DPP HTI kalah telak oleh KH.Idrus Romli
February 16, 2017
Add Comment
Dewan Pimpinan
Pusat Hizbut Tahrir Indonesia (DPP HTI) menganggap keliru pernyataan Ustadz
Muhammad Idrus Ramli bahwa yang diwajibkan itu bukan khilafah tapi imamah, yang
artinya secara umum adalah kepemimpinan, dan tidak harus bernama khilafah.
Untuk menanggapi
komentar DPP HTI tersebut maka perlu kami jelaskan bahwa dalam buku saya tidak
ada pernyataan seperti itu. Tetapi meskipun demikian, pandangan yang menyatakan
bahwa yang diwajibkan dalam Islam adalah mengangkat seorang pemimpin tanpa
harus bernama khilafah, lebih kuat dalilnya dari pada pandangan HTI yang
mengharuskan kepemimpinan harus bernama khilafah, berdasarkan beberapa alasan.
Pertama, dalam
hadits Nabi telah dinubuwatkan bahwa kepemimpinan khilafah hanya berjalan 30
tahun sejak wafatnya beliau. Selanjutnya umat Islam akan dipimpin oleh sistem
kerajaan. Hal ini sebagaimana keterangan yang akan kami kemukakan pada bagian
berikutnya. Berdasarkan hadits tersebut, banyak ulama salaf memakruhkan
menyebut khalifah untuk para penguasa setelah Sayidina Hasan bin Ali
radhiyallahu ‘anhuma. Dalam konteks ini, al-lmam al-Qalqasyandi (756-821
H/1355-1418 M) berkata:
وأما من ينطلق عليه اسم
الخليفة فقد ذهب جماعة من أئمة السلف منهم أحمد بن حنبل رحمه الله إلى كراهة إطلاق
اسم الخليفة على من بعد الحسن بن على رضي الله عنهما فيما حكاه النحاس وغيره
محتجين بما رواه أبو داود والترمذي من حديث سفينة أن رسول الله صلى الله عنه وسلم
قال الخلافة في أمتي ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك قال سعيد بن جهمان ثم قال لى سفينة
أمسك خلافة أبي بكر وخلافة عمر وخلافة عثمان ثم قال أمسك خلافة علي وخلافة الحسن
فوجدناها ثلاثين سنة قال سعيد فقلت له إن بني أمية يزعمون أن الخلافة فيهم قال كذب
بنو الزرقاء هم ملوك من شر الملوك
“Adapun
orang-orang yang dapat menyandang nama khalifah, maka sekelompok dari para imam
generasi salaf, antara lain Ahmad bin Hanbal rahimahullah, berpendapat
memakruhkan mengucapkan nama khalifah untuk para penguasa setelah Sayidina
Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma”. (maksudnya sejak Mu’awiyah bin Abi
Sufyan)-,dalam informasi yang diceritakan oleh Imam al-Nahhas dan lainnya.
Mereka berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
al-Tirmidzi, dari Safinah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Khilafah setelahku
berjalan selama tiga puluh tahun, kemudian setelah itu adalah kerajaan”. Sa’id bin
Jumhan berkata: “Lalu Safinah berkata kepadaku: “Hitunglah masa khilafahnya Abu
Bakar, Umar dan Utsman. Kemudian hitunglah masa khilafahnya Ali dan Hasan bin
Ali. Maka akan kita dapati semuanya tiga puluh tahun”. Sa’id berkata:”Aku
berkata kepada Safinah: “Sesungguhnya orang-orang Bani Umayyah berasumsi bahwa
khilafah ada pada mereka”. Safinah menjawab: “Mereka telah berbohong.
Sebenarnya mereka para raja, dan termasuk seburuk-buruk para raja“.
(Al-Qaiqasyandi, Ma’atsir al-lnafah fi Ma’alim al-Khilafah, (Beirut, ‘Alam
al-Kutub, 1985), juz 1, hal. 12, (edisi Abdussattar Ahmad Farraj).
Kedua,dalam
sekian banyak hadits juga dikemukakan bahwa umat Islam harus tunduk patuh
terhadap pemimpin mereka, selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Dalam
hadits-hadits tersebut juga diisyarat-kan, bahwa kepemimpinan yang harus
ditaati tersebut bukan kepemimpinan khilafah, akan tetapi kepemimpinan yang
sewenang-wenang atau kerajaan.
Ketiga, dalam
kitab-kitab fiqih juga dikemukakan bahwa yang diwajibkan itu memang mengangkat
seorang imam, yaitu seorang pemimpin secara umum, tanpa harus bernama khilafah.
Hal ini sebagaimana diketahui dengan sedikit membaca kitab-kitab fiqih. Memang
DPP HTI mengutip pernyataan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhal-Muhadzdzab
juz XXI/26, bahwa khilafah, imamah dan imarah itu termasuk kosa kata yang
mutaradif (sinonim). Tetapi ada dua hal yang tidak dipahami oleh HTI; yaitu:
Istilah
mutaradif tersebut bersifat kebahasaan (lughawi) saja, sementara dalam segi
aplikasi para ulama, ketiga kosa kata tersebut memiliki konotasi yang berbeda.
Setiap khalifah pasti dikatakan imam, tetapi imam belum tentu khalifah,
sebagaimana dapat dipahami dari keterangan kitab al-Majmu’ secara lengkap, dan
bukan sepotong. Kitab al-Majmu’ juz XXI itu bukan tulisan Imam an-Nawawi,
tetapi tulisan ulama kontemporer yaitu Syaikh Muhammad Najibal-Muthi’i. Jadi,
dalam hal ini DPP HTI keliru dua kali.
Keempat, para
ulama menyatakan bahwa wajibnya mengangkat seorang imam itu ketika umat Islam
mampu melakukan dan mungkin dilaksanakan, sebagaimana ditegas-kan olehImam
al-Haramain al- Juwaini dalam al-Ghiyatsi,dan telah kami kutip dalam buku
Hizbut Tahrir dalam Sorotan. Al-lmam al-Hafizh Abu Amr al-Dani al-Maliki
al-As/ari, (371-444H/981- 1053 M), seorang pakar hadits dan qira’at dari
Andalusia, berkata:
وإقامة الإمام مع القدرة
والإمكان فرض على الأمة لا يسعهم جهله، والتخلف عنه، وإقامته إلى أهل الحل والعقد
من الأمة دون النص من رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Mengangkat
seorang imam ketika mampu dan memungkinkan dihukumi wajib bagi umat Islam, yang
harus mereka ketahui dan tidak boleh ditinggalkan. Pengangkatan tersebut
berdasarkan keputusan ahlul halli wal ‘aqdi dari umat, bukan berdasarkan nash
dari Rasulullah SAW“. (Al-Hafizh Abu Amr al-Dani,al-Risalah al-Wafiyah, (Dar
Ibn al-Jauzi, Riyadh 1429 H), hal.130, (edisi Muhammad bin Sa’id al- Qahthani).
Kelima, ketika
umat Islam tidak mampu mengangkat seorang pemimpin tunggal, karena struktur sosial
dan politik umat Islam yang telah berubah dan tidak memungkinkan terangkatnya
seorang pemimpin tunggal, seperti yang terjadi pada zaman sekarang, para ulama
membenarkan terjadinya banyak kepemimpinan politik di setiap daerah yang
memungkinkan. Imam al- Haramain al-Juwaini (419-478H/1028-1085 M) berkata:
قال بعض العلماء: لو خلا
الزمان عن السلطان فحق على قطان كل بلدة وسكان كل قرية أن يقدموا من ذوي الأحلام
والنهى، وذوي العقول والحجا من يلتزمون امتثال إشاراته وأوامره، وينتهون عن مناهيه
ومزاجره؛ فإنهم لو لم يفعلوا ذلك، ترددوا عند إلمام المهمات، وتبلدوا عند إظلال
الواقعات
“Sebagian ulama
berkata: “Apabila suatu masa mengalami kekosongan dari penguasa tunggal, maka
penduduk setiap daerah dan setiap desa, haarus mengangkat di antara orang-orang
yang memiliki kecerdasan dan pemikiran, seseorang yang dapat mereka ikuti
petunjuk dan perintahnya, dan mereka jauhi larangannya. Karena apabila mereka
tidak melakukan hal tersebut, mereka akan ragu-ragu ketika menghadapi persoalan
penting dan tidak mampu mengatasi persoalan yang sedang terjadi.” (Imam
al-Haramain al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi lltiyats al- Zhulam, (MaktabahImam
al-Haramain, Kairo, 1401 H), hal. 386-387, (edisi Abdul ‘Azhim al-Daib).
Pernyataan di
atas memberikan penjelasan tidak wajibnya memperjuangkan imamah (kepemimpinan
tunggal), ketika situasi tidak memungkinkan dan umat Islam terpecah-belah
menjadi banyak negara yang berdaulat seperti dewasa ini. Hanya saja kajian
fiqih agak mendetil seperti ini kurang dipahami oleh kalangan DPP HTI, karena tersembunyi
di balik sekian banyak statemen dan pandangan ekstrem dan radikal Syaikh
al-Nabhani, pendiriHizbut Tahrir dalam kitab-kitabnya. La haula walaquwwata
ilia billah.
Oleh: al-Ustadz
Muhammad Idrus Ramli (Aktivis Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Cabang Jember dan
Dewan Pakar ASWAJA Center PWNU Jawa Timur, peneliti dan pemerhati wacana
pemikiran kontemporer) dalam Buku ‘Jurus Ampuh Membungkam HTI’, hal 4-7.
0 Response to "DPP HTI kalah telak oleh KH.Idrus Romli "
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR