-->

Jubah, Jenggot dan Bahasa itu Hanya Budaya Saja

faquha.com - Bahasa, jubah dan berjenggot itu bagian dari budaya Arab dan Timur Tengah sejak zaman bahoela jauh sebelum Islam lahir pada abad ke-7 M. Karena itu jangan heran jika anda melihat komunitas Kristen Arab juga berjubah, meskipun tentu saja ada yang tidak, sebagaimana Arab Muslim: ada yang berjubah, juga ada yang tidak. Suka-suka mereka.

Tradisi berjenggot juga dipraktekkan sejumlah kelompok agama ortodoks diluar Islam, khususnya Kristen Ortodoks (Amish, Old Order Mennonite, Ortodoks Koptik seperti foto di bawah ini, dlsb) dan Yahudi Ortodoks (Yahudi Heredi, Lev Tahor). Karena Nabi Muhammad hidup dalam kultur dan tradisi Arab/Timur Tengah, maka sudah sewajarnya jika beliau juga berjubah dan berjenggot.

Dengan kata lain, berjenggot dan berjubah itu bukan hanya "sunah [tradisi] rasul" tetapi juga sunah atau tradisi masyarakat Arab / Timur Tengah (laki-laki) waktu itu. Alasan memelihara jenggot itu simpel saja karena gak ada barbershop, tidak ada hubungannya dengan malaikat. Masak malaikat ngurusi jenggot? Meski begitu, silakan saja kalau mau berjenggot (saya juga berjenggot meskipun ukuran minimalis), bebas-bebas saja.

Bahasa, selain medium komunikasi, juga budaya. Demikian juga dengan Bahasa Arab, tidak ada hubungannya dengan identitas keislaman dan kualitas keimanan seorang Muslim. Kalau hanya soal Bahasa Arab, orang-orang Kristen Arab di Mesir, Suriah, Libanon, Bahrain, Iraq, Palestina, dlsb, jauh lebih fasih Bahasa Arab-nya ketimbang sejumlah kaum Muslim di Indonesia yang gemar berantum-antum atau berakhi-ukhti. Sebagaimana umat Arab Muslim, kaum Arab Kristen juga berkhotbah pakai Bahasa Arab, Injil mereka juga berbahasa Arab, gereja-gereja mereka juga tertulis dengan huruf Arab. La memang itu bahasa mereka, masak mereka mau pakai Bahasa Batak.

Karena itu tidak usah "sok-sokan", gagah-gagahan, dan "lebay-njeblay" soal bahasa Arab ini. Biasa-biasa saja lah. Kualitas keislaman dan keimanan itu tidak ditentukan oleh fasih dan tidaknya dalam berbahasa Arab, oleh panjang-pendeknya jenggot, atau berjubah atau tidak, tetapi oleh baik-tidaknya perilaku individual dan sosial seorang Muslim itu.

Haruskah Muslim Indonesia "Menjadi Arab"?
Sebagai seorang ilmuwan sosial, apalagi sebagai antropolog yang "kesengsem" dengan filosofi humanisme dan individualisme, secara pribadi saya tidak mempermasalahkan "kaum agamis" di Indonesia (baik Muslim maupun non-Muslim) untuk mengekspresikan budaya suku-bangsa mana saja, atau dengan kata lain, mereka bebas menjadi apa saja: menjadi Arab, menjadi Yahudi, menjadi Kurdi, menjadi Berber, "menjadi bule", menjadi Jawa, menjadi Betawi, dlsb. Itu hak masing-masing individu untuk merayakan kebebasan asal jangan "pecicilan" dan maksa-maksa saja.

Hanya saja masalahnya tidak sesimpel yang mereka imajinasikan karena suku/etnis mana saja, termasuk Arab, bukanlah sebuah kelompok sosial yang bersifat tunggal atau monolitik dalam pengertian segalanya: agamanya, budayanya, karakteristiknya, ideologinya, politiknya, ormasnya, parpolnya, warna kulitnya, dlsb. Ada sekitar 450 juta "orang Arab" di dunia ini yang menempatkan Arab sebagai etnis terbesar kedua di dunia setelah etnis Han China.

Membayangkan Arab sebagai "bangsa Muslim", misalnya, sama konyolnya dengan mengimajinasikan Barat sebagai "bangsa Kristen" karena memang ada banyak warga Arab non-Muslim dan warga Barat non-Kristen. Khusus Arab Kristen, biasanya mereka mengikuti "Gereja-Gereja Kristen Timur": Maronite, Koptik, Assyria, Ortodoks Yunani, Chaldean, Melkite, dlsb. Komunitas Arab Muslim pun beraneka ragam: ada yang mengikuti Sunni dari berbagai mazhab, ada pula yang mengikuti aliran Ibadi, Alawi, Druze, dan Syiah dari berbagai denominasi (Zaidiyah, Imamiyah, Ismailiyah, dan seterusnya).

Selanjutnya, secara geografi, "bangsa Arab" tidak hanya tinggal di kawasan Timur Tengah saja tetapi juga di negara-negara Barat, Indo-Pakistan, Asia Tenggara, dlsb. Sebagaimana komunitas China atau Filipino, komunitas Arab juga tersebar di berbagai kawasan (Arab diaspora). Di kawasan Arab dan Timur Tengah sendiri, bangsa Arab tersebar di sekitar 22 negara sekarang ini: bukan hanya di negara-negara Arab Teluk saja tetapi juga Aljazair, Comoros, Djibouti, Sudan, Maroko, Mauritania, Somalia,Tunisia, dlsb. Jadi Arab yang mana yang dimaksud?

Pecahnya bangsa Arab menjadi negara-negara Arab itu sebetulnya sebagai dampak dari gerakan "Nasionalisme Arab" yang embrionya sudah ada sejak abad ke-19 sebagai reaksi atas kolonialisme Eropa maupun rezim "monarkhi Islam". Menariknya para arsitek dan tokoh gerakan nasionalisme Arab ini bukan hanya Arab Muslim saja tetapi juga Arab non-Muslim seperti Michel Aflaq, yang kelak bersama sahabatnya Salahuddin al-Bitar mendirikan "Garakan Renaissance Arab" (harakah al-ba'ath al-Arabi) yang bertumpu pada ajaran-ajaran sosialisme dan nasionalisme.

Jadi, meskipun ada sejumlah kelompok / komunitas Muslim Indonesia yang heppiii "menjadi Arab" (misalnya dengan "berjubah ria". Ingat ya jubah itu budaya Arab, bukan ajaran Islam!) tetapi dalam realitasnya, mereka sebetulnya tidak memahami pluralitas dan kompleksitas "bangsa Arab". Anggapan Arab sebagai "bangsa tunggal" dan monolitik hanya ada di alam imajiner saja.
Kembali ke laptop. Jadi, haruskah Muslim Indonesia "menjadi Arab"? Murid-murid, ayoo jawab he he

Pembantu Lebih Galak dari Majikan
Ungkapan "pembantu lebih galak dari majikan" atau "anjing herder lebih garang dari majikan" kadang ada benarnya juga. Lihat saja, misalnya, fenomena merebaknya kelompok "Wahabi KW" dan "Wahabi mualaf" atau Wahabi anyaran di Indonesia dewasa ini. Mereka betul-betul lebih galak dan lebih garang dari "Wahabi ori" dan "Wahabi lawas" di Saudi atau Qatar.

Kolega dan murid-muridku yang "Wahabi" (saya pakai "tanda kutip" karena kebanyakan dari mereka lebih sreg disebut Salafi. Dulu kelompok ini menamakan diri "Muwahhidun" karena doktrin tauhid yang kuat) itu banyak tetapi beraneka ragam tingkat pengamalan "ajaran" dan ekspresi ke-Salafi-annya: ada yang moderat, konservatif, pragmatis. Meskipun berbeda-beda, mereka tidak saklek dan "kaku-njeku" seperti tiang listrik atau patung Nyonya Meneer dalam mengimplementasikan norma-norma kesalafian dan keislaman.

Bahkan yang konservatif pun, mereka tidak main paksa apalagi ngamuk-ngamuk sambil mengkopar-kapirkan orang / kelompok lain. Konservatisme buat mereka hanya berlaku "ke dalam" (untuk diri sendiri) bukan "ke luar" (untuk orang lain). Dengan kata lain, ke dalam mereka "intoleran", ke luar mereka toleran. Misalnya, meskipun mereka mengharamkan musik, film, atau rokok tetapi menghormati orang lain yang mendengarkan musik, menonton film, dan merokok kebal-kebul. Begitu pula, meskipun mereka berjenggot lebat tetapi menghargai orang lain yang tidak suka memelihara jenggot.

Yang menarik adalah pandangan mereka tentang busana gamis atau jubah. Mereka sama sekali tidak memandang mengenakan pakaian gamis atau jubah itu dalam rangka untuk "nyunah rasul" atau mengikuti Nabi Muhammad. Mereka memakai gamis/jubah semata-mata karena menganggap itu pakaian tradisional mereka saja yang sayangnya kini mulai tergerus oleh busana modern (jeans, kaos, baju, dlsb).

Bagi mereka, Nabi Muhammad memakai jubah karena beliau adalah bagian dari masyarakat Arab yang hidup dalam kultur Arab itu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah "lebih relijius" atau tidak, "lebih bermoral" atau tidak. Yang menentukan kualitas relijiusitas dan moralitas seseorang itu buat mereka bukan masalah jenis pakaian (gamis atau bukan) melainkan adab, tata-cara dan etika berpakaian di ruang publik. Mereka juga sama sekali tidak mempermasalahkan orang lain untuk berbusana sesuai dengan kebudayaan dan pilihan masing-masing individu. Karena itu di kampusku, mereka sangat warna-warni dalam berbusana bukan melulu pakai gamis saja tapi juga pakai jeans, kaos, baju, katok kolor, training, dlsb.

Sebagai antropolog, saya juga respek dengan pilihan masing-masing individu. Misalnya, saat saya menggunakan film dokumenter sebagai medium mengajar, saya selalu mempersilakan kepada murid-muridku yang memandang menonton film itu haram untuk keluar ruangan saat pemutaran film tetapi mereka harus kembali ke kelas saat film usai untuk mendiskusikan konten film. Biasanya ada 2-3 murid yang minta ijin untuk keluar ruangan. Saya juga sama sekali tidak mempermasalahkan mereka mau berjenggot atau tidak, berjubah atau tidak. Buatku itu nggak penting.

Teman dan murid-muridku yang Arab Salafi ini bahkan mengecam keras kelompok-kelompok Islam yang mengatasnamakan Salafi tetapi menggunakan cara-cara intoleransi dan kekerasan dalam menyampaikan pesan-pesan universal keislaman.


Jabal Dhahran, Arabia

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Jubah, Jenggot dan Bahasa itu Hanya Budaya Saja"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel