Tafsir Ibn Asyur; Mengenal Corak Tafsir al-Tahrir Wa Tanwir
January 30, 2015
Add Comment
Jakarta, Faquha News - Keinginan untuk Ibn ‘Âsyûr
menulis tafsir sudah sejak lama, namun bisa terealisasi setelah Ibn ‘Âsyûr
dicopot dari kedudukannya sebagai Syaikh besar Islam, beliau akhirnya berkutat
di rumahnya, melakukan kegiatan rutinnya yakni membaca dan menulis, juga
kembali menikmati buku-buku yang terdapat di perpustakaannya[1].
dalam mukadimah tafsirnya beliau menuliskan:
فَقَدْ كَانَ أَكْبَرُ أَمْنِيَّتِي مُنْذُ أَمَدٍ بَعِيْدٍ،
تَفْسِيْرُ الكِتَابِ المجِيْدِ، الجَامِع لِمَصَالِحِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ[2]
“Cita-cita besarku sejak dulu adalah menulis sebuah tafsir
al-Qur’ân yang komprehensif untuk kemaslahatan dunia dan agama”
Ibn ‘Âsyûr memberikan nama
tafsirnya dengan: “Tahrîr al-ma’nâ al-sadîd, wa tanwîr al-‘aqli al-Jadîd, min tafsîr al-kitâb al-majîd”. Kemudian judul yang panjang itu diringkasnya menjadi “al-Tahrîr wa tanwîr min al-tafsîr” dari
namanya al-jadîd artinya baru
Ibn ‘Âsyûr berupaya menawarkan sesuatu yang baru dalam tafsîr, karena
menurutnya tafsir-tafsir yang ada sekalipun banyak, hanya mengulangi dan
mengumpulkan penafsiran terdahulu, sehingga terdapat tumpang tindih antara ikhtisâr
(resume) dan tatwîl[3]
(menjadi syarah terhadap tafsir-tafsir sebelumnya). Sementara tafsir
Ibn ‘Âsyûr lebih memunculkan hal-hal baru yang belum pernah ditulis, dan berkomitmen untuk menjadikan penafsirannya sebagai
sebuah kritik bukan Taqlîd[4]
Ibn ‘Âsyûr berpendapat
bahwa dampak negatif akibat dari monopoli tafsir bi al-ma’tsûr adalah terlantarnya isi
kandungan al-Qur'ân, dan terbatasnya makna. Hingga menjadi sebab
terlambatnya perkembangan ilmu tafsir dan tafsir.[5]
Menurutnya, kebutuhan akan
tafsir bi al-ra'y sangat besar karena Nabi
Saw. tidak menafsirkan seluruh ayat al-Qur'ân, dan nukilan dari
sahabat sedikit, padahal makna al-Qur’ân luas dan tidak akan
pernah habis untuk dibahas. Selain itu tafsîr bi al-ma’tsûr sangat mungkin terdapat
perawi lemah.[6]
Hadis yang berisi tentang peringatan dan ancaman bagi orang yang menafsirkan
al-Qur’ân dengan Ra'yi adalah jika seorang penafsir termasuk kepada salah satu
dari lima tanda:
1.
أَنَّ المرَادُ بالرأي هُوَ القَوْلُ عَنِ مُجَرَّدٍ خَاطِرٍ
دُوْنَ اسْتِنَادٍ الى نَظْرٍ فِى أَدِلَّةِ العَرَبِيَّةِ وتصَاريفِهَا، وَمَا
لابُدَّ مِنْهُ مِنْ مَعْرِفَةِ النَّاسِخِ وَالمنسوخ وسبب النزل
Yang dimaskud dengan kata al-ra'y dalam hadis adalah ide
yang terbesit di hati (mujarradin Khâtirin) tanpa memperhatikan dalil-dalil, baik dari sisi bahasa, maqâsid rî’ah, dan memperhatikan sesuatu yang amat perlu yakni nâsikh mansûkh dan sebab nuzul [7]
Pemakaian ra'y tanpa berdasarkan ilmu
maka sama halnya dengan “ramyatun min ghairi râmin”[8](lempar
batu sembunyi tangan) yakni tidak mengandung kebenaran[9]
٢.أَنْ لاَ يَتَبَّدرَ القُرْآن حقَّ تَدَبّرِهِ فَيُفَسِّرَهُ بِمَا
يَخْطِرُ لَهُ مِنْ بَادِئ الرأيِ دُوْنَ إحَاطَةٍ بِجَوَانِبِ الآية
Tidak melalui tadabbur
al-Qur'ân yakni menafsirkan hanya dengan pandangan sekilas, atau
hanya dari sisi kebahasaan saja tanpa memperhitungkan ayat yang lain (tidak ada
kesinambungan makna antara ayat yang satu dengan yang lain)
Hal ini seperti
menafsikran kata “mubsiratan” dengan “memiliki penglihatan, tidak
buta”, padahal makna yang dimaksud dengan isi dari sûrah al-Isr'â/17: 59 adalah “yang dapat dilihat”
٣. أَنْ يَكُوْنَ لَهُ مَيْلٌ إِلى
نَزْعَةٍ أَوْ مَذْهَبٍ أَوْ نَحْلَةٍ فَيَتَأَوَّلُ القرآن على وِفْقِ رَأْيِه وَيَصْرِفُهُ
عَنِ الُمَرادِ فَيَجُرُّ شَهَادَةُ القُرْآن لِتَقُريْرِ رَأْيِهِ وَيمنعه عَنْ فَهْمِ
القرآن حَقَّ فَهْمِهِ
Terdapat kecenderungan
atau tendensius pada satu madzhab, menakwilkan al-Qur'ân dan memalingkan makna sesuai
dengan keinginannya. Sehingga makna al-Qur'ân dipaksakan agar
menguatkan pendapatnya dan menghindari untuk memahami al-Qur’ân secara
komprehensif”
Ibn ‘Âsyûr memberikan
contoh seperti ketika menafsirkan ilâ rabbihâ nâzirah dengan
arti menunggu nikmat Tuhannya, dengan catatan huruf Jâr ilâ adalah mufrad
(bentuk tunggal dari kata jama’ al-ilâ. Penafsiran ini dianggap keluar
dari makna Zâhir-nya ayat[10]
٤.أَنْ يُفَسَّرَ القُرْآنُ بِرَأْيِهِ مُسْتَنَدٍ إِلى مَا يَقْتَضِيْهِ
اللَّفْظُ ثُمَّ يَزْعَمُ أَنَّ ذلِكَ هُوَ المرَادُ دُوْنَ غَيْرِهِ
Menafsirkan al-Qur´ân dengan pendapatnya sendiri
yang hanya mementingkan makna lafalnya saja lalu menganggap hanya itu itulah
penafsiran yang benar.
٥.أَنْ يَكُوْنَ القَصْدُ مِنَ التَّحْدِيْرِ أَخْذُ الحيطة فِى التَّدْبِيرِ
وَالتَأوِيْلِ ونبذ التسرع ألى ذلك
وَهذَا مَقَامُ تَفَاوُتِ الْعُلَمَاءِ وَاشْتَدَّ
الْغُلُوُّ فى الوَرَعِ بِبَعْضِهِمْ حَتَّى كَانَ لَايَذْكُرُ تَفْسِيْرَ شَيْءٍ
غَيْرَ عَازِيَةٍ الَى غَيْرِهِ
Maksud dari peringatan yang terkandung dalam hadis-hadis
yang melarang menafsirkan adalah mengambil dengan hati-hati dalam tadabbur
dan men-ta’wîl, dan membuang sifat tergesa-gesa padanya
Sikap ini berbeda-beda antara satu mufasir dengan mufasir
lainnya sesuai dengan tingkat kerendahan hati (al-wara’) semakin rendah
hati semkin takut ia menafsirkan al-Qur'ân begitu juga sebaliknya,
sampai ada seorang mufassir yang tidak berani menafsirkan ayat kecuali
mengaitkan kepada selainnya[11]
[2] Muhammad al-Tâhir
ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa tanwîr (Tunis: Dâr Syahnûn li
al-Nasyr wa al-Tauzî’, t.t), J. I, h. 1, lihat juga ‘Alî Iyâzî, al-Mufassirun
hayâtuhum wa manhâjuhum, h. 424
[5] Muhammad al-Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa
tanwîr. h. 29 lihat juga Faizah Ali Syibromalisi
dan Jauhar Azizy, Membahasa Kitab Tafsir Klasik-Modern. h. 107
[7] Menurut Abdul Muqsit Ghazali:
“jika ra’yu dalam hadis ini diartikan dengan akal secara mutlak, maka
pertanyaannya, memangnya mufasir bi al-ma’tsûr berpikir dengan kakinya?” disampaikan pada pidato Pembaharuan
Islam di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki tanggal 08 Juli 2011
[8] Kata ramyatun min gairi râmin adalah bagian dari sya’ir
arab Jâhili lihat al-Syaikh Makhlûf bin Muhammad al-Badawî al-Minyâwî, Hâsiyah ‘alâ Syarah Hilyah al-Lubb al-Masûn li allâmah al-Syaikh Ahmad
al-Damanhurî ‘alâ al-risâlah al-mausû’ah bi al-Jauhar al-Maknûn fî al-Ma’anî wa al-Bayân wa al-Badî’ li al-‘ârif billahi
‘Abdurahmân al-ahdârî (Jedah: al-Haramain, t.th), h. 53
0 Response to "Tafsir Ibn Asyur; Mengenal Corak Tafsir al-Tahrir Wa Tanwir "
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR