Mendirikan khilafah sedunia akan terbantahkan oleh dalil-dalil berikut
February 16, 2017
Add Comment
Faquha.com Dari sudut pandangan agama,
pemerintahan Indonesia adalah sah. Pandangan ini didasarkan pada dua dalil.
Yaitu: pertama, presiden Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Menurut Ibnu
Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah (2001:204), sistem pemilihan langsung oleh
rakyat sama dengan pengangkatan Sayyidina Ali karamullah wajhah untuk menduduki
jabatan Khalifah.
Kedua, presiden terpilih Indonesia
dilantik oleh MPR, sebuah gabungan dua lembaga tinggi, DPR dan DPD yang dapat
disepadankan dengan ahlu a-halli wa al-'aqdi dalam konsep al-Mawardi dalam Al-Ahkam
as-Sulthoniyah.
Keabsahan pemerintahan Indonesia
bukan hanya dapat dilihat dari sudut sistem pemilihan dan mekanisme pelantikan
presiden saja, namun juga bisa dilihat dari terpenuhinya maqashidu al-syari'ah
(tujuan syar'i) dari imamah (pemerintahan) Indonesia, dalam rangka menjaga
kesejahteraan dan kemashlahatan umum. Terkait dengan ini, Imam al-Ghazali
mengungkapkan dalam Al-Iqtishad fil 'Itiqad (1988:147), menyatakan,
"Dengan demikian tidak bisa dipungkiri kewajiban mengangkat seorang pemimpin
(presiden) karena mempunyai manfaat dan menjauhkan mudharat di dunia ini".
Dalam konteks ini, pemerintahan
Indonesia telah memenuhi tujuan syar'i di atas dengan adanya institusi
pemerintahan, kepolisian, pengadilan dan lain sebagainya. Alhasil, menurut Ahlussunnah
wal Jama'ah, pemerintahan Indonesia adalah pemerintah yang sah. Siapa pun tidak
bisa mengingkarinya.
Karena itu, mengkonversi sistem
pemerintahan dengan sistem apa pun, termasuk sistem khilafah sentral dengan
memusatkan kepemimpinan umat Islam di dunia pada satu pemimpin, adalah tidak
diperlukan. Apalagi jika konversi sistem itu akan menimbulkan mudharat yang
lebih besar. Seperti timbulnya chaos dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan
keamanan. Lantaran, timbulnya kevakuman pemerintahan atau pemerintah yang tidak
mendapatkan dukungan rakyat luas, sehingga membuka peluang perang saudara antar
anak bangsa. (Imam al-Ghazali Al-Iqtishad Fil 'Itiqad, 1988:148)
Terlebih, mendirikan khilafah
mendunia terbantahkan oleh dalil-dalil berikut ini:
1. Pertama, khilafah mendunia tidak
memiliki akar dalil syar'i yang qath'i. Adapun yang wajib dalam pandangan
agama, adalah adanya pemerintahan yang menjaga kesejahteraan dan kemashlatan
dunia. Terlepas dari apa dan bagaimana sistem pemerintahannya. Karena itu, kita
melihat para ulama di berbagai negara di belahan dunia memperbolehkan, bahkan
tak jarang yang ikut terlibat langsung dalam proses membidani pemerintahan di
negaranya masing-masing. Beberapa contoh kasus dari sistem pemerintah di jaman
klasik, antara lain: Daulah Mamalik di Mesir, Daulah Mungol di India, Daulah
Hafshiyyah di Tunis, dan lain sebagainya.
2. Kedua, persoalan imamah dalam
pandangan Ahlussunnah wal Jama'ah bukanlah bagian dari masalah aqidah,
melainkan termasuk persoalan siyayah syar'iyyah atau fiqih mu'amalah. Karena
itu, kita boleh berbeda pendapat dalam soal sistem pemerintahan, sesuai dengan
kondisi zaman dan masyarakatnya masing-masing dalam mempertimbangkan mashlahah
dan mafsadah dari sistem yang dianutnya tersebut.
3. Ketiga, membentuk pemerintahan
agama di suatu daerah, akan membunuh agama itu sendiri di daerah lain.
Menegakkan Islam di suatu daerah di Indonesia, sama halnya dengan membunuh
Islam di daerah-daerah lain seperti di Irian Jaya, di Flores, di Bali dan lain
sebagainya. Daerah basis non Islam akan menuntut hal yang sama dalam proses
penegakkan agamanya masing-masing. Bentuk negara nasional adalah wujud kearifan
para pemimpin agama di Indonesia, tidak ingin terjebak pada institusionalisasi
agama, sebagai tuntutan dari otonomi daerah.
4. Keempat, masyarakat masih belum
siap benar untuk melaksanakan syari'at Islam secara penuh, terutama untuk
menerapkan hukum pidana Islam. Seperti bagi pezinah dirajam, pencuri dipotong
tangan, sanksi bagi yang tidak melaksanakan sholat dan zakat, dan seterusnya.
Penerapan syari'ah Islam secara penuh tanpa mempertimbangkan kesiapan umat
Islam akan menyebabkan banyak umat Islam yang tidak mengakui sebagai seorang
muslim karena takut terhadap sanksi hukum tersebut. Jumlah 90 persen umat Islam
akan mengalami penurunan secara drastis. Sehingga penerapan itu justru
merugikan umat Islam sendiri.
5. Kelima, sulitnya mencari tolok
ukur apakah yang dilakukan oleh seorang khalifah itu merupakan suatu langkah
politik atau sekedar pelampiasan ambisi kekuasaan, atau itu memang benar-benar
melaksanakan perintah Allah ketika terjadi kekerasan dari khalifah yang
berkuasa terhadap para ulama sebagaimana dialami oleh imam madzhab yang empat:
Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal dan para
pengikut mereka. Sejarah mencatat tidak sedikit dari para ulama yang mendapat
perlakuan zalim, diborgol, dipenjara, dan dianiaya, sementara khalifah dalam
menjalankan hukuman tersebut melakukannya atas nama agama. Jika demikian yang
terjadi maka sudah pasti ulama nahdliyyin akan memenuhi penjara-penjara di
seluruh wilayah Indonesia.
6. Keenam, jika memang disepakati
ide formalisasi syari'ah, maka teori syari'ah manakah yang akan
diterapkan.Apakah model Wahabi di Saudi Arabia yang memberangus ajaran-ajaran
sebagaimana diamalkan oleh kaum nahdliyyin seperti tawassul, tahlil, talqin,
dan lain sebagainya atau sistem Syi'ah yang telah membunuh ratusan ulama dan
umat Islam, menghancurkan masjid-masjid Ahlus Sunnah sebagaimana yang terjadi
di teluk Persi, di bagian wilayah Timur Tengah, atau belahan lain di dunia ini,
dan pemerintah yang berkuasa melakukan semua itu, lagi-lagi, atas nama agama.
Jika itu yang terjadi, niscaya warga Nahdliyyin akan akan menjadi korban dari
pemerintah yang berbeda aqidah tersebut.
Dalil-dalil di atas kian meyakinkan
bahwa cita-cita untuk mendirikan khilafah islamiyah akan membawa konsekuensi
tersendiri bukan hanya menyangkut tampilan wajah Indonesia tetapi juga kondisi
masyarakat yang akan diwarnai oleh konflik dan disistensi dari elemen bangsa
yang lain.
Dengan mempertimbangkan pendapat
dari Imam al-Ghazali dan al-Baidlawi maka mengkonversi sistem pemerintahan yang
ada tidak diperbolehkan menurut syara', mengingat besarnya ongkos sosial,
politik, ekonomi, dan keamanan yang harus ditanggung oleh pemerintah dan
masyarakat. Dalam pandangan ahlusunnah wal jama'ah menghindari mudharat lebih
utama dari pada menerapkan kebaikan. Karena itu, menghindari mudharat yang
besar lebih kita utamakan dari pada mendapat sedikit kemaslahatan. Sebaliknya,
tidak mendapatkan sedikit kebaikan untuk menghindari mudharat yang lebih besar
merupakan sebuah bentuk kebaikan yang besar.
Jadi, sistem pemerintahan di dalam
pandangan agama bukan sistem untuk sistem melainkan sistem untuk umat. Sehingga
sistem apapun yang dianut oleh umat di dalam memenuhi tujuan syar'i dari
pemerintahan tidak boleh menimbulkan kerusakan yang mengancam keselamatan jiwa
dan harta umat. Sebab sejatinya menurut Imam al-Ghazali, pemerintahan itu
didirikan untuk menata umat, agar kehidupan agama dan dunianya aman sentosa
dari ancaman dari dalam maupun dari luar (Al-Iqtishad Fil 'Itiqad, 1988:147).
Senada dengan Imam al-Ghazali di
atas, al-Baidlawi juga berpandangan bahwa esensi dari pemerintahan adalah
menolak kerusakan dan kerusakan itu tidak dapat ditolak kecuali dengan
pemerintahan tersebut. Yaitu sebuah pemerintahan yang menganjurkan ketaatan,
mencegah kemaksiatan, melindungi kaum mustad'afin, mewujudkan kesejahteraan dan
keadilan bagi semua. Esensi dari pemerintahan itu menurutnya adalah keharusan
profetik dan intelektual dalam menjaga kedamaian dan mencegah kerusakan dunia (Lihat
misalnya dalam Al-Baidlawi, Thawali' al-Anwar wa Mathali' al-Andlar, 1998:
348).
KH. MA Sahal Mahfudz menyatakan
sikap NU pada saat khutbah iftitah Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Sukolilo
Surabaya, 28 Juli 2006: "NU juga sejak awal mengusung ajaran Islam tanpa
melalui jalan formalistik, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan
realitas secara formal, tetapi dengan cara lentur. NU berkeyakinan bahwa
syari'at Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui
institusi formal. NU lebih mengidealkan substansi nilai-nilai syari'ah
terimplementasi di dalam masyarakat ketimbang mengidealisasikan institusi.
Kehadiran institusi formal bukan suatu jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai
syari'ah di dalam masyarakat".
Dalam kaitan ini, sikap NU jelas,
keinginan untuk mengkonversi sistem pemerintahan, tidak memiliki akar syara',
malahan bertentangan dengan serangkaian hasil ijtihad para ulama NU yang
dirumuskan di berbagai institusi pengambilan keputusan dan kebijakan tertinggi
organisasi. Bagi NU, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final umat Islam
Indonesia dalam mendirikan negara dan membentuk pemerintahan.
oleh KH Muhyidin Abdusshomad
Penulis buku "Fikih Tradisionalis",Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jember.
0 Response to "Mendirikan khilafah sedunia akan terbantahkan oleh dalil-dalil berikut"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR