Cara Gus Mus membendung HTI
February 16, 2017
Add Comment
Bagaimana
pendapat Kyai tentang isu khilafah yg makin marak ini?
Menurut Islam,
sistem khilafah atau khilafah Islamiyyah itu tidak memiliki dasar. Yang ada
khilafah Rosidah terjadi sesudah Nabi Muhammad. Ada kholifah Abu Bakar Shiddiq,
Umar bin Khotthob, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib atau yang dikenal
Khulafaur Rosyidin. Setelah itu ada khilafah Umamiyyah, dinasti umayyah.
Setelah itu di nasti umayyah Mojopahit, Brawijaya 1 brawijaya 2, Mataram. Habis
itu dinasti Abasiyyah. Jadi Khilafah itu, khilafah Rosidah, khilfah Umamiyyah,
khilafah Abaiyyah, khilafah Usmaniyyah.
Sekarang
khilafah mana yang dikehendaki pengajak khilafah itu? Pemerintahan itu kalau
adil ya Islami. Di Abbasyah (sekarang Etiopia), jaman Nabi Muhammad, kepala
negaranya seorang nasrani tapi walaupun demikian oleh Nabi Muhammad dihormati.
Para shahabat nabi yang hijrah disana juga mendapat perlindungan.
Tampaknya konsep
khilafah itu kian mendapat sambutan dari masyarakat terutama anak muda?
Karakter manusia
itu memang suka terhadap hal yang baru, sementara yang lama dan sudah mapan
dilihatnya biasa-biasa saja. Misalnya saja NU dan Muhammadiyah. Karena merasa
sudah mapan NU dan Muhammadiyah sekarang ini tinggal ngantuknya saja.
Munculnya
gerakan baru (pengajak khilafah) lalu dilihat sebagai sesuatu yang baru.
Apalagi gerakan itu banyak menawarkan kegiatan. Inilah yang memikat anak-anak
muda tanpa melihat isinya benar atau salah.
Menyikapi
fenomena ini tentu kita harus kembali ke basik kita sendiri. Menawarkan banyak
kegiatan untuk menyalurkan semangat anak muda. Sebab anak muda itu cenderung
bergerak dinamis, tak bisa diam.
Walaupun
misalnya, gerakan itu telah benar-benar menyusup ke NU dan Muhamadiyyah bahkan
ke MUI?
Katakanlah
mereka benar telah menyusup itu berarti diri kita ini lemah. Dan solusinya kita
harus memperbaiki diri sendiri. Biasakan melihat (koreksi) diri sendiri dan
tidak perlu menyalahkan orang lain. Misalnya, kenapa “warung” (NU) sekarang
pelanggannya menurun dan berpindah ke warung lain. Padahal warung lain itu
masakannya hanya itu-itu saja. Kita tidak boleh mengatakan warung lain itu
jahat apalagi sampai mengundang polisi untuk menutupnya. Kalau mau kembali ke
basik kita seperti dulu, nanti akan terbukti warung kita jauh lebih bagus
dengan menu masakan yang lebih banyak.
Jika setiap saat
hanya mengurusi mereka (pengajak khilafah) wahh ..kacau kita, yang rugi kita
sendiri. NU dan Muhamadiyyah itu yang terbesar, NU bahkan terbesar di dunia.
Kalau hanya mengurusi kelompok sekelas itu kan rugi. Membentengi
pengaruh-pengaruhnya hanya akan membuang energi saja. Mending ngurus diri
sendiri, kembali ke basik perjuangan kita yang pertama.
Seperti apa?
70 tahun lalu
Hadrotush Syeik Hasyim Asy’ari menulis surat kepada kyai-kyai, yang kemudian
diambil alih oleh pengurus besar untuk dikirim ke cabang-cabang. NU terbukti
diminati masyarakat, karena mereka merasa mendapat manfaat. Kalau NU tidak
memberi manfaat maka umat tidak akan berminat lagi.
Perlu diketahui,
mereka itu (pengajak khilafah) sebenarnya meniru semua model kita. Misalnya
kegiatan Lailatul Ijtimak, sekarang di NU tidak ada tapi oleh mereka digunakan
setiap malam.
Jadi NU tidak
ada penanganan khusus membentengi ancaman kelompok tersebut dan lebih bersikap
introspeksi diri ?
Ndak. Maksudnya
jangan berfikir kesana tapi berfikir ke sini. Berpikir terhadap warung sendiri
bukan milik orang lain. Anda akan mencari cara apa untuk membentengi mereka,
kalau kita sendiri lemah. Gimana?. Misalnya ada kebocoran menembus warung kita.
Yang kita pikirkan adalah dimana bagian dinding warung rumah kita yang bocor.
Permasalahannya justru ada pada diri kita sendiri, tidak perlu menyalahkan
orang lain. Perkara air (paham) mereka biarkan saja mengalir kemana-mana, asal
tembok kita kuat kan tidak apa-apa.
Pemikiran
khilafah itu tidak berdasar. Mereka hanya benci Amerika yang dianggap menjadi
biang keonaran dunia. Satu-satunya cara melawan, menurut mereka, menjadikan
umat Islam seluruh dunia bersatu mendirikan kekholifahan untuk melawan Amerika.
Maksudnya kan begitu. Tapi langkah itu tidak riel. Andai saja bisa berdiri,
lalu siapa yang menjadi kholifahnya. Arab saja tidak bisa kok.
Dulu pernah ada
yang datang kesini membawa brosur dan segala macam. Saya tanya apa tujuannya. Katanya
mempersatukan Islam. Waktu itu saya bilang sambil tertawa, lho sampeyan ini
gimana, mau mempersatukan Islam kok malah bikin lagi. Tak kasih tahu, kalau
ingin mempersatukan umat Islam itu mudah, temui saja pimpinan-pimpinan
organisasi Islam itu, masing-masing suruh bubarkan organisasinya. Hari ini di
bubarkan besok jadi satu. Kalau bikin lagi namanya tidak bersatu tapi tambah
banyak. Masing-masing golongan bangga dengan golongannya sendiri, seolah-olah
bisa mempersatukan dunia.
Sebenarnya
hubungan antara imam dengan umat itu ada, seperti tanya jawab, musyawarah,
pelajaran kitab, jamaah tahlil, sembahyang ghoib bahkan ada yang menyantuni
saudara-saudara kita yang lemah. Semua sudah kita lakukan.
Bukankah hal ini
sebenarnya sudah bukan sekedar persoalan kelompok NU atau Muhammadiyah tapi
sudah mengancam NKRI?
Sama saja. Kalau
kita baik, seperti dulu, bangsa mendapat barokah yang luar biasa. Kenapa
sekarang tidak. Saya lebih suka instropeksi diri dari pada menyalahkan orang
lain. Jaman kemerdekaan atau jaman apa saja.
Anda sendiri
melihat pemerintah menyikapi hal ini seperti apa? Pancasila dan UUD’45
dikatakan harom?
Ya tanyakan pada
pemerintah. Kalau masih ingin menjaga NKRI kita harus bertanya, benarkah kita
berjuang untuk negara ini atau tidak. Seperti mengejar layang-layang putus,
kalau ada masalah baru kelabakan.
Ketika kuat
seperti dulu, pemerintah yang bertanya kepada kita, bahkan pemerintah Jepang
dulu bertanya kepada Kyai Hasyim As’ari, siapa yang paling pantas menjadi
presiden. Sebetulnya Kyai Hasim itu layak, tapi hebatnya beliau tidak berfikir
untuk diri sendiri seperti kebanyakan orang, tidak menunjuk putranya tapi malah
menunjuk Soekarno.
Pada jaman
penjajahan Belanda, Hadotush syeik juga mengeluarkan fatwa jihad. NU dalam
muktamarnya memutuskan bahwa Soekarno lah yang layak menjadi presiden. Ini
sikap politik kebangsaan NU untuk kepentingan NKRI. Mengapa pemerintah sekarang
ini tidak mendengarkan NU sebab dengan FPI (Front Pembela Islam-red) suaranya
kalah jauh.
Sebagian ulama’
mengatakan, kelompok ini hanya menggunakan kedok agama dengan dalil-dalinya
untuk tujuan politik. Tanggapannya?
Di negara asalnya
Yordania, kelompok ini dilarang dan tidak ada negara lain yang menerima hanya
Indonesia. Organisasi terbesar NU tidak mendukung dan sepertinya Muhammadiyah
juga tidak. Pemerintah harusnya percaya dan minta fatwa kepada kita tapi
nyatanya kan tidak. Nah menurut saya, lagi-lagi kita harus koreksi terhadap
diri sendiri. Kalau terus menerus sibuk mengurus pekerjaan kecil, kita ini
lama-lama akan terkesan kecil. Saya ingin supaya kita kembali menjadi jam’iyyah
yang punya wibawa, posisi yang betul-betul diperhitungkan. Belum tegaknya
keadilan, kesejahteraan rakyat masih terabaikan, ini yang harus diprioritaskan.
Sebenarnya mudah
sekali mematahkan dalil, hujjah mereka. Tapi tanpa dibarengi perbaikan terhadap
diri sendiri secara inten tetap saja sia-sia. Mereka tidak akan mendengarkan
kita. Apakah dikira kalau benar mereka lalu mau mendengarkan suara kita. Mereka
hanya mendengarkan dirinya sendiri.
Maksudnya
memperbaiki diri itu sepeti apa?
Lha kita tinggal
kembali kepada basik kita, Kita pelajari apa yang telah dilakukan pendahulu
kita. Perhatiannya terhadap Indonesia jelas sekali, dibaca oleh semua orang.
Seperti soal dakwah. Dulu Wali Songo bisa mendakwahi orang jawa sampai sekian
banyaknya, padahal dulu mayoritas Hindu dan Budha. Semua untuk Indonesia. Masyarakat
dan orang-orang kecil dulu diperhatikan.
Sekarang ini bagaimana kita ?
Dulu NU tegas
menjaga NKRI seperti fatwa jihad melawan penjajah, memilih Soekarno menjadi
presiden, menerima asas pancasila dan UUD’ 45. Itu namanya politik kebangsaan.
Dulu NU juga selalu mendampingi, mengayomi rakyat. Kalau rakyat geger dengan
pengusaha, ditindas penguasa, NU selalu membela. Selain itu, para kyai membuat
lembaga-lembaga untuk membantu pedagang kecil meningkatkan kesejahteraannya.
Maka kalau
analognya dengan warung, masihkan kita menggunakan resep dulu, ramah menghadapi
pembeli dan masihkan kita menjaga kebersihan makanan kita, hal-hal seperti
itulah menurut saya mendesak
Logika saya
mengatakan, Indonesia ini terpuruk atau tidak tergantung umat Islam karena mayoritas.
Dan Islam Indonesia tergantung NU karena jumlahnya terbesar.
(Alkautsar.co/Wawancara
dengan Gus Mus, sapaan populer K.H. Mustafa Bisri pemimpin pesantren Raudlatuth
Tholibin Rembang Jawa Tengah di kediamannya Rembang, pada hari Jum’at 8
Muharrom 1431 H/ 25 Desember 2010M).
0 Response to "Cara Gus Mus membendung HTI "
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR