Tafsir Ibn Asyur; Kecenderungan Maqasid Syari’ah dalam Tafsîr al-Tahrir wa Tanwir
January 30, 2015
Add Comment
Faquha News - Corak Penafsiran Ibn ‘Âsyûr adalah Adabi Ijtimâi’[1].
ia menjadikan Tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr sebagai aplikasi dari
pemikirannya yaitu konsep Maqâsid Syari’ah.
Ibn ‘Âsyûr mengkaji lebih
detail dan komprehensif dengan mendasarkan maqâsid al-syâri’ah
menjadi bagian hal qat’i (universal dan tidak berubah-ubah
substansinya), yaitu maqâsid al-syâri’ah yang dibangun atas dasar
fitrah, dari fitrah tumbuh prinsip moderat (samâhâh), kemudahan (taisîr),
memandang sama hak dan kewajiban atau egalitarian (musâwah) dan
kebebasan (hurriyyah)[2].
Bagi Ibn ‘Âsyûr, seorang faqîh
atau mufassir harus memahami maqâsid al-syâri’ah dalam
ber-istinbât sebuah dalil, baik dalil yang berasal dari sunnah
nabi, atsar sahabat, maupun ucapan para salaf. Bagi Ibn ‘Âsyûr,
penolakan ‘Âisyah terhadap hadis يُعَذَّبُ المَيِّتُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ (akan disiksanya seorang mayit karena tangisan keluarganya)
berdasarkan ayat 167 dari sûrah al-Anâm[3]
adalah bukti peranan dari maqâsîd al-syâri’ah dalam konstruksi
hukum[4]
Dalam tafsir kontekstual
masing-masing penafsir kontekstual memiliki kecenderungan metode tersendiri
dalam metodologi penafsirannya, misalnya Fazlur Rahman dengan metode double
movement-nya dan Syahrur dengan teori batasnya (nazâriyyah al-hudûd).
Dalam metode double
movement Fazlurahman, seorang penafsir ketika berhadapan
dengan teks harus bergerak dari situasi sekarang ke masa lampau guna melihat
konteks sosio-historisnya dan menemukan prinsip-prinsip universal (ideal
moral) untuk kemudian kembali
lagi ke situasi sekarang guna melakukan kontekstualisasi atas nilai-nilai
tersebut. Sedangkan teori batas nazariyyatul hudud) terdiri atas batas minimal (hadd al-adnâ) dan batas
maksimal (hadd al-a’lâ). Seorang penafsir diperbolehkan melakukan ijtihad seiring
dengan waktu dan tempat dengan syarat ijtihadnya masih dalam wilayah hududullah, artinya penafsir tidak melampaui batas-batas ketentuan
tersebut[5]
Pendekatan
maqasid al-syariah dalam penafsiran juga mengikuti paradigma tafsir
kontektual. Terlepas tafsir maqasidi termasuk bagian dari tafsir kontekstual atau tidak, keduanya mempunyai
tujuan sama, yaitu pada pandangan ontologis bahwa al-Qur’ân salihun li kulli zaman wa makan sehingga akan meminimalisir
perbedaan pendapat serta dapat mengungkap makna universal al-Qur’an. Pendekatan
maqasid al-syariah berusaha mempresentasikan langkah-langkah
komprehensif dan mandiri sebagai pendekatan penafsiran baru
Faktor-faktor internal dan
eksternal
Terdapat empat faktor yang
menjadi kunci keberhasilan Ibn ‘Âsyûr menjadi seorang
pemikir/berwawasan yang luas disertai kemulian akhlak: “Pertama adalah keistimewaan yang dimiliki Ibn ‘Âsyûr, yakni kekuatan dan
keinginan hatinya untuk belajar, berikut kecerdasan yang dimilikinya kedua: Lingkungan
keluarga yang mendukung pada keilmuan, diceritakan bahwa keluarga Ibn ‘Âsyûr memiliki perpustakaan
al-‘Âsyûriyyah yang di dalamnya memuat naskah dan catatan-catatan
yang langka baik dalam bidang sastra, agama, maupun perundang-undangan.
Ketiga: Para guru Ibn ‘Âsyûr yang selalu menuntun
arahnya, memberikan pelajaran tentang arah suasana pada masanya, mereka
memperdalam kecerdasan Ibn ‘Âsyûr dengan berbagai macam ilmu pengetahuan. Keempat: Hubungan Ibn ‘Âsyûr dengan para pembaharu
pada masanya, seperti gerakan pembaharu \yang dipimpin oleh Jamâl al-Dîn
al-Afghânî,
kemudian muridnya Muhammad ‘Abduh (w. 1905 M.), kemudian murid ‘Abduh sendiri
yakni Rasyîd Ridâ (w. 1935)[6]
[1] Dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr nuasa fiqh sangat
dominan karenanya, upaya menafsirkan ayat dalam kaitannya dengan persoalan
hukum-hukum Islam banyak dijumpai, tidak heran tafsir ini tergolong panjang
lebar dalam pembahasan, aspek kebahasaan juga terlihat dominan karena
penulisnya mahir bahasa juga ahli sastra. Lihat Abdul Aziz Muchammad “Syariah
dan Tafsir al-Qur’ân; Elaborasi Maqâsid dalam Tafsir Ibn ‘Âsyûr” Tesis S-2 Konsentrasi Ulum al-Qur’ân Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2008. H. 34
[2] Penelitian mengenai
aplikasi Maqâsid Syâri’ah Ibn ‘Âsyûr dalam tafsirnya telah
dilakukan oleh Azmil Mufidah dalam sebuah Skripsi yang berjudul “Tafsir
Maqâsid; Pendekatan Maqâsid Syâri’ah Tâhir Ibn Asyûr dan Aplikasi
nya dalam Tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr” lihat Azmil Mufidah “Tafsir
Maqâsid; Pendekatan Maqâsid Syâri’ah Tâhir Ibn Asyûr dan Aplikasi
nya dalam Tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr” Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta 2013.
dan tidaklah seorang membuat
dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain
[4] Ibn ‘Âsyûr, maqâsid
al-syâri’ah h. 189
[5]. Abdul Mustaqim, “Epistemologi Tafsir Kontemporer”
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2010), hlm.
154
[6] Agus Imam Kharomen skripsi dengan Judul “Ayat-ayat
antropmorfisme dalam al-Qur’ân; Studi Analisis Penafsiran Ibnu ‘Āsyūr terhadap
Ayat-Ayat Antropomorfismedalam Kitab al-Taḥrīr wa al-Tanwīr)”, Jurusan Tafsir
Hadis, IAIN Wali Songo Semarang 2012. h. 22
0 Response to "Tafsir Ibn Asyur; Kecenderungan Maqasid Syari’ah dalam Tafsîr al-Tahrir wa Tanwir"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR