Kupas Sejarah Islam di Cina
February 21, 2017
Add Comment
faquha.com Seperti
saya jelaskan sebelumnya, Islam pertama kali menjamah dataran Tiongkok sejak
era Dinasti Tang (618–907) yang kemudian mengalami perkembangan signifikan pada
masa Dinasti Song (960–1279). Kelak kaum Muslim mengalami “masa kejayaan” pada
era Dinasti Yuan (1271 – 1368) yang dikontrol oleh Mongol dan puncaknya pada
masa Dinasti Ming (1368–1644). Pada masa Dinasti Ming inilah hidup seorang
legenda bernama Laksamana Cheng Ho atau Zeng He yang dipercayai sebagai seorang
Muslim dan dikenal sebagai salah satu petualangan besar dunia.
Menurut
catatan (annals) dari Dinasti Tang, orang-orang Arab dan juga Persia di
Tiongkok dulu dikenal dengan sebutan Dashi (Tashi). Pada era Tang ini banyak
kerja sama politik, ekonomi, dan budaya digelar dengan “rezim Islam” (baik
Daulah Muawiyah maupun kelak Abbasiyah). Para tentara Muslim dulu juga
dikerahkan untuk membantu Kaisar Su-Tsung untuk melawan kaum pemberontak yang
ingin mengkudeta kerajaan di bawah pimpinan Jenderal An Lushan.
Kelak,
Daulah Abbasiyah juga membantu Tang mengusir para pemberontak dari Tibet di
Asia Tengah. Khalifah Harun Al-Rashid dari Abbasiyah, seperti dicatat oleh
Annals dari Dinasti Tang, juga tercatat berali-kali mengirim utusan dan
menjalin hubungan diplomatik dan niaga dengan Tang, terutama melalui jalur
maritim. Karena intensitas perdagangan maritim yang tinggi antara Arab–Tiongkok
inilah, maka kelak Canton (atau “Khanfu” dalam Bahasa Arab), “kota pelabuhan”
di China Selatan dulu banyak dihuni kaum Muslim. Para sejarawan mencatat ada
sekitar 200,000 Muslim dari Arab maupun Persia di Canton kala itu.
Ketika
Dinasti Song berdiri di awal abad ke-10, hubungan dengan Islam Arab, Persia,
dan Afrika Utara terus berlanjut bahkan semakin intensif. Kaum Muslim di
Tiongkok tinggal di kawasan khusus (settlement) yang disediakan oleh pemerintah
sejak Dinasti Tang, yang disebut Fan Fang. Para sejarawan juga mencatat kaum
Muslim memainan peran sentral di bidang industri ekspor-impor pada zaman
Dinasti Song. Sejarawan Dawood Ting bahkan menulis kalau Direktur Jenderal
urusan impor-ekspor ini bahkan seorang Muslim. Kelak, Kaisar Shenzong dari Song
juga mendatangkan ribuan Muslim dari Bukhara (Russia) ke Tiongkok untuk ikut
membentengi China dari Kekaisaran Liao di Tiongkok utara. Kaum Muslim ini
kemudian tinggal di kawasan Kaifeng (ibukota Song) dan Yenching (kini:
Beijing).
Kaum
Muslim mendapat momentum ketika Dinasti Yuan berkuasa. Dinasti Yuan yang
didominasi oleh kaum Mongol ini tidak percaya kepada etnis Han (etnis mayoritas
di Tiongkok), dan sebagai gantinya mempromosikan orang Muslim (juga Yahudi)
dari Arab dan Timur Tengah di posisi-posisi tinggi, baik di pemerintahan maupun
militer, guna mengontrol dan menjaga kaum Han.
Orang-orang
Muslim ini kemudian kawin-mawin dengan gadis-gadis lokal China sehingga semakin
banyak jumlah mereka pada masa Yuan ini. Karena itu ada pepatah di Tiongkok:
“In the Yuan Dynasty, Muslims were all over the universe” (i.e. China). Pada
masa Yuan ini juga Daulah Abasiyah yang berpusat di Baghdad ditaklukkan oleh
tentara Hulagu Khan. Orang-orang yang Muslim Semit yang ditaklukkan itu
kemudian dibawa ke Tiongkok untuk dipekerjakan di pemerintahan, perkapalan,
kesenian, dan kemiliteran (bersambung).
Masjid
Canton dan Sejarah Islam di China
Ini
melanjutkan “kuliah virtual” tentang sejarah dan perkembangan Islam di China
(Tiongkok). China bukan hanya rumah bagi pemeluk Konghucu, Taoisme, Budha, atau
pengikut non-teis dan ateis, tetapi juga umat Islam. Menurut data yang dirilis
oleh Yang Zongde pada tahun 2010 dalam karyanya, Study on Current Muslim
Population in China, ada sekitar 23 juta kaum Muslim di China atau sekitar 1,7%
dari total penduduk. Dengan begitu, jumlah umat Islam di China jauh lebih besar
ketimbang kaum Muslim di Qatar, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Yordania,
Palestina, dlsb. Arab Saudi saja sebagai negara paling luas dan gemuk di
kawasan Arab Teluk hanya berpenduduk sekitar 30 juta.
Mayoritas
Muslim di China beretnik Hui, kemudian Uyghur yang merupakan campuran etnik
Turki yang mendiami kawasan Asia Tengah dan Timur. Xinjiang adalah kawasan
Muslim terpadat di China, disusul Ningxia, Gansu, dan Qinghai. Sebagian besar
penduduk Muslim China beraliran Sunni, meskipun pengikut Syiah juga lumayan
banyak. Menariknya, tidak ada catatan tentang konflik Sunni-Shiah di China.
Perlu
diketahui, usia Islam di China jauh lebih tua ketimbang Islam di “Indonesia”.
Para sejarawan ahli China Islam seperti Dru Gladney, Marshall Broomhall, C.
Sell, Muhammad Fu, Ibrahim Tien Yin Ma, dlsb, mencatat Islam sudah masuk ke
China sejak awal perkembangan Islam itu sendiri. Para sahabat Nabi Muhammad
sendirilah yang mula-mula memperkenalkan Islam ke China. Diantara para sahabat
Nabi yang memperkenalkan Islam di China adalah Sa’ad bin Abi Waqqash, Hassan bin
Tsabit, Suhaila Abu Arja, Wahab bin Abu Kabsyah, dan Uwais al-Qarani. Mereka
mencapai China ada yang melalui “jalur maritim” atau daratan (dikenal dengan
Silk Road atau “Jalur Sutera”). Ada para sahabat Nabi yang bahkan
“kombak-kambek” alias bolak-balik ke China baik urusan perdagangan maupun
dakwah.
Di
antara sekian sahabat Nabi yang memperkenalkan Islam di China, Sa’ad bin Abi
Waqqash-lah yang paling senior dan terkenal. Konon beliau adalah paman Nabi
Muhammad dan pemeluk Islam yang ke-17. Beliau juga pernah menjadi Gubernur
Basrah. Beliau dipercaya wafat di Guangzhou, China, dan makamnya hingga kini
masih ramai diziarahi kaum Muslim.
Sa’ad
bin Abi Waqqash jugalah yang diutus secara resmi oleh Khalifah Usman bin Affan
untuk menemui Kaisar Gaozong guna menjalin “hubungan diplomatik” dengan Dinasti
Tang. Untuk mempererat persahabatan dengan Arab dan Islam sekaligus untuk
mengenang Nabi Muhammad, Kaisar Gaozong kemudian menginstruksikan pembangunan
masjid di Canton yang bernama Masjid Huaisheng atau populer dengan sebutan
Masjid Raya Canton yang dibangun tahun 627 (seperti dalam foto di bawah ini).
Oleh sejarawan, masjid ini dianggap sebagai masjid tertua di dunia setelah
Masjid Haram di Makah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Setelah
jejak-jejak Islam di China disemai oleh para sahabat, kelak tradisi hubungan
persahabatan Islam dan China ini dilanjutkan oleh Daulah Ummayah dan Daulah
Abbasiyah serta rezim-rezim Islam berikutnya. Di China pun, hubungan baik
dengan Islam terus berlanjut paska tumbangnya Dinasti Tang. Kelak, Islam di
China mengalami puncak kejayaan di masa Dinasti Yuan dan kemudian Dinasti Ming
(bersambung).
Nabi
Muhammad, Islam, dan China
Banyak
yang bertanya-tanya: kenapa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Tuntutlah ilmu
walaupun sampai ke negeri China.” Hadis ini sangat populer dan menimbulkan
pro-kontra. Bagi yang pro, mereka mengatakan bahwa ini bukti bahwa Islam itu
adalah agama terbuka dan tidak membatasi kaum Muslim untuk belajar dan menuntut
ilmu dimana saja dan kepada siapa saja. Sementara bagi yang kontra, mereka
bilang tidak mungkin kalau Nabi Muhammad menyuruh umat Islam belajar ke China
yang ateis-komunis.
Saya
hanya mesam-mesem memperhatikan argumen yang “unyu-unyu” ini. Padahal, China
itu baru menjadi “negara komunis” pada 1947-1949, ketika Mao Zedong (Mao Tse
Tung) dengan bendera Partai Komunis China (berdiri pada 1921) berhasil memimpin
revolusi politik yang memaksa menaklukan Partai Nationalis China, Kuomintang
(Gomindang) yang sebelumnya menguasai “Negeri Panda” ini. Sebelum era itu,
tidak ada komunisme di China atau Tiongkok. Jadi ya tidak nyambung kalau
menyangkal hadis diatas lantaran China itu komunis.
Seperti
umumnya negara-negara lain, China menjadi ajang penaklukkan berbagai kelompok.
Berbagai imperium dan dinasti juga pernah silih berganti memerintah China:
Qing, Yuan, Ming, Song, Tang, Han, Qin, dlsb. Nabi Muhammad lahir di Mekah pada
570 dan wafat di Madinah tahun 632. Pada zaman Nabi Muhammad ini, China berada
di bawah Dinasti Tang yang kelak digantikan oleh Dinasti Song. Pada masa
Dinasti Tang (juga Song) inilah, China mengalami “Zaman Keemasan” (Golden Age)
karena maju pesat di berbagai bidang: pendidikan, seni, sastra, budaya,
politik-pemerintahan, ekonomi, teknologi, dlsb. Ibukota Dinasti Tang, Chang’an
(kini Xi’an), menjelma menjadi kota kosmopolitan dan pusat peradaban yang
masyhur kala itu. Banyak para sastrawan, sarjana, dan ilmuwan hebat lahir pada
masa ini. Pendiri Dinasti Tang, Kaisar Gaozu dan penerusnya Kaisar Taizong,
adalah kunci di balik kemajuan dan kemasyhuran dinasti ini.
Jauh
sebelum Max Weber mengenalkan konsep “birokrasi rasional”, Dinasti Tang sudah
mempraktekkannya dimana para pegawai pemerintah dan institusi-institusi yang
berafiliasi ke pemerintahan direkrut dengan model seleksi berbasis kapabilitas,
kompetensi dan intelektualitas bukan relasi feodal-primordial. Dinasti Tang
pula yang memajukan relasi perdagangan dengan Arab, Persia, Maroko dan Afrika
Utara dan Barat lainnya melalui Jalur Sutera (Silk Road). Pada waktu itu,
Dinasti Tang menyediakan area pemukiman khusus, bernama Fan Fang, untuk
menampung para pedagang dan pelayar dari Timur Tengah dan Afrika ini.
Pada
masa Dinasti Tang inilah terjadi kontak pertama kali China dengan Islam.
Meskipun Nabi Muhammad belum pernah ke China waktu itu tetapi kemasyhuran dan
kemajuan China sudah terdengar ke berbagai kawasan Arab dibawa oleh para
pedagang dan pelayar ini. Jeddah yang berada di wilayah Mekah adalah pusat
perdagangan dan pelayaran di Semenanjung Arabia. Jadi sangat wajar sekali kalau
kemudian beliau menyuruh kaum Muslim untuk belajar dan menempuh ilmu meskipun
sampai ke Negeri China (Bahasa Arab: Shin). Kelak, sahabat Nabi Muhammad,
Khalifah Usman bin Affan, menunjuk Sa’ad bin Abi Waqash untuk memimpin delegasi
kaum Muslim ke China guna menjalin persahabatan dengan Dinasi Tang. Bahkan
beliau konon wafat dan dimakamkan di China yang makamnya hingga kini masih
ramai diziarahi banyak umat Islam.
Karena
itu tidak heran jika China merupakan salah satu “rumah Muslim” yang sangat tua.
Chinese Annals dari Dinasi Tang (618-960) juga mencatat adanya pemukiman umat
Islam di Kanton, Zhangzhouw, Quanzhou dan pesisir China Selatan lain. Bukti
historis yang tidak terelakkan tentang eksistensi kaum Muslim China adalah
adanya dua buah masjid kuno di Kanton (Masjid Kwang Tah Se = “Masjid Bermenara
Megah” dan Masjid Chee Lin Se=“Masjid Bertanduk Satu”) yang menurut beberapa
sejarawan ahli studi China seperti Lo Hsiang Ling, Ibrahim Tien Ying Ma,
Broomhall, dlsb, merupakan masjid kedua tertua di dunia setelah Masjid Nabawi
yang dibangun Nabi Muhammad di Madinah. Masjid Kwang Ta Se di Kanton itu bahkan
konon merupakan masjid pertama yang dibangun diluar kawasan Arab! Subhanallah.
Takbir...
Nah,
sekarang sudah paham belum? Belum…Kalau belum ya, baca sendiri sana yang banyak...
Jabal
Dhahran, Arabia, Prof Sumanto
0 Response to "Kupas Sejarah Islam di Cina"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR