-->

Tafsir Ibn Asyur; Kecenderungan Maqasid Syari’ah dalam Tafsîr al-Tahrir wa Tanwir

Faquha News - Corak Penafsiran Ibn ‘Âsyûr adalah Adabi Ijtimâi[1]. ia menjadikan Tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr sebagai aplikasi dari pemikirannya yaitu konsep Maqâsid Syari’ah.

Ibn ‘Âsyûr mengkaji lebih detail dan komprehensif dengan mendasarkan maqâsid al-syâri’ah menjadi bagian hal qat’i (universal dan tidak berubah-ubah substansinya), yaitu maqâsid al-syâri’ah yang dibangun atas dasar fitrah, dari fitrah tumbuh prinsip moderat (samâhâh), kemudahan (taisîr), memandang sama hak dan kewajiban atau egalitarian (musâwah) dan kebebasan (hurriyyah)[2].

Bagi Ibn ‘Âsyûr, seorang faqîh atau mufassir harus memahami maqâsid al-syâri’ah dalam ber-istinbât sebuah dalil, baik dalil yang berasal dari sunnah nabi, atsar sahabat, maupun ucapan para salaf. Bagi Ibn ‘Âsyûr, penolakan ‘Âisyah terhadap hadis يُعَذَّبُ المَيِّتُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ (akan disiksanya seorang mayit karena tangisan keluarganya) berdasarkan ayat 167 dari sûrah al-Anâm[3] adalah bukti peranan dari maqâsîd al-syâri’ah dalam konstruksi hukum[4]


Dalam tafsir kontekstual masing-masing penafsir kontekstual memiliki kecenderungan metode tersendiri dalam metodologi penafsirannya, misalnya Fazlur Rahman dengan metode double movement-nya dan Syahrur dengan teori batasnya (nazâriyyah al-hudûd).

Dalam metode double movement Fazlurahman, seorang penafsir ketika berhadapan dengan teks harus bergerak dari situasi sekarang ke masa lampau guna melihat konteks sosio-historisnya dan menemukan prinsip-prinsip universal (ideal moral) untuk kemudian kembali lagi ke situasi sekarang guna melakukan kontekstualisasi atas nilai-nilai tersebut. Sedangkan teori batas nazariyyatul hudud) terdiri atas batas minimal (hadd al-adnâ) dan batas maksimal (hadd al-a’lâ). Seorang penafsir diperbolehkan melakukan ijtihad seiring dengan waktu dan tempat dengan syarat ijtihadnya masih dalam wilayah hududullah, artinya penafsir tidak melampaui batas-batas ketentuan tersebut[5]

Pendekatan maqasid al-syariah dalam penafsiran juga mengikuti paradigma tafsir kontektual. Terlepas tafsir maqasidi termasuk bagian dari tafsir  kontekstual atau tidak, keduanya mempunyai tujuan sama, yaitu pada pandangan ontologis bahwa al-Qur’ân salihun li kulli zaman wa makan sehingga akan meminimalisir perbedaan pendapat serta dapat mengungkap makna universal al-Qur’an. Pendekatan maqasid al-syariah berusaha mempresentasikan langkah-langkah komprehensif dan mandiri sebagai pendekatan penafsiran baru

Faktor-faktor internal dan eksternal

Terdapat empat faktor yang menjadi kunci keberhasilan Ibn ‘Âsyûr menjadi seorang pemikir/berwawasan yang luas disertai kemulian akhlak: “Pertama adalah keistimewaan yang dimiliki Ibn ‘Âsr, yakni kekuatan dan keinginan hatinya untuk belajar, berikut kecerdasan yang dimilikinya kedua: Lingkungan keluarga yang mendukung pada keilmuan, diceritakan bahwa keluarga Ibn ‘Âsyûr memiliki perpustakaan al-‘Âsyûriyyah yang di dalamnya memuat naskah dan catatan-catatan yang langka baik dalam bidang sastra, agama, maupun perundang-undangan.

Ketiga: Para guru Ibn ‘Âsyûr yang selalu menuntun arahnya, memberikan pelajaran tentang arah suasana pada masanya, mereka memperdalam kecerdasan Ibn ‘Âsyûr dengan berbagai macam ilmu pengetahuan. Keempat: Hubungan Ibn ‘Âsyûr dengan para pembaharu pada masanya, seperti gerakan pembaharu \yang dipimpin oleh Jamâl al-Dîn al-Afghânî, kemudian muridnya Muhammad ‘Abduh (w. 1905 M.), kemudian murid ‘Abduh sendiri yakni Rasyîd Ridâ (w. 1935)[6]




[1] Dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr nuasa fiqh sangat dominan karenanya, upaya menafsirkan ayat dalam kaitannya dengan persoalan hukum-hukum Islam banyak dijumpai, tidak heran tafsir ini tergolong panjang lebar dalam pembahasan, aspek kebahasaan juga terlihat dominan karena penulisnya mahir bahasa juga ahli sastra. Lihat Abdul Aziz Muchammad “Syariah dan Tafsir al-Qur’ân; Elaborasi Maqâsid dalam Tafsir Ibn ‘Âsyûr” Tesis S-2  Konsentrasi Ulum al-Qur’ân Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2008. H. 34 

[2] Penelitian mengenai aplikasi Maqâsid Syâri’ah Ibn ‘Âsyûr dalam tafsirnya telah dilakukan oleh Azmil Mufidah dalam sebuah Skripsi yang berjudul “Tafsir Maqâsid; Pendekatan Maqâsid Syâri’ah Tâhir Ibn Asyûr dan Aplikasi nya dalam Tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr” lihat Azmil Mufidah “Tafsir Maqâsid; Pendekatan Maqâsid Syâri’ah Tâhir Ibn Asyûr dan Aplikasi nya dalam Tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr” Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2013.
      [3]وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain
[4] Ibn ‘Âsyûr, maqâsid al-syâri’ah h. 189

[5]. Abdul Mustaqim, “Epistemologi Tafsir Kontemporer” (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2010), hlm. 154
[6] Agus Imam Kharomen skripsi dengan Judul “Ayat-ayat antropmorfisme dalam al-Qur’ân; Studi Analisis Penafsiran Ibnu ‘Āsyūr terhadap Ayat-Ayat Antropomorfismedalam Kitab al-Taḥrīr wa al-Tanwīr)”, Jurusan Tafsir Hadis, IAIN Wali Songo  Semarang 2012. h. 22

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Tafsir Ibn Asyur; Kecenderungan Maqasid Syari’ah dalam Tafsîr al-Tahrir wa Tanwir"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel