Kadang-kadang kalimat tersebut dikutip sebagai “Religion is the opium for the people”, padahal sebenarnya yang tertulis adalah “Religion is the opium of the people”. Perbedaannya kecil saja, hanya “for” dan “of”, tetapi bisa menimbulkan interpretasi yang menyimpang sama sekali dari aslinya. Versi pertama (candu bagi rakyat) memberi kesan seolah-olah agama menjadi alat dalam tangan golongan kecil (alim ulama, kaum rohaniwan) untuk mempermainkan dan menindas rakyat, barangkali atas nama dan bekerjasama dengan golongan yang berkuasa (kaum kapitalis). Padahal, maksud Marx tidak demikian. Menurut Marx, yang dimaksud sebagai agama menjadi candu rakyat adalah suatu keadaan objektif yang terjadi di dalam masyarakat. Mengapa Marx menyebut agama sebagai candu? Sebab, agama membuat manusia hidup dalam suatu dunia khayalan. Baginya agama adalah semacam eskapisme, usaha untuk keluar dari dunia yang nyata agar dapat masuk suatu dunia lain yang tidak lagi ditandai penderitaan dan kesusahan, suatu dunia sempurna. Agama dengan janjinya tentang surga yang penuh kebahagiaan menyediakan penghiburan yang memuaskan bila keadaan suatu masyarakat sudah tak tertolong lagi buruknya karena mereka tertindas. Dengan itu manusia sendiri sangat dirugikan, sebab ia jadi melarikan diri dari tugasnya memperbaiki nasibnya dan membuat dunianya tempat yang pantas dihuni dan dikerjakan manusia. Untuk memahami kritik Marx terhadap agama harus memperhatikan konteks sosial zaman itu. Zaman di sekitar Marx adalah zaman penuh penindasan. Ada fakta penindasan oleh kaum kelas atas (pemilik modal) atas kaum kelas bawah (budak, buruh). Kenyataan seperti ini merupakan akibat dari ketidakberdayaan kelas bawah untuk menemukan kehidupan yang setara dan bahagia sebagaimana dirasakan oleh kaum kelas atas. Di sisi lain, perlu pula ditanyakan, keberagamaan dalam arti apakah yang sebenarnya dimaksud oleh Marx? Secara definitif sebenarnya keberagamaan yang dikritik oleh Marx adalah keberagamaan fatalis, eskapis, dan ilutif. Kritik Marx terhadap agama bermaksud untuk menyingkirkan ilusi-ilusi yang membuat manusia terus berusaha mencari rasa nyaman dari situasi ketertindasan yang mereka alami. Dengan mengkritik keberagamaan ini diharapkan manusia beragama membuka mata terhadap kenyataan diri mereka, menghadapinya sehingga akan berusaha berhenti dari segala bentuk ketertindasannya. Agama menjadi semacam pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri dari ketidakpastian hidup dan penderitaan. Manusia lalu hanya dapat merealisasikan diri secara semu yakni dalam khayalan agama karena struktur masyarakat riil (nyata) tidak memberi ruang bagi manusia untuk merealisasikan dirinya dengan sungguh-sungguh. Kritik Marx terhadap agama masih sangat relevan untuk zaman modern seperti sekarang ini. Dalam hal ini, agama yang hendak dikritik adalah agama sebagai suatu lembaga-institusional yang mempunyai norma dan aturan untuk mengikat dan mengatur perilaku hidup para pengikutnya. Di sisi lain, berdasarkan perspektif Marx, kaum beragama hendaknya sadar bahwa agama sering hanya dijadikan sebagai alat legitimasi penindasan, keotoriterian penguasa, dan menjadi alat sebagai pembodohan manusia. Jika dibenturkan pada situasi konteks Marx, maka dapat kita baca dengan jelas bahwa kalangan gereja di abad pertengahan ke bawah dijadikan sebagai alat legitimasi penindasan oleh para penguasa. Umat Kristen oleh gereja selalu didoktrin akan keindahan surga jika menjalankan penderitaan dengan sukarela dan tidak melawan rezim yang sedang memimpin. Para pemuka agama memanfaatkan kedudukan yang strategis itu justru untuk melegalkan penindasan dimasa itu. Salah satunya adalah melarang kebebasan berpikir. Dan kebebasan berpikir adalah awal bagi perlawanan terhadap penindasan. Pemikiran Marx ini banyak menginspirasi para tokoh untuk memperjuangkan dan membela rakyat dari segala penindasan. Di Amerika Latin, misalnya Gustavo Gutierrez, yang merupakan pastur di Amerika Latin mencetuskan “Teologi Pembebasan” di mana agama dijadikan alat untuk membebaskan rakyat dari para kapitalis dan kediktaktoran pemerintah. Meski banyak mendapat tentangan dari pemerintah maupun Vatikan, Gustavo tetap memperjuangkan kepentingan rakyat. Menurut Gustavo, agama harusnya digunakan sebagai alat pembebas bukannya sebagai alat penindas. Dalam Islam sendiri Teologi Pembebasan ini juga dipraktikkan oleh Ali Syariati, di mana Syariati mengecam para ulama yang membela kepentingan para borjuis demi kepentingan pribadi daripada rakyat yang semakin tertindas. ~Fahruddin Faiz, dalam buku Lintasan Perspektif