Antara Pluralitas dan Pluralisme
February 21, 2017
Add Comment
faquha.com Dalam
kuliah virtual kali ini, saya ingin mengulas sedikit tentang konsep dan makna
pluralitas dan pluralisme yang saya lihat masih banyak disalahpahami oleh
komunitas agama, baik Muslim maupun non-Muslim. Gara-gara salah baca, salah
paham, atau mungkin kurang akurat dan komprehensif dalam menelaah makna konsep
pluralisme ini, dulu MUI pernah mengfatwa haram atas pluralisme. Alasan MUI
waktu itu, kira-kira, paham pluralisme telah mencampur-adukan paham keagamaan,
penyamarataan doktrin kebenaran yang secara esensial bertentangan dengan Islam
sebagai satu-satunya jalan kebenaran. Disini tampak sekali kalau MUI
kebingungan membedakan antara pluralisme dengan sinkretisme, relativisme, atau
singularisme.
Begini,
pluralisme itu adalah semacam filosofi atau pandangan dunia untuk menyikapi
fakta-fakta pluralitas atau kemajemukan secara terbuka, open-minded, dan
toleran. Pluralitas adalah sesuatu yang bersifat alami, sedangkan pluralisme
bersifat kultural. Tidak seperti pluralitas yang merupakan pemberian atau
anugerah Tuhan, pluralisme adalah sebuah “prestasi” bersama dari kelompok
agama, etnis, dan budaya yang berlainan untuk menciptakan sebuah “masyarakat
bersama”. Dengan kata lain, pluralisme adalah sebuah proses pergumulan
kreatif-intensif terhadap fakta pluralitas itu yang bertujuan menciptakan sebuah
“komunitas bersama” yang saling menghargai keragaman dan keunikan masing-masing
agama dan budaya. Pluralitas baru akan menjadi pluralisme, jika masing-masing
umat bersedia membuka ruang dialog yang sehat dan pergumulan yang intensif.
Menurut
pakar studi pluralisme dari Harvard, Profesor Diana Eck, pluralisme tidak
sekedar toleransi, melainkan sebuah proses pencarian pemahaman secara aktif
menembus batas-batas perbedaan. Pluralisme juga beda dengan sinkretisme atau
paham pencampuradukan ajaran keagamaan seperti New Age misalnya. Pluralisme
juga bukan berarti penyamarataan ajaran. Yang terakhir ini namanya
“singularisme”, bukan “pluralisme”. Pluralisme juga bukan relativisme karena
dalam pluralisme ada semacam “perjumpaan komitmen” yang absen dalam relativisme.
Seorang
pluralis bukan berarti seorang yang menanggalkan identitas keagamaan dan
komitmennya terhadap agama tertentu karena inti dari pluralisme adalah
perjumpaan komitmen untuk membangun hubungan sinergis satu dengan yang lain.
Seorang pluralis bukan berarti tidak mengakui eksistensi perbedaan agama sebab
perbedaan itu adalah sebuah fakta-fakta sosial yang tidak bisa diabaikan, akan
tetapi, bagi seorang pluralis, perbedaan agama itu dijadikan sebagai sumber
bagi hubungan agama yang sehat, saling menghormati, serta sebagai kekuatan
pemersatu, bukan sebaliknya, melihat perbedaan itu sebagai faktor pemecah yang
mengancam identitas keagamaan dan kebudayaan tertentu.
Selanjutnya,
pluralisme itu dibangun diatas basis dialog. Bahasa pluralisme adalah bahasa
dialog dan perjumpaan, saling menerima dan memberi, serta mau melakukan kritik
diri. Dialog berarti berbicara sekaligus bersedia mendengarkan orang dan umat
lain. Proses dialog itu harus berusaha menciptakan pemahaman bersama atas
fakta-fakta perbedaan dengan sikap hormat dan saling menghargai. Perlu juga
dicatat bahwa dialog berbeda dengan debat. Dalam dialog target yang hendak
dicapai adalah saling memahami bukan saling mengalahkan seperti dalam debat.
Tidak ada kalah-menang dalam dialog.
Inilah
makna ketika Al-Qur’an menegaskan “bahwa diciptakannya manusia berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal” (Q. 49:13). Kalimat
“berbangsa-bangsa” dan “bersuku-suku” adalah fakta pluralitas sementara “untuk
saling mengenal” (ta’aruf) adalah pemahaman tentang pluralisme tadi. Karena itu
fakta pluralitas itu baru bisa dipahami jika kita umat beragama memiliki
komitmen untuk berdialog yang merupakan ruh dari pluralisme.
Dalam
kerangka pemikiran ini, pluralisme setingkat lebih tinggi dari toleransi. Dalam
toleransi tidak dibutuhkan pengetahuan (knowledge) dan pemahaman
(understanding) atas “yang lain” sementara pluralisme mengsyaratkan keduanya.
Meskipun toleransi itu baik dan perlu dalam hubungan antar-agama, tetapi tidak
cukup kuat sebagai landasan dialog antar dan intra-agama. Sebab “budaya
toleransi” ini masih rawan dan rapuh untuk disusupi dan diprovokasi pihak-pihak
tertentu yang memiliki kepentingan agama dan politik.
Demikian
penjelasan singkat mengenai pluralisme, semoga bermanfaat. Kalau masih bingung,
silakan baca dan renungkan terus-menerus postingan ini sampai tidak bingung
lagi he he…
Jabal
Dhahran, Arabia, Prof Sumanto
0 Response to " Antara Pluralitas dan Pluralisme"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR