Kisah Pertaubatan Ka’ab bin Malik
April 16, 2017
Add Comment
FAQUHA.com - Ka’ab bin Malik adalah paman dari Abdurrahman bin Abdullah,
yaitu perawi hadis yang menceritakan kisah Ka’ab bin Malik yang ketinggalan
dalam perang Tabuk, yang terdapat dalam kitab shahih bukhari, kitab maghazi
(peperangan), bab ke 80, hadist ke 4418.
Sebelum pergi perang Tabuk, pada malam aqabah kaum muslimin
telah saling berjanji untuk setia kepada islam dan berbuat apa saja demi islam
termasuk perang berjihad di jalan-Nya. Untuk menghadapi perang Tabuk ini,
saking semangatnya, Ka’ab bin Malik telah membeli dua tunggangan yang belum
pernah dibelinya dalam perang-perang sebelumnya.
Sebelum peperangan ini dilakukan, Rasulullah memerintahkan
kepada seluruh kaum muslimin yang hendak pergi perang untuk mempersiapkan semua
hal yang dibutuhkan dalam perjalanan menuju Tabuk dan pastinya ketika perang.
Adapun jumlah orang yang ikut dalam perang Tabuk ini sangatlah banyak, ada yang
mengatakan 10.000 hingga 40.000 orang sehingga tidak dapat dirangkum dalam buku
daftar orang yang ikut peperangan. Saking banyaknya orang yang ikut dalam
perang tersebut, seandainya saja ada diantara mereka yang akan ikut tersebut
mengecoh untuk tidak jadi ikut, hal itu tidak akan diketahui melainkan Allah
yang memberi tahu.
Ketika Rasul dan para sahabat lainnya telah bersiap-siap
untuk pergi perang Tabuk, Ka’ab bin Malik malah menunda-nunda persiapannya
tersebut hingga keesokan harinya, telah tiba hari esok harinya, Ka’ab menunda
lagi, itulah yang dilakukan Ka’ab kurang lebih salama tiga hari, sehingga Rasul
dan kaum muslimin telah berangkat jauh dan meninggalkannya.
Keinginan Ka’ab untuk menyusul kaum muslimin dalam
perjalanan sempat terbesit, tapi lagi-lagi Ka’ab beranggapan bahwa itu adalah
sebuah takdir yang telah ditetapkan untuk dirinya sebagai orang yang tidak ikut
dalam perang Tabuk. Jadi, alasan Ka’ab untuk tidak ikut perang Tabuk tidak ada.
Ketika Rasul sedang duduk bersama para sahabat dalam perang
Tabuk, beliau teringat pada Ka’ab yang tidak dilihatnya dalam peperangan itu.
Rasul berkata “Mana Ka’ab bin Malik”? kemudian ada seorang laki-laki dari bani
Salamah menyahuti pertanyaan Rasul dan menjawab “sesungguhnya Ka’ab lebih
mementingkan dirinya daripada ikut dalam paperangan ini” kemudian jawaban
tersebut disanggah oleh Muadz bin Jabal dengan perkataan “sangat buruk
pandangamu kepada Ka’ab”.”Wahai Rasulullah, kami mengetahui bahwa Ka’ab
tidaklah seperti itu” tambah Mu’azd bin Jabal.
Kemudian, ketika berita kepulangan kaum muslimin dari perang
Tabuk ini sampai ketelinga Ka’ab, Ka’ab pun mulai merasa gelisah, dia bingung
apa alasan yang akan diutarakannya kepada Rasul karna tidak ikut dalam perang
ini. Sempat Ka’ab merancang-rancang kedustaan supaya dia tidak dimarahi oleh
Rasul, diantara usaha yang dilakukan Ka’ab adalah meminta bantuan kepada orang
bijak dan kepada keluarganya untuk mencarikannya alasan supaya dia terhindar
dari kemarahan Rasul, tetapi rencana berbuat kedustaan tersebut di urungkannya,
dan dia tetap akan berkata jujur apa adanya kepada Rasul.
Seperti biasanya, sepulang dari peperangan, Rasul dan kaum
muslimin langsung pergi ke masjid dan melakukan shalat, dan berbincang-bincang
dengan sahabat lainnya, di sanalah para sahabat yang tidak ikut perang Tabuk
mendatangi Rasul dan menyajikan alasan mereka masing-masing kenapa mereka tidak
ikut perang Tabuk. Adapun jumlah mereka yang mengutarakan alasannya pada waktu
itu adalah kurang lebih 80 orang, Rasul pun menerima alasan mereka dan
memamafkan mereka, dan alasan mereka yang sebenarnya beliau serahkan kepada
Allah, biar Allah yang menghukum menurut kejadian yang sebenarnya.
Ketika giliran Ka’ab, dia menghadap kepada Rasul dan memberi
salam, Rasul memandang kepadanya dengan senyuman orang marah. Rasul menanyakan
kepada Ka’ab apa alasan dia untuk tidak ikut dalam perang Tabuk ini. Ka’ab
menjawab “seandainya hari ini aku berdusta kepadamu wahai Rasulullah dan engkau
ridha, maka Allah sendiri yang akan menjadikanmu murka kepadaku, tapi jika aku
jujur kepadamu, niscaya engkau akan marah kepadaku. Ka’ab berkata “Ya
Rasulullah aku tidak mempunyai alasan apapun untuk tidak ikut dalam perang
Tabuk ini”.
Mendengar jawaban dari Ka’ab itu Rasul terdiam, kemudian
menyuruh Ka’ab pergi dan menunggu keputusan dari Allah. Ketika Ka’ab pergi,
orang-orang dari bani Salimah mengikuti Ka’ab dan berkata, “Wahai Ka’ab, jika
kamu mengutarakan alasan seperti alasan orang-orang pada umumnya, niscaya kamu
tidak akan mendapatkan kemarahan Rasul, dan dosamu tidak ikut perang tersebut
akan diminta ampunkan oleh Rasul kepada Allah, mereka selalu mengulangi
perkataan itu kepada Ka’ab, seakan-akan Ka’ab bertekad untuk menarik alasannya
kembali kepada Rasul dan mengemukakan alasan dusta, tapi rencana itu
dimusnahkannya.
Selain Ka’ab, masih ada dua orang lagi yang senasib
dengannya yaitu: Murarah bin Arabi Al amiri dan Hilal bin Umayyah al Waqifi.
Adapun hukuman yang diberikan Rasul kepada Ka’ab dan dua orang lain ini adalah,
kaum muslimin tidak diperbolehkan untuk berbicara dengan mereka. Kaum muslimin
pun menjauhi dan berubah sikap kepada mereka, seakan-akan negeri saat itu asing
bagi mereka bertiga. Keadaan pahit seperti itu mereka jalani deritanya selama
50 hari.
Adapun dua orang yang senasib dengan Ka’ab, mereka
seakan-akan tidak sanggup menerima hukuman tersebut, dan salalu menetap dalam
rumah sambil menangisi nasib mereka. Berbeda dengan Ka’ab, dia tetap menjalankan
aktifitasnya seperti biasa, diantaranya pergi shalat jama’ah ke masjid, ikut
majelis, jalan-jalan di pasar dan lain sebagainya, walaupun tidak ada orang
yang mau bicara dengannya.
Suatu hari, Ka’ab pergi ke kebun milik Abu Qatadah yang
merupakan anak dari pamannya sendiri. Ka’ab pun mengucapkan salam, tapi Abu
Qatadah tidak mau menjawabnya. Ka’ab berkata “Wahai Abu Qatadah, aku bersumpah
atas nama Allah, apakah engkau mengetahui bahwa aku ini mencintai Allah dan
Rasul-Nya?”, tapi Abu Qatadah tetap diam, Ka’ab mengulang perkataanya beberapa
kali hingga Abu Qatadah menjawab “Allah dan Rasulnya yang lebih mengetahui”.
Mendengarkan jawaban dari sepupunya tersebut Ka’ab menangis menumpahkan air
mata, kemudian pergi meninggalkan Abu Qatadah.
Ketika Ka’ab berjalan di pasar, ada orang yang memberikan
surat kepadanya yang berasal dari raja Ghassan yang bernama Jabalah bin Al
Aiham, yang merupakan orang kafir. Surat itu bertujuan untuk mengajak Ka’ab
bergabung dengannya. Karena Ka’ab telah diperlakukan dengan tidak baik oleh
Rasul dan kaum muslimin. Dia ingin mengadu domba antara Ka’ab dan kaum
muslimin. Tapi tawaran tersebut ditolak oleh Ka’ab. Dia menganggap ajakan
tersebut merupakan cobaan juga untuknya.
Setelah 40 hari berlalu, Ka’ab dan dua orang yang senasib
dengannya kembali diuji dengan perintah untuk menjauhi istri mereka
masing-masing. Menjauhi yang dimaksud bukanlah untuk menceraikan. Istri Ka’ab
menyetujui hal itu, karna merupakan perintah dari Rasul. Tapi tidak dengan
istrinya Hilal bin Umayyah, dia menolak perintah Rasul tersebut kemudian
mendatangi Rasul dan mengatakan bahwa suaminya itu telah tua, dia memerlukan
bantuannya, dan dia tidak mempunyai pembantu untuk menolongnya kecuali istrinya
sendiri. Awalnya Rasul menolak dan berkata “tidak, tetaplah kamu menjauhinya”
tapi akhirnya karena terus didesak, Rasulpun mengizinkannya untuk tetap bersama
suaminya itu.
Melihat izin yang diberikan Rasul kepada istri Hilal,
keluarga Ka’ab pun mendesak Ka’ab agar memberikan alasan kepada Rasul untuk
tetap bersama istrinya sebagaimana alasan yang telah diutarakan oleh istri
Hilal, tapi Ka’ab menolak desakan tersebut dengan alasan dia masih muda dan
masih sanggup berbuat banyak dengan sendirinya, serta tidak memerlukan bantuan
orang lain.
Ketika malam ke 50 dari berlalunya hukuman bagi Ka’ab dan
dua orang lainnya, pada subuh hari dia shalat fajar di rumahnya, tiba-tiba dia
mendengar suara teriakan yang meneriakkan bahwa dia telah terbebas dari
hukumannya, orang-orang pun berdatangan dan mengucapan selamat kepadanya, dan
juga mengucapkan selamat kepada dua teman Ka’ab yang senasib dengannya itu.
Kemudian Ka’ab berdiri dihadapan orang yang meneriakinya, kemudian Ka’ab
melepaskan pakaian luarnya dan memakaikan kepada orang tersebut, padahal pakain
Ka’ab tidak ada lagi selain pakaian yang dia berikan itu. Kemudian Ka’ab
meminjam pakain kepada orang lain dan pergi menemui Rasulullah di mesjid.
Sesampainya di mesjid orang-orang yang berada di sekeliling Rasul menyambut
kedatangannya sambil mengucapkan selamat atas terbebasnya Ka’ab dari hukuman
dan atas diterimannya taubat Ka’ab dan dua orang yang senasib dengannya itu.
Kemudian Ka’ab menghadap Rasul dan mengucapkan salam,
Rasulpun menjawab salam Ka’ab sambil memandang kepadanya dengan memberikan
senyuman indah bak rembulan. Ka’ab berkata “Ya Rasulullah, karena taubatku
telah diterima, maka aku akan menafkahkan hartaku di jalan Allah”. Rasul
menjawab “Tahan sebagian hartamu karena itu lebih baik bagimu”. Kemudian Rasul
membai’at Ka’ab dan memohonkan ampun untuknya kepada Allah. Semenjak kejadian
itu, Ka’ab tidak pernah lagi terbesit dalam hatinya untuk hendak berdusta
sampai akhir hayatnya.
0 Response to "Kisah Pertaubatan Ka’ab bin Malik"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR