Spirit Mencari Ilmu Para Ilmuwan Muslim Abad Pertengahan
February 21, 2017
Add Comment
faquha.com - Saya
tidak pernah berhenti mengagumi spirit yang menggelora para ilmuwan Muslim pada
abad pertengahan Islam (kira-kira 8-13/14 M yang sering disebut "Medieval
Islam") dalam mengembara mencari ilmu pengetahuan dan kebijakan. Dalam sejarah,
abad ini dikenal sebagai masa gemilang atau "era emas" (Golden Age)
yang telah melahirkan ribuan para ilmuwan hebat dari berbagai disiplin yang
karya-karya agung mereka masih banyak kita saksikan hingga dewasa ini.
Fez,
Kairo, Makah, Damaskus, Baghdad, Kufah, Merv, Granada, dlsb adalah pusat-pusat
pengetahuan dan peradaban Islam yang kaya-raya dan masyhur kala itu. Para
santri Muslim (dan juga non-Muslim) mengembara dari satu kota ke kota lain
untuk belajar, berguru dan menuntut ilmu di berbagai bidang dari para suhu yang
mumpuni, baik Muslim maupun non-Muslim. Para suhu yang sudah mumpuni pun mereka
tidak segan-segan belajar dari para suhu atau guru lain yang dipandang lebih
mumpuni dan menguasai ilmu tertentu. Tidak peduli dari agama, mazhab dan aliran
apa.
Dalam
menuntut ilmu, mereka tidak pilah-pilih ("ilmu Islami" dan "ilmu
tidak Islami" misalnya) karena bagi mereka semua ilmu yang baik bersumber
dari Tuhan. Karena itu jangan heran jika kebanyakan para ilmuwan Muslim pada
zaman itu adalah para "ulama polymath" yang mengusai berbagai ilmu
pengetahuan dan produktif menulis di berbagai subyek, sangat kontras dengan
umumnya para ulama di era "Bitza Hat" ini yang cuma bisa ceramah
"ndolal-ndalil" tapi miskin karya akademik.
Waktu
itu belum ada sepeda, motor, kereta api, mobil, apalagi pesawat terbang. Karena
itu perjalanan pengembaraan mencari ilmu itu ditempuh dengan naik onta atau
jalan kaki yang memakan waktu berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun singgah
dari satu tempat ke tempat lain untuk menimba ilmu dan menemui sang suhu. Simak
riwayat perjalanan para pengelana ilmu legendaris yang sangat heroik seperti
Ibnu Fadlan dari Baghdad, Ibnu Jubair dari Andalusia (Spanyol), atau Ibnu
Battutah dari Tangier, Maroko.
Karena
lamanya pengembaraan, tidak jarang para ulama masyhur pada abad itu yang
kelaparan karena kehabisan bekal di jalan yang membuat mereka terpaksa menjual
pakaian untuk ditukar dengan makanan seperti pernah dialami oleh Muhammad Ibnu
Katsir dari Tabaristan dan temannya seorang sejarawan dan ahli tafsir kenamaan,
Ibnu Jarir al-Tabari. Memang ada para santri yang membawa bekal melimpah karena
dari keluarga kaya seperti ahli bahasa (linguist) Abu Ishaq al-Harbi atau Ibnu
Khaldun, sejarawan dan sosiolog terkemuka kelahiran Tunisia tapi jumlahnya
tidak seberapa. Ada pula yang mengembara bapak-anak sekalian seperti Abu Bakar
al-Sijistani dan ayahnya ahli Hadis terkemuka, Abu Dawud, yang berkelana dari
tanah kelahirannya di Sijistan ke Khurasan, Persia, Hijaz, Irak, Suriah, dan
Mesir.
Apa
yang ingin sampaikan disini adalah tentang spirit atau semangat mencari ilmu
yang luar biasa dari berbagai sumber dan guru yang dilakukan para murid dan
ilmuwan di abad pertengahan sehingga mampu mengantarkan Islam menjadi pionir
pengetahuan dan peradaban dunia kala itu.
Sayang,
spirit mencari ilmu yang "melintas-batas" itu kini telah lumer. Umat
Islam dewasa ini hanya sibuk mikirin kelompoknya sendiri, ormasnya sendiri,
mazhabnya sendiri, partainya sendiri, kepentingannya sendiri. Sebagian lagi
sibuk mencari duit, proyek, dan harta-benda. Sebagian lagi sibuk mikirin dan
mengoreksi iman orang lain, ibadah orang lain, "kekapiran" orang
lain. Yang lain lagi sibuk mengharamkan persoalan remeh-temeh. Yang lain lagi
sibuk berperang dengan bangsanya sendiri. Menyedihan sekali. Jika mentalitas
seperti ini tidak segera diubah, maka sulit umat Islam untuk maju dan
berkembang di dunia pengetahuan dan teknologi di masa mendatang.
Jabal
Dhahran, Arabia
0 Response to "Spirit Mencari Ilmu Para Ilmuwan Muslim Abad Pertengahan"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR