Ulama dalam Sejarah Islam
February 21, 2017
Add Comment
faquha.com - Siapa
sih ulama itu? Apa kriteria orang bisa disebut sebagai ulama? Apakah seorang
yang rajin ceramah di tipi-tipi misalnya bisa disebut sebagai ulama? Apakah
ulama hanya mereka yang "pinter" dalam hal studi-studi keislaman?
Kapan ulama ini muncul menjadi "primadona" dalam masyarakat Islam?
Apakah semua negara yang mayoritas berpenduduk Muslim mempunyai lembaga
keulamaan seperti MUI? Mari kita kaji bersama.
Kata
"ulama" adalah jamak / plural dari kata "alim" (dari kata
"'ilm" yang berarti "pengetahuan" atau knowledge) yang
berarti "orang-orang berilmu pengetahuan" atau "orang-orang
terdidik", atau kira-kira, seperti sarjana. Pada zaman dahulu kala, kata
atau sebutan "ulama" atau "alim" ini tidak populer.
Sangking tidak populernya, Al-Qur'an sendiri hanya menyebut dua kali saja kata
"ulama" ini (misalnya dalam Surat Fathir Ayat 28). Hadis Nabi
Muhammad yang menyebut cukup banyak kata "ulama".
Pada
awal sejarah perkembangan Islam, banyak istilah yang dipakai untuk
"komunitas sarjana" ini, dan pada umumnya lebih spesifik, misalnya
"muhaditsun" untuk para ahli hadis, "mutakallimun" untuk
para ahli ilmu kalam atau "teologi Islam", "mufassirun"
untuk ahli tafsir, atau "fuqaha" untuk ahli hukum Islam. Bahkan kata
"fuqaha" inipun awalnya bermakna" para ahli agama atau yang
paham dengan seluk-beluk keislaman, tidak melulu tentang hukum Islam.
Kata
"ulama" dulu tidak mengacu pada spesifik makna, yaitu
"orang-orang yang ahli ilmu agama Islam" seperti yang berkembang
dewasa ini, melainkan sebuah "istilah generik" untuk para ilmuwan
diluar ilmu-ilmu keislaman seperti kimia, fisika, ekonomi, matematika, dlsb.
Jadi ulama itu merujuk pada insinyur, ekonom, kimiawan, fisikawan,
matematikawan, atau mungkin antropolog he he.
Al-Qur'an
sendiri secara eksplisit menyebut kata "ulama" sebagai
"komunitas ilmuwan" ini, khususnya para ilmuwan hard sciences tadi
untuk menunjukkan penghargaan yang tinggi Al-Qur'an terhadap perkembangan
ilmu-ilmu non-keagamaan. Perlu juga dicatat kalau dulu tidak ada sekat-sekat
keilmuan: sekuler atau religius.
Karena
itu para sarjana Muslim hebat dulu menguasai berbagai ilmu pengetahuan atau
biasa disebut sebagai "sarjana polymath" yang tidak hanya ahli
ilmu-ilmu keislaman saja (seperti fiqih, hadis, ushul fiqih, dlsb) tetapi juga
ilmu-ilmu yang lain termasuk kedokteran, ekonomi, astronomi, politik, filsafat,
sejarah, biologi, dan bahkan antropologi. Abu Raihan Al-Biruni, misalnya, ia
bukan hanya ahli matematika dan astronomi tapi juga seorang antropolog yang
bukunya, Kitab al-Hind, bercerita tentang masyarakat Hindu dan Yogi di India.
Begitu pula para ulama lain pada waktu itu bisa dipastikan seorang sarjana
polymath. Mereka berprinsip kalau semua ilmu pengetahuan itu bersumber dari
Tuhan karena itu tidak ada istilah sekuler-religius.
Ada
pula yang berargumen, bahwa kata "ulama" itu mengacu pada para
sarjana ilmu-ilmu sekuler maupun ilmu-ilmu keagamaan (keislaman). Tentang
asal-muasal penggunaan "gelar" ulama ini bisa dilihat di The New
Encyclopedia of Islam atau The Princeton Encyclopedia of Islamic Political
Thought.
Nah,
sejak kapan kata "ulama" itu kemudian menjadi bermakna
"orang-orang yang ahli agama Islam" saja? Yang mempopulerkan sebutan
ulama untuk para "sarjana agama" (Islam) adalah Turki Usmani sejak
abad ke-14 M. Para rezim Turki Usmani pula yang "melembagakan ulama"
ini untuk kepentingan-kepentingan politik-pemerintahan (bersambung).
Jabal
Dhahran, Arabia
0 Response to "Ulama dalam Sejarah Islam"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR