-tsabit bi dalalah al-‘urf ka
al-tsabit bi dalalah al-nash” (Apa yang ditetapkan dengan dalil berdasar adat
sama absahnya dengan yang ditetapkan berdasarkan petunjuk nash).
Pada titik inilah letak signifikansi ide Gus Dur tentang
“pribumisasi Islam” yang menekankan pentingnya menjadikan ‘urf (adat, budaya)
dan kebutuhan lokal sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan hukum Islam.
Budaya dan kebutuhan lokal masyarakat Indonesia, misalnya, harus menjadi
pertimbangan utama bagi Muslim Indonesia, bukan budaya Arab. Perbedaan dalam
soal adat dan budaya dengan adat dan budaya Arab zaman Nabi dan Sahabat tak
dilihat sebagai penyimpangan atau bid’ah. Ini sejalan dengan penegasan Imam
Syathibi dalam Al-I’tisham:
وأيضا
إن عدّوا كل محدثات العادات بدعة، فليعدّوا جميع ما لم يكن فيهم من المآكل
والمشارب والملابس والكلام والمسائل النازلة التي لا عهد بها في الزمان الأول
بدعا، وهذا شنيع، فإن من العوائد ما تختلف بحسب الأزمان والأمكنة والإسم، فيكون كل
من خالف العرب الذين أدركوا الصحابة واعتادوا مثل عوائدهم، غير متبعين لهم، هذا من
المستنكر جدا.
Juga apabila mereka menganggap hal-hal yang baru dalam
tradisi/ adat sebagai bid’ah, maka apa sajadalam soal makanan, minuman,
pakaian, perbincangan dan masalah-masalah yang muncul yang tidak ada pada zaman
awal Islam lantas semuanya dianggap sebagai bid’ah; dan ini adalah suatu
pandangan yang sama sekali keliru. Karena tiap adat istiadat itu mengalami
perbedaan berdasar waktu, tempat, dan nama.
Kalau semua itu dianggap bid’ah, maka siapa pun yang
menyelisihi masyarakat Arab yang hidup pada masa Sahabat dan yang menjalankan
tradisi mereka lantas dianggap sebagai orang yang tidak ittiba’ (tidak
mengikuti) generasi awal Islam, tentu ini pandangan yang tak bisa diterima.
Hal lain yang perlu dicatat menyangkut pribumisasi Islam dan
juga Islam Nusantara, keduanya bergerak dalam wilayah garapan al-mutaghayyirat
(aturan-aturan yang bisa berubah dalam ajaran Islam). Ini untuk membedakannya
dengan al-Tsawabit (aturan-aturan yang permanen dalam ajaran Islam).
Yang masuk dalam kategori tsawabit adalah wilayah aqidah dan
ubudiyah (ritual). Prinsip tauhid, iman kepada Nabi Muhammad sebagai nabi
terakhir, dan percaya pada hari pembalasan merupakan hal yang baku dan tidak
berubah-ubah sepanjang masa dan di manapun. Sementara hukum-hukum yang bisa
berubah (al-mutaghayyirat) terletak dalam wilayah relasi manusia dengan
manusia, yang lazim disebut mu’amalat.
Bidang ini meliputi aturan-aturan mengenai hubungan manusia
dalam keluarga, sosial, ekonomi, politik, dan pergaulan antar bangsa. Selain
mu’amalat, hukum-hukum yang bisa berubah juga terdapat dalam wilayah al-awa’id
(adat dan budaya).
Dengan kerangka berpikir di atas, bisa kita katakan bahwa
dalam Islam, urusan aqidah dan ritual harus mengikuti secara persis
aturan-aturan syariah, tanpa boleh ditambah, dikurangi, atau dimodifikasi.
Aturan-aturan tersebut bersifat permanen, kapan pun dan di mana pun. Dalam
ranah ini, taka da ruang gerak bagi pribumisasi Islam. Sedangkan dalam dalam
ranah mu’amalah dan adat budaya, nash (teks syariah) tidak mengatur
detail-detail masalah dan hukum-hukumnya, melainkan lebih menetapkan
dasar-dasarnya (mabadi) saja.
Mu’amalat dan awa’id adalah dimensi hukum Islam yang paling
luas, sekaligus dinamis dan berpotensi berubah seiring dengan berubahnya waktu,
tempat, dan kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Dan pada ranah inilah
pribumisasi Islam menjadi keniscayaan. Dirumuskan dengan cara lain, sementara
urusan ritual menempatkan nash syariah sebagai titik berangkatnya, urusan
budaya menjadikan syariah sebagai garis pembatasnya. Dalam ranah budaya, apa
pun boleh sejauh tak melanggar syariah. Dalam soal-soal kehidupan dunia, semua
boleh selama tak ada dalil yang melarangnya.
Demi Islam yang Mudah dan Jembar
Pribumisasi Islam ala Gus Dur bertolak dari asumsi bahwa
menimbang budaya setempat dalam menerapkan hukum merupakan suatu kebutuhan
masyarakat Islam sendiri dalam menjalankan agamanya. Mengapa demikian? Saya
kira ini berkaitan dengan karakter agama itu sendiri yang mudah, ringan, dan
jembar, dan bukannya menyusahkan, memberatkan, dan menyempitkan.
Bukankah Tuhan sendiri menegaskan bahwa agama diturunkan
pada manusia demi mempermudah kehidupannya, bukan mempersulitnya? Bukankah
agama hadir untuk meringankan, bukan memberatkan? Ini dirumuskan dengan baik
oleh Imam Ibnu Abidin Asy-Syami (1783-1836), mufti agung Damaskus bermazhab
Hanafi pada masa Turki Utsmani:
فكثير
من الأحكام تختلف باختلاف الزمان، لتغير عرف أهله، ولحدوث ضرورة،بحيث لو بقي الحكم
على ما كان عليه، للزم منه المشقة والضرر بالناس، ولخالف قواعد الشريعة المبنية
على التخفيف والتيسير ودفع الضرر والفساد، لبقاء العالم على أتم النظام، وأحسن
أحكام.
“Banyak aturan-aturan hukum Islam yang mengalami perubahan
dengan berubahnya zaman, karena adanya perbedaan ‘urf (adat, tradisi)
masyarakatnya, dan karena keadaan tak terelakkan (dlarurat). Kalau dalam
situasi seperti itu hukum yang berlaku tetap sama seperti sebelumnya, maka itu
akan menimbulkan hal yang memberatkan dan merugikan manusia, yang justru
bertentangan dengan pilar-pilar syariah yang didasarkan pada prinsip
mempermudah, meringankan, dan mencegah kemudaratan dan kerusakan, karena
tetapnya tatanan semesta bergantung pada sempurnanya tatanan dan bagusnya
hukum-hukumnya.”
Pernyataan Imam Ibnu ‘Abidin di atas adalah penegasan
tentang mengapa kontekstualisasi hukum Islam justru merupakan hal yang niscaya
dari perspektif hukum Islam sendiri. Karena kalau konteks zaman berubah tapi
aturan-aturan agama yang mestinya fleksibel dibiarkan membeku dalam masa lalu,
yang muncul justru “hal yang memberatkan dan merugikan manusia, yang justru
bertentangan dengan pilar-pilar syariah yang didasarkan pada prinsip
mempermudah, meringankan, dan mencegah kemudaratan dan kerusakan.”
Dalam arti inilah letak signifikansi makna “pribumisasi”
dalam “pribumisasi Islam” dan ajektif “Nusantara” pada Islam Nusantara. Poin
utamanya bukan kebencian terhadap Arab dan antipasti terhadap budaya Arab,
melainkan kesadaran bahwa ber-islam secara kaffah tak lantas berarti mengganti
tradisi sendiri dengan tradisi Arab, atau kembali ke sistem khilafah. Karena
itu sama saja dengan mempermanenkan hal yang mestinya fleksibel, yang justru
menampilkan keislaman yang sumpek dan menyusahkan, bukannya keislaman yang
jembar dan memudahkan.
Tatanan sosial dan politik Abad Pertengahan seperti khilafah
bisa jadi membawa maslahat pada masanya, tapi kalau diterapkan pada masa
sekarang justru bisa mengakibatkan hal yang sebaliknya.
Walhasil, pribumisasi Islam adalah cara Muslim menerapkan ajaran
Islam dengan kesadaran akan pentingnya konteks di mana ia hidup, karena dengan
kesadaran itulah ia bisa merealisasikan tujuan syariah. Upaya memperhatikan
konteks setempat dan semangat zaman adalah demi memastikan bahwa maslahat
sebagai tujuan syariah betul-betul membumi.
Dilihat dengan cara demkian, pribumisasi islam dan Islam
Nusantara sejatinya justru merupakan manifestasi dari Islam kaffah, yakni Islam
yang komprehensif dan menyeluruh. Pada saat yang sama, Islam Nusantara juga
membuktikan bahwa Islam adalah ajaran yang shalihun li kulli zaman wa makan
(cocok untuk seluruh masa dan tempat).
Wallahu a’lam bi al-shawab.
*Tulisan ini merupakan revisi atas makalah diskusi “Gus Dur
dan Pribumisasi Islam,” Forum Jumat Pertama Gusdurian, Aula Griya Gus Dur,
Jakarta, 3 Maret 2017.
sumber: Geotimes
0 Response to "Gusdur dan Pribumisasi Islam; Forum Jumat Gusdurian"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR