Membedakan Ulama, Mufti, dan Qadi
February 21, 2017
Add Comment
faquha.com - Seperti
saya jelaskan pada postingan sebelumnya, pada masa awal perkembangan Islam,
"ulama" merupakan "istilah generik" untuk para ilmuwan,
baik ilmuwan ilmu-ilmu sekuler maupun ilmu-ilmu keagamaan / keislaman. Kata ini
bukanlah sebuah "gelar akademik" yang dicapai melalui sebuah
pendidikan tertentu. Dulu umat Islam belum mempunyai universitas. Yang ada
adalah madrasah. Itu pun baru muncul pada abad ke-11 di era Dinasti Saljuq
untuk menandingi sistem pendidikan Syiah sekaligus membendung gerakan Syiah
yang dipelopori oleh Dinasti Fatimiyah di Mesir.
Sebelum
pendirian madrasah ini, umat Islam belajar ilmu apa saja secara informal di
masjid, di rumah-rumah para shaikh, atau di perpustakaan. Meski belajar
informal, ada cukup banyak yang serius yang akhirnya menjadi ilmuwan (ulama)
yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan menulis banyak kitab (buku) di
berbagai bidang, tidak hanya di bidang ilmu-ilmu keislaman saja tetapi juga
ilmu-ilmu umum. Dulu tidak ada perbedaan antara "ilmu kapir" dan
"ilmu agama". Semua ilmu pengetahuan itu dianggap sebagai "Islami"
atau "religius" karena bersumber dari Zat yang sama, yaitu Tuhan.
Singkatnya,
kata "ulama" ini merupakan sebutan umum dan biasa saja yang diberikan
oleh publik atau masyarakat kepada orang-orang tertentu yang dianggap telah
menguasai ilmu pengetahuan yang ditujukkan dengan karya-karya maupun kepandaian
mereka dalam mengajar para murid mereka. "Ulama" bukanlah gelar
formal yang diberikan pemerintah atau kerajaan misalnya. Kualifikasi seorang
ulama adalah kedalaman penguasaan atas ilmu pengetahuan bukan sekedar bisa
mengaji Al-Qur'an dan ceramah pletar-pletor kayak "bakul obat". Yang
terakhir ini namanya "dai" atau "mubalig".
Dulu,
ulama juga tidak ada kaitannya dengan pemberian fatwa. Ulama itu urusannya
dengan ilmu pengetahuan sebagaimana seorang ilmuwan dewasa ini. Tukang memberi
"fatwa" itu namanya "mufti" atau "muftu" dalam
Bahasa Turki. Mufti ini biasanya dilakukan oleh "faqih" atau ahli
hukum Islam (jamak: fuqaha).
Fatwa
itu biasa saja seperti sebuah pendapat tentang masalah sosial-keagamaan, tidak memiliki
"ikatan hukum" dan tidak mengikat publik. Setiap faqih bisa
mengeluarkan fatwa. Namanya saja pendapat. Nah, kalau sebuah fatwa yang semula
merupakan pendapat individual para fuqaha itu kemudian "dinaikkan
statusnya" menjadi sebuah keputusan hukum, baru dapat "mengikat"
publik Muslim. Yang bertugas "melegalkan" sebuah fatwa itu bernama
qadi atau "hakim syariat". Karena qadi ini adalah "pegawai
kerajaan" maka tidak jarang keputusan-keputusan hukum itu dilakukan atas
keinginan rezim penguasa politik.
Beda
dengan ulama, qadi ini "jabatan" yang diberikan oleh khalifah, dan
bersifat hierarkhi. Qadi yang paling tinggi tingkatannya bernama "qadi
qudlat" atau Hakim Agung yang selalu berpartner dengan "raja"
atau apapun namanya. Struktur Hakim Agung ini kelak, di zaman Dinasti Turki
Usmani (Ottoman) di abad ke-13/14, dihapus diganti dengan Shaikhul Islam. Rezim
Turki Usmani juga melakukan perombakan besar-besaran mengenai struktur atau
lembaga keulamaan ini (bersambung).
Jabal
Dhahran, Arabia
0 Response to "Membedakan Ulama, Mufti, dan Qadi"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR