Menangkal Politisasi Masjid Perspektif Fiqh Siyasah
Menangkal Politisasi Masjid Perspektif Fiqh Siyasah
Kebijakan takmir yang
melarang kegiatan politik praktis masuk ke masjid ataupun melarang isi
khutbah dan pengajian yang bernada menyudutkan dan merendahkan kelompok
lain, ataupun yang berisi ujaran kebencian dan provokasi adalah bentuk kebijakan
yang dibenarkan berdasarkan tinjauan fiqh siyasah. Hal tersebut
sesuai dengan beberapa kaidah fiqh siyasah yang berbunyi:
“Kebijakan
seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Berdasarkan
kaidah tersebut, apa yang dilakukan oleh takmir masjid harus berlandaskan
pada kemaslahatan masjid dan kemaslahatan jama’ah. Apabila ada takmir
dalam mengelola masjid menimbulkan perpecahan antar jama’ah, atau ada
jama’ah setelah selesai ikut pengajian di masjid menjadi pribadi yang
gemar mengkafirkan, menyalahkan dan membuat keributan, maka takmir
tersebut sudah menyalahi kaidah di atas. Takmir juga tidak boleh
bertentangan dengan shariat Islam dan tidak boleh mendatangkan mafsadah
(kerusakan, kemadharatan) bagi masjid dan jama’ah.
Setiap kebijakan yang
membawa mashlahah bagi masjid dan jama’ah, itulah yang harus
direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dievaluasi. Sebaliknya,
setiap kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan madharat harus
disingkirkan dan dijauhi. Upaya
takmir yang lebih menekankan aspek persatuan atau ukhuwah Islamiyah,
dengan membuat kebijakan bahwa isi kajian dan ceramah ataupun khutbah
tidak boleh menyinggung, mengkritisi dan menyalahkan pendapat mazhab fiqh
yang lain adalah merupakan perwujudan dari penerapan kaidah fiqh
siyasah yang berbunyi:
“Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi”
Dinamika kehidupan bersama antar manusia sering
terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini penting dalam memberi
alternatif pemecahan masalah, tetapi berupaya mencari jalan agar dapat
diperoleh kesepakatan adalah disenangi yang awalnya terjadi perbedaan
pendapat. Memanfaatkan
masjid untuk menyebarkan kebencian dan menumbuhkan rasa takut, sama
halnya dengan menabur benih rusak ke dalam tanah yang subur. Alih-alih
mengharapkan benih tersebut tumbuh dengan baik, yang terjadi bisa saja
membuat tanah yang ada menjadi tidak produktif dan hasilnya mengecewakan
semua pihak.
Takmir dalam menjalankan manajemen
ketakmirannya, perlu mempraktikkan kaidah ini agar apa yang diputuskan
demi kepentingan masjid dan jama’ah menjadi kepentingan yang disepakati
dan dijalankan oleh semua pihak. Meskipun dalam proses pembuatan
kebijakan tersebut terdapat perbedaan pendapat, namun semuanya bermuara
pada kemaslahatan masjid dan jama’ah. Sebagai buah contoh kebijakan,
meskipun sebuah masjid mengikuti salah satu fiqh imam mazhab, namun dalam
praktiknya setiap khutbah dilarang berisi masalah yang bersifat khilafiyah.
Penceramah dilarang mengunggulkan salah satu mazhab fiqh, dan dilarang
merendahkan mazhab fiqh yang lain. Hal ini dilakukan untuk menghindari
perecahan umat Islam, terlebih hal tersebut masih bersifat khilafiyah yang
masing-masing imam mazhab memiliki landasan dan dalil hukumnya.
Kaidah ini berdasarkan Sabda Nabi Saw., yang
artinya “Maka barang siapa menjaga diri dari syubhat (seperti perbedaan
pendapat misalnya), maka ia telah mencari kebersihan untuk agama dan
kehormatannya”. Kebijakan takmir masjid di Kota Surabaya dalam menolak
adanya politisasi masjid juga sejalan dengan kaidah fiqh yang
berbunyi:
“Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain
lebih utama daripada hanya terbatas untuk kepentingan sendiri.”
Kaidah tersebut memiliki
makna bahwa takmir dalam rangka menolak politisasi masjid lebih
berfikiran tentang kepentingan orang banyak (jama’ah masjid), meskipun
andaikata terdapat politisasi masjid dan mungkin saja masjid dan atau orang
yang berkepentigan akan diuntungkan dengan hal tersebut, namun ternyata
takmir lebih memilih mempertimbangkan kepentingan jama’ah masjid daripada
kepentingan masjid dan orang tertentu. Bahkan tidak hanya masalah politik
praktis yang dilarang di masjid, melainkan juga hal-hal yang bersifat khilafiyah
dalam masalah agama tidak boleh ditonjolkan dan tidak boleh
diperbesar, hal ini untuk menghindari adanya perpecahan dan permusuhan
umat
Selain tiga kaidah fiqh
di atas terdapat kaidah fiqh lainnya yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban takmir masjid, yaitu:
“Bagi
mereka ada hak seperti hak-hak yang ada pada kita dan terhadap mereka
dibebani kewajiban seperti beban kewajiban terhadap kita”
Berdasarkan kaidah tersebut, dapat diketahui
bahwa terdapat adanya persamaan hak dan kewajiban di antara sesama
jama’ah masjid yang dilandasi oleh moral ukhuwah islamiyyah, meskipun
mereka berbeda suku, dan berbeda mazhab fiqh, dan yang lain, tetapi
mereka semua memiliki untuk menggunakan masjid untuk beribadah, untuk
menimba ilmu dan lainnya. Begitu pula, mereka semua memiliki kewajiban
untuk menjaga masjid dari berbagai macam hal yang dapat merugikan Islam
dan jama’ah.
Selain kaidah fiqh siyasah di atas,
pelarangan politisasi masjid juga mengacu pada tindakan Nabi Muhammad
Saw., terhadap masjid Dhirar. Masjid Dhirar didirikan oleh sekawanan orang munafik dari penduduk Madinah yang
jumlahnya dua belas orang. Mereka mendirikan
masjid dengan tujuan menimbulkan kemadharatan
pada masjid dan orang mukmin, untuk
menguatkan kekafiran orang munafik, serta bertujuan memecahbelah jama’ah kaum mukminin, sebagaimana Firman
Allah SW
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada
orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan
kemadharatan (pada orang-orang Mukmin), untuk kekafiran dan memecah belah antara orang-orang Mukmin
serta menunggu kedatangan orang
yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, ”kami tidak menghendaki
selain kebaikan.” Dan Allah menjadi
saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (QS. al-Taubah: 107)
Hal ini dapat dilihat pada awal
Islam, kaum muslimin shalat di satu masjid, yaitu masjid
Quba. Namun karena ada masjid baru, akhirnya terpecah menjadi dua, Masjid Quba dan Masjid Dhirar. Orang-orang yang mendirikan
masjid Dhirar ingin mendapatkan
kesempatan menyebarkan syubhat, menghasut, menfitnah dan memecah belah shaf kaum mukminin. Mengetahui kemadharatan
Masjid Dhirar, akhirnya Nabi Muhammad
Saw., mengutus Malik bin Dukhsyum saudara Bani Salim dan Ma’an bin Adi agar pergi ke masjid yang didirikan oleh
orang-orang dzalim (masjid Dhirar) untuk menghancurkan dan membakar masjid tersebut.32 Kemudian lokasi bekas bangunan masjid
Dhirar dijadikan tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang. Demikian akhir dari masjid yang didirikan atas dasar
kemunafikan dan niat yang tidak baik, niat untuk memecah belah umat Islam,
melakukan propaganda-propaganda yang memicu permusuhan di antara sesama muslim.
Sejalan dengan pasal 280 ayat 1
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yang berbunyi: “(1)
Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang: a. Mempersoalkan
dasar negara Pancasila, pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; b.
Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau
Peserta Pemilu yang lain; d. Menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun
masyarakat; e. Mengganggu ketertiban umum; f. Mengancam untuk melakukan
kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok
anggota masyarakat, dan/atau peserta Pemilu yang lain; g. Merusak dan/atau
menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu; h. Menggunakan
fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan; i. Membawa
atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar
dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan; j. Menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye pemilu.”34
Larangan kampanye di tempat ibadah, tidak hanya
di dalamnya saja, melainkan juga semua bentuk kegiatan seperti menempel
stiker dan pemasangan alat peraga kampanye juga termasuk hal yang
dilarang dilakukan di tempat ibadah dan halamannya. Mengikuti
hukum yang dibuat oleh pemerintah sebagaimana Undang- Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 4 Tahun 2017 Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota serta
aturan hukum lainnya adalah merupakan salah satu bukti ketaatan warga
negara kepada pemimpinnya. Ketaatan kepada pemimpin merupakan kewajiban
setiap orang, sebagaimana ditegaskan di dalam al-Qur’an Surat al-Nisa’
ayat 59:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Qur’an) dan Rasulullah, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Qs. Al-Nisa”: 59)
Juga terdapat hadis Nabi Muhammad Saw., yang
menjelaskan tentang perintah taat kepada pemimpin, antara lain:
Dari Abu Hurairah dari Nabi
Muhammad Saw., bersabda: “Barang siapa yang mentaati aku
sungguh ia telah mentaati Allah, dan barang siapa yang durhaka padaku
sungguh ia telah mendurhakai Allah, barang siapa yang taat pada pemimpin
sungguh ia telah taat padaku, dan barang siapa yang durhaka pada pemimpin
sungguh ia telah durhaka padaku”. (Hr. Muslim)
“Wajib
atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada
apa-apa yang ia cintai atau ia benci kecuali jika ia disuruh untuk
berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk berbuat kemaksiatan, maka
tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.” (Hr. Bukhari dan
Muslim)
Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa
kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi, tetaplah mendengar dan
mentaati, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak hitam…
(Hr. Ahmad)
Ketaatan kepada pemimpin adalah suatu kewajiban,
salah satu contoh mentaati pemimpin adalah dengan tidak melanggar produk
hukum yang dibuat oleh pemimpin. Sebagaimana Machfuzh Arief Effendi,
menyatakan, bahwa sebagai seorang muslim yang baik, kita tidak boleh
melanggar al-Qur’an dan sunnah, serta tidak boleh melanggar produk-produk ulil
amri (pemimpin) seperti Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang, dan kebijakan atau produk hukum lainnya, bahkan sampai
aturan yang dibuat oleh RT dan Takmir masjid. Semua itu harus kita taati,
karena sudah disepakati, kalau tidak ditaati, maka kita termasuk oran munafik.
Kecuali jika produk hukum atau kebijakan yang dibuat tersebut mengandung
kemaksiatan, maka tidak ada ketaatan dalam mematuhi aturan atau kebijakan
tersebut
Masjid sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan
sosial, takmir masjidnya memiliki kewajiban untuk senantiasa memberikan
kedamaian, ketenangan dan kebahagiaan kepada siapapun yang ada di dalam
masjid. Sehingga takmir memiliki kewajiban untuk mengontrol dan
menentukan isi ceramah dan khutbah.
0 Response to "Menangkal Politisasi Masjid Perspektif Fiqh Siyasah "
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR