Ulama dan MUI
February 21, 2017
Add Comment
faquha.com - Banyak
orang masih bingung dengan "makhluk" yang bernama MUI (Majelis Ulama
Indonesia). Banyak pula yang salah paham dengan MUI: ada yang "menjunjung
tinggi setengah mati", ada pula yang "memaki-maki setengah
mati."
Begini,
bapak-bapak dan ibu-ibu jamaah Facebookers, MUI itu adalah "lembaga",
tepatnya "lembaga plat merah" yang dibentuk oleh Pak Harto dulu pada
tahun 1975 dalam rangka untuk "menyenangkan" atau
"membahagiakan" umat Islam dan sejumlah tokoh Muslim.
Pada
awal-awal pendirian rezim Orde Baru dulu, Pak Harto dianggap lebih pro dan
"menganakemaskan" kelompok abangan, khususnya lagi kaum
"Kejawen" (baik sipil maupun militer), dalam struktur pemerintahan,
dan kuran memberi "porsi" kepada umat Islam. Nah, supaya tidak
disorot "miring ke kiri", beliau mendirikan MUI ini yang tugasnya
memberi nasehat kepada pemerintah terkait dengan masalah atau isu-isu keagamaan
dan keislaman.
Jadi,
jelasnya, MUI itu hanya sebuah lembaga tempat ngumpulnya sejumlah ormas Islam di
Indonesia (kecuali Syiah dan Ahmadiyah yang dianaktirikan). Seperti lembaga
atau ormas lain, baik yang "plat merah", "plat hijau"
maupun "plat kuning", MUI memiliki cabang sampai ke daerah-daerah di
Indonesia, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Pula, seperti umumnya
lembaga dan ormas keagamaan, MUI juga mempunyai banyak divisi atau
"departemen" yang mengurusi banyak hal.
Apakah
semua pengurus MUI itu "ulama"? Belum tentu. Di berbagai daerah
diluar Jawa, para pengurus dan elit MUI itu banyak yang berprofesi sebagai
birokrat, politisi, polisi, tentara, pengusaha, dlsb yang sama sekali tidak
memiliki kualifikasi keulamaan serta "nol jumbo" wawasan
keislamannya, tetapi mereka "ditokohkan" oleh masyarakat Islam
setempat karena dipandang memiliki status sosial tinggi.
Apakah
semua pengurus MUI dari pusat sampai daerah itu memiliki pandangan yang sama
dan seragam mengenai masalah keislaman, sosial-keagamaan, dan kebangsaan? Tentu
saja tidak. Tidak semua pengurus MUI itu berpandangan "saklek",
konservatif, intoleran, anti-pluralisme, anti-kebangsaan, dst. Banyak dari
mereka yang berwawasan terbuka, progresif, toleran, cinta kebangsaan, dlsb.
Jadi semua tergantung dari individu-individu. Banyak teman-temanku yang
"keren abis" juga duduk di kepengurusan MUI, baik di pusat maupun
daerah.
Apakah
semua pernyataan yang keluar dari MUI itu disebut "fatwa? Tentu saja
tidak. Ada yang hanya sebatas pendapat biasa atau "sikap
keprihatinan" untuk menyikapi kondisi atau masalah
sosial-politik-keagamaan-kebangsaan. Disebut "fatwa" jika itu
diputuskan melalui "departemen fatwa" di MUI serta melalui prosedur
penggalian hukum Islam tertentu.
Apakah
umat Islam wajib mengikuti fatwa yang dikeluarkan MUI? Tentu saja tidak.
Namanya saja "fatwa" alias pendapat hukum yang tidak mengikat. Fatwa
itu hanya sebuah "pendapat" yang bisa dikeluarkan oleh siapa saja
yang memiliki kualifikasi sebagai "mufti". Dan MUI bukan satu-satunya
yang mengeluarkan fatwa. Ormas-ormas Islam lain, seperti NU atau Muhammadiyah,
juga sering sekali mengeluarkan fatwa yang tidak jarang berseberangan dengan
fatwa MUI dan ormas lain. Umat Islam bebas dan merdeka untuk memilih fatwa mana
yang dianggap paling "oye".
Lalu,
kenapa akhir-akhir ini orang-orang pada "hiruk-pikuk" sampai ada
gerakan jihad "pengawal fatwa MUI" segala? Ya itu biasa orang-orang
yang "lebay njeblay" yang dimobilisasi oleh para "makelar
politik" dan "bisnismen agama" itu. Mudeng?
Jabal
Dhahran, Arabia
0 Response to "Ulama dan MUI"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR