Jubah, Jenggot dan Bahasa itu Hanya Budaya Saja
February 21, 2017
Add Comment
faquha.com - Bahasa,
jubah dan berjenggot itu bagian dari budaya Arab dan Timur Tengah sejak zaman
bahoela jauh sebelum Islam lahir pada abad ke-7 M. Karena itu jangan heran jika
anda melihat komunitas Kristen Arab juga berjubah, meskipun tentu saja ada yang
tidak, sebagaimana Arab Muslim: ada yang berjubah, juga ada yang tidak.
Suka-suka mereka.
Tradisi
berjenggot juga dipraktekkan sejumlah kelompok agama ortodoks diluar Islam,
khususnya Kristen Ortodoks (Amish, Old Order Mennonite, Ortodoks Koptik seperti
foto di bawah ini, dlsb) dan Yahudi Ortodoks (Yahudi Heredi, Lev Tahor). Karena
Nabi Muhammad hidup dalam kultur dan tradisi Arab/Timur Tengah, maka sudah
sewajarnya jika beliau juga berjubah dan berjenggot.
Dengan
kata lain, berjenggot dan berjubah itu bukan hanya "sunah [tradisi]
rasul" tetapi juga sunah atau tradisi masyarakat Arab / Timur Tengah
(laki-laki) waktu itu. Alasan memelihara jenggot itu simpel saja karena gak ada
barbershop, tidak ada hubungannya dengan malaikat. Masak malaikat ngurusi
jenggot? Meski begitu, silakan saja kalau mau berjenggot (saya juga berjenggot
meskipun ukuran minimalis), bebas-bebas saja.
Bahasa,
selain medium komunikasi, juga budaya. Demikian juga dengan Bahasa Arab, tidak
ada hubungannya dengan identitas keislaman dan kualitas keimanan seorang
Muslim. Kalau hanya soal Bahasa Arab, orang-orang Kristen Arab di Mesir,
Suriah, Libanon, Bahrain, Iraq, Palestina, dlsb, jauh lebih fasih Bahasa
Arab-nya ketimbang sejumlah kaum Muslim di Indonesia yang gemar berantum-antum
atau berakhi-ukhti. Sebagaimana umat Arab Muslim, kaum Arab Kristen juga
berkhotbah pakai Bahasa Arab, Injil mereka juga berbahasa Arab, gereja-gereja
mereka juga tertulis dengan huruf Arab. La memang itu bahasa mereka, masak
mereka mau pakai Bahasa Batak.
Karena
itu tidak usah "sok-sokan", gagah-gagahan, dan
"lebay-njeblay" soal bahasa Arab ini. Biasa-biasa saja lah. Kualitas
keislaman dan keimanan itu tidak ditentukan oleh fasih dan tidaknya dalam
berbahasa Arab, oleh panjang-pendeknya jenggot, atau berjubah atau tidak, tetapi
oleh baik-tidaknya perilaku individual dan sosial seorang Muslim itu.
Haruskah
Muslim Indonesia "Menjadi Arab"?
Sebagai
seorang ilmuwan sosial, apalagi sebagai antropolog yang "kesengsem"
dengan filosofi humanisme dan individualisme, secara pribadi saya tidak
mempermasalahkan "kaum agamis" di Indonesia (baik Muslim maupun
non-Muslim) untuk mengekspresikan budaya suku-bangsa mana saja, atau dengan
kata lain, mereka bebas menjadi apa saja: menjadi Arab, menjadi Yahudi, menjadi
Kurdi, menjadi Berber, "menjadi bule", menjadi Jawa, menjadi Betawi,
dlsb. Itu hak masing-masing individu untuk merayakan kebebasan asal jangan
"pecicilan" dan maksa-maksa saja.
Hanya
saja masalahnya tidak sesimpel yang mereka imajinasikan karena suku/etnis mana
saja, termasuk Arab, bukanlah sebuah kelompok sosial yang bersifat tunggal atau
monolitik dalam pengertian segalanya: agamanya, budayanya, karakteristiknya,
ideologinya, politiknya, ormasnya, parpolnya, warna kulitnya, dlsb. Ada sekitar
450 juta "orang Arab" di dunia ini yang menempatkan Arab sebagai
etnis terbesar kedua di dunia setelah etnis Han China.
Membayangkan
Arab sebagai "bangsa Muslim", misalnya, sama konyolnya dengan
mengimajinasikan Barat sebagai "bangsa Kristen" karena memang ada
banyak warga Arab non-Muslim dan warga Barat non-Kristen. Khusus Arab Kristen,
biasanya mereka mengikuti "Gereja-Gereja Kristen Timur": Maronite,
Koptik, Assyria, Ortodoks Yunani, Chaldean, Melkite, dlsb. Komunitas Arab
Muslim pun beraneka ragam: ada yang mengikuti Sunni dari berbagai mazhab, ada
pula yang mengikuti aliran Ibadi, Alawi, Druze, dan Syiah dari berbagai
denominasi (Zaidiyah, Imamiyah, Ismailiyah, dan seterusnya).
Selanjutnya,
secara geografi, "bangsa Arab" tidak hanya tinggal di kawasan Timur
Tengah saja tetapi juga di negara-negara Barat, Indo-Pakistan, Asia Tenggara,
dlsb. Sebagaimana komunitas China atau Filipino, komunitas Arab juga tersebar
di berbagai kawasan (Arab diaspora). Di kawasan Arab dan Timur Tengah sendiri,
bangsa Arab tersebar di sekitar 22 negara sekarang ini: bukan hanya di
negara-negara Arab Teluk saja tetapi juga Aljazair, Comoros, Djibouti, Sudan,
Maroko, Mauritania, Somalia,Tunisia, dlsb. Jadi Arab yang mana yang dimaksud?
Pecahnya
bangsa Arab menjadi negara-negara Arab itu sebetulnya sebagai dampak dari gerakan
"Nasionalisme Arab" yang embrionya sudah ada sejak abad ke-19 sebagai
reaksi atas kolonialisme Eropa maupun rezim "monarkhi Islam".
Menariknya para arsitek dan tokoh gerakan nasionalisme Arab ini bukan hanya
Arab Muslim saja tetapi juga Arab non-Muslim seperti Michel Aflaq, yang kelak
bersama sahabatnya Salahuddin al-Bitar mendirikan "Garakan Renaissance
Arab" (harakah al-ba'ath al-Arabi) yang bertumpu pada ajaran-ajaran
sosialisme dan nasionalisme.
Jadi,
meskipun ada sejumlah kelompok / komunitas Muslim Indonesia yang heppiii
"menjadi Arab" (misalnya dengan "berjubah ria". Ingat ya
jubah itu budaya Arab, bukan ajaran Islam!) tetapi dalam realitasnya, mereka
sebetulnya tidak memahami pluralitas dan kompleksitas "bangsa Arab".
Anggapan Arab sebagai "bangsa tunggal" dan monolitik hanya ada di
alam imajiner saja.
Kembali
ke laptop. Jadi, haruskah Muslim Indonesia "menjadi Arab"?
Murid-murid, ayoo jawab he he
Pembantu
Lebih Galak dari Majikan
Ungkapan
"pembantu lebih galak dari majikan" atau "anjing herder lebih
garang dari majikan" kadang ada benarnya juga. Lihat saja, misalnya,
fenomena merebaknya kelompok "Wahabi KW" dan "Wahabi
mualaf" atau Wahabi anyaran di Indonesia dewasa ini. Mereka betul-betul
lebih galak dan lebih garang dari "Wahabi ori" dan "Wahabi
lawas" di Saudi atau Qatar.
Kolega
dan murid-muridku yang "Wahabi" (saya pakai "tanda kutip"
karena kebanyakan dari mereka lebih sreg disebut Salafi. Dulu kelompok ini
menamakan diri "Muwahhidun" karena doktrin tauhid yang kuat) itu
banyak tetapi beraneka ragam tingkat pengamalan "ajaran" dan ekspresi
ke-Salafi-annya: ada yang moderat, konservatif, pragmatis. Meskipun
berbeda-beda, mereka tidak saklek dan "kaku-njeku" seperti tiang
listrik atau patung Nyonya Meneer dalam mengimplementasikan norma-norma
kesalafian dan keislaman.
Bahkan
yang konservatif pun, mereka tidak main paksa apalagi ngamuk-ngamuk sambil
mengkopar-kapirkan orang / kelompok lain. Konservatisme buat mereka hanya
berlaku "ke dalam" (untuk diri sendiri) bukan "ke luar"
(untuk orang lain). Dengan kata lain, ke dalam mereka "intoleran", ke
luar mereka toleran. Misalnya, meskipun mereka mengharamkan musik, film, atau
rokok tetapi menghormati orang lain yang mendengarkan musik, menonton film, dan
merokok kebal-kebul. Begitu pula, meskipun mereka berjenggot lebat tetapi
menghargai orang lain yang tidak suka memelihara jenggot.
Yang
menarik adalah pandangan mereka tentang busana gamis atau jubah. Mereka sama
sekali tidak memandang mengenakan pakaian gamis atau jubah itu dalam rangka
untuk "nyunah rasul" atau mengikuti Nabi Muhammad. Mereka memakai
gamis/jubah semata-mata karena menganggap itu pakaian tradisional mereka saja
yang sayangnya kini mulai tergerus oleh busana modern (jeans, kaos, baju,
dlsb).
Bagi
mereka, Nabi Muhammad memakai jubah karena beliau adalah bagian dari masyarakat
Arab yang hidup dalam kultur Arab itu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah
"lebih relijius" atau tidak, "lebih bermoral" atau tidak.
Yang menentukan kualitas relijiusitas dan moralitas seseorang itu buat mereka
bukan masalah jenis pakaian (gamis atau bukan) melainkan adab, tata-cara dan
etika berpakaian di ruang publik. Mereka juga sama sekali tidak
mempermasalahkan orang lain untuk berbusana sesuai dengan kebudayaan dan
pilihan masing-masing individu. Karena itu di kampusku, mereka sangat
warna-warni dalam berbusana bukan melulu pakai gamis saja tapi juga pakai
jeans, kaos, baju, katok kolor, training, dlsb.
Sebagai
antropolog, saya juga respek dengan pilihan masing-masing individu. Misalnya,
saat saya menggunakan film dokumenter sebagai medium mengajar, saya selalu
mempersilakan kepada murid-muridku yang memandang menonton film itu haram untuk
keluar ruangan saat pemutaran film tetapi mereka harus kembali ke kelas saat film
usai untuk mendiskusikan konten film. Biasanya ada 2-3 murid yang minta ijin
untuk keluar ruangan. Saya juga sama sekali tidak mempermasalahkan mereka mau
berjenggot atau tidak, berjubah atau tidak. Buatku itu nggak penting.
Teman
dan murid-muridku yang Arab Salafi ini bahkan mengecam keras kelompok-kelompok
Islam yang mengatasnamakan Salafi tetapi menggunakan cara-cara intoleransi dan
kekerasan dalam menyampaikan pesan-pesan universal keislaman.
Jabal
Dhahran, Arabia
0 Response to "Jubah, Jenggot dan Bahasa itu Hanya Budaya Saja"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR