-->

Tafsir Ibn Asyur; Mengenal Corak Tafsir al-Tahrir Wa Tanwir

Jakarta, Faquha News - Keinginan untuk Ibn ‘Âsyûr menulis tafsir sudah sejak lama, namun bisa terealisasi setelah Ibn ‘Âsyûr dicopot dari kedudukannya sebagai Syaikh besar Islam, beliau akhirnya berkutat di rumahnya, melakukan kegiatan rutinnya yakni membaca dan menulis, juga kembali menikmati buku-buku yang terdapat di perpustakaannya[1]. dalam mukadimah tafsirnya beliau menuliskan:

فَقَدْ كَانَ أَكْبَرُ أَمْنِيَّتِي مُنْذُ أَمَدٍ بَعِيْدٍ، تَفْسِيْرُ الكِتَابِ المجِيْدِ، الجَامِع لِمَصَالِحِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ[2]
“Cita-cita besarku sejak dulu adalah menulis sebuah tafsir al-Qur’ân yang komprehensif untuk kemaslahatan dunia dan agama”

Ibn ‘Âsyûr memberikan nama tafsirnya dengan: “Tahrîr al-ma’nâ al-sadîd, wa tanwîr al-‘aqli al-Jadîd, min tafsîr al-kitâb al-majîd”. Kemudian judul yang panjang itu diringkasnya menjadi “al-Tahrîr wa tanwîr min al-tafsîr” dari namanya al-jadîd artinya baru




Ibn ‘Âsyûr berupaya menawarkan sesuatu yang baru dalam tafsîr, karena menurutnya tafsir-tafsir yang ada sekalipun banyak, hanya mengulangi dan mengumpulkan penafsiran terdahulu, sehingga terdapat tumpang tindih antara ikhtisâr (resume) dan tatwîl[3] (menjadi syarah terhadap tafsir-tafsir sebelumnya). Sementara tafsir Ibn ‘Âsyûr lebih memunculkan hal-hal baru yang belum pernah ditulis, dan berkomitmen untuk menjadikan penafsirannya sebagai sebuah kritik bukan Taqlîd[4]

Ibn ‘Âsyûr berpendapat bahwa dampak negatif akibat dari monopoli tafsir bi al-ma’tsûr adalah terlantarnya isi kandungan al-Qurn, dan terbatasnya makna. Hingga menjadi sebab terlambatnya perkembangan ilmu tafsir dan tafsir.[5]

Menurutnya, kebutuhan akan tafsir bi al-ra'y sangat besar karena Nabi Saw. tidak menafsirkan seluruh ayat al-Qurn, dan nukilan dari sahabat sedikit, padahal makna al-Qur’ân luas dan tidak akan pernah habis untuk dibahas. Selain itu tafsîr bi al-ma’tsûr sangat mungkin terdapat perawi lemah.[6] Hadis yang berisi tentang peringatan dan ancaman bagi orang yang menafsirkan al-Qur’ân dengan Ra'yi adalah jika seorang penafsir termasuk kepada salah satu dari lima tanda:

1.   أَنَّ المرَادُ بالرأي هُوَ القَوْلُ عَنِ مُجَرَّدٍ خَاطِرٍ دُوْنَ اسْتِنَادٍ الى نَظْرٍ فِى أَدِلَّةِ العَرَبِيَّةِ وتصَاريفِهَا، وَمَا لابُدَّ مِنْهُ مِنْ مَعْرِفَةِ النَّاسِخِ وَالمنسوخ وسبب النزل
Yang dimaskud dengan kata al-ra'y dalam hadis adalah ide yang terbesit di hati (mujarradin Khâtirin) tanpa memperhatikan dalil-dalil, baik dari sisi bahasa, maqâsid rî’ah, dan memperhatikan sesuatu yang amat perlu yakni nâsikh mansûkh dan sebab nuzul [7]

Pemakaian ra'y tanpa berdasarkan ilmu maka sama halnya dengan “ramyatun min ghairi râmin[8](lempar batu sembunyi tangan) yakni tidak mengandung kebenaran[9]

٢.أَنْ لاَ يَتَبَّدرَ القُرْآن حقَّ تَدَبّرِهِ فَيُفَسِّرَهُ بِمَا يَخْطِرُ لَهُ مِنْ بَادِئ الرأيِ دُوْنَ إحَاطَةٍ بِجَوَانِبِ الآية
Tidak melalui tadabbur al-Qurn yakni menafsirkan hanya dengan pandangan sekilas, atau hanya dari sisi kebahasaan saja tanpa memperhitungkan ayat yang lain (tidak ada kesinambungan makna antara ayat yang satu dengan yang lain)

Hal ini seperti menafsikran kata “mubsiratan” dengan “memiliki penglihatan, tidak buta”, padahal makna yang dimaksud dengan isi dari sûrah al-Isr/17: 59 adalah “yang dapat dilihat” 

٣. أَنْ يَكُوْنَ لَهُ مَيْلٌ إِلى نَزْعَةٍ أَوْ مَذْهَبٍ أَوْ نَحْلَةٍ فَيَتَأَوَّلُ القرآن على وِفْقِ رَأْيِه وَيَصْرِفُهُ عَنِ الُمَرادِ فَيَجُرُّ شَهَادَةُ القُرْآن لِتَقُريْرِ رَأْيِهِ وَيمنعه عَنْ فَهْمِ القرآن حَقَّ فَهْمِهِ
Terdapat kecenderungan atau tendensius pada satu madzhab, menakwilkan al-Qurn dan memalingkan makna sesuai dengan keinginannya. Sehingga makna al-Qurn dipaksakan agar menguatkan pendapatnya dan menghindari untuk memahami al-Qur’ân secara komprehensif”

Ibn ‘Âsyûr memberikan contoh seperti ketika menafsirkan ilâ rabbihâ nâzirah dengan arti menunggu nikmat Tuhannya, dengan catatan huruf Jâr ilâ adalah mufrad (bentuk tunggal dari kata jama’ al-ilâ. Penafsiran ini dianggap keluar dari makna Zâhir-nya ayat[10]

٤.أَنْ يُفَسَّرَ القُرْآنُ بِرَأْيِهِ مُسْتَنَدٍ إِلى مَا يَقْتَضِيْهِ اللَّفْظُ ثُمَّ يَزْعَمُ أَنَّ ذلِكَ هُوَ المرَادُ دُوْنَ غَيْرِهِ

Menafsirkan al-Qur´ân dengan pendapatnya sendiri yang hanya mementingkan makna lafalnya saja lalu menganggap hanya itu itulah penafsiran yang benar.

٥.أَنْ يَكُوْنَ القَصْدُ مِنَ التَّحْدِيْرِ أَخْذُ الحيطة فِى التَّدْبِيرِ وَالتَأوِيْلِ ونبذ التسرع ألى ذلك
 وَهذَا مَقَامُ تَفَاوُتِ الْعُلَمَاءِ وَاشْتَدَّ الْغُلُوُّ فى الوَرَعِ بِبَعْضِهِمْ حَتَّى كَانَ لَايَذْكُرُ تَفْسِيْرَ شَيْءٍ غَيْرَ عَازِيَةٍ الَى غَيْرِهِ
Maksud dari peringatan yang terkandung dalam hadis-hadis yang melarang menafsirkan adalah mengambil dengan hati-hati dalam tadabbur dan men-ta’wîl, dan membuang sifat tergesa-gesa padanya

Sikap ini berbeda-beda antara satu mufasir dengan mufasir lainnya sesuai dengan tingkat kerendahan hati (al-wara’) semakin rendah hati semkin takut ia menafsirkan al-Qurn begitu juga sebaliknya, sampai ada seorang mufassir yang tidak berani menafsirkan ayat kecuali mengaitkan kepada selainnya[11]







[1] Man’i Abdul Halim, Metodologi Tafsir, h. 315
[2] Muhammad al-Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa tanwîr (Tunis: Dâr Syahnûn li al-Nasyr wa al-Tauzî’, t.t), J. I, h. 1, lihat juga ‘Alî Iyâzî, al-Mufassirun hayâtuhum wa manhâjuhum, h. 424
[3] Muhammad al-Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa tanwîr, Juz I, h. 7
                [4] Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahasa Kitab Tafsir Klasik-Modern (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 107
[5] Muhammad al-Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa tanwîr. h. 29 lihat juga Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahasa Kitab Tafsir Klasik-Modern. h. 107
[6] Muhammad al-Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa tanwîr. Juz I, h. 8
[7] Menurut Abdul Muqsit Ghazali: “jika ra’yu dalam hadis ini diartikan dengan akal secara mutlak, maka pertanyaannya, memangnya mufasir bi al-ma’tsûr berpikir dengan kakinya?” disampaikan pada pidato Pembaharuan Islam di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki tanggal 08 Juli 2011
                [8] Kata ramyatun min gairi râmin adalah bagian dari sya’ir arab Jâhili lihat al-Syaikh Makhlûf bin Muhammad al-Badawî al-Minyâwî, Hâsiyah ‘alâ Syarah Hilyah al-Lubb al-Masûn li allâmah al-Syaikh Ahmad al-Damanhurî ‘alâ al-risâlah al-mausû’ah bi al-Jauhar al-Maknûn fî al-Ma’anî wa al-Bayân wa al-Badî’ li al-‘ârif billahi ‘Abdurahmân al-ahdârî (Jedah: al-Haramain, t.th), h. 53  
[9] Muhammad al-Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa tanwîr, Juz ke-1, h. 30
[10]Muhammad al-Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa tanwîr, Juz ke-1, h. 30
[11]Muhammad al-Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa tanwîr, Juz ke-1, h. 30

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Tafsir Ibn Asyur; Mengenal Corak Tafsir al-Tahrir Wa Tanwir "

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel