Haruskah Muslim Indonesia "Menjadi Arab"?
January 26, 2017
Add Comment
Haruskah Muslim Indonesia
"Menjadi Arab"?
Sebagai seorang ilmuwan sosial,
apalagi sebagai antropolog yang "kesengsem" dengan filosofi humanisme
dan individualisme, secara pribadi saya tidak mempermasalahkan "kaum
agamis" di Indonesia (baik Muslim maupun non-Muslim) untuk mengekspresikan
budaya suku-bangsa mana saja, atau dengan kata lain, mereka bebas menjadi apa
saja: menjadi Arab, menjadi Yahudi, menjadi Kurdi, menjadi Berber,
"menjadi bule", menjadi Jawa, menjadi Betawi, dlsb. Itu hak
masing-masing individu untuk merayakan kebebasan asal jangan
"pecicilan" dan maksa-maksa saja.
Hanya saja masalahnya tidak sesimpel
yang mereka imajinasikan karena suku/etnis mana saja, termasuk Arab, bukanlah
sebuah kelompok sosial yang bersifat tunggal atau monolitik dalam pengertian
segalanya: agamanya, budayanya, karakteristiknya, ideologinya, politiknya,
ormasnya, parpolnya, warna kulitnya, dlsb. Ada sekitar 450 juta "orang
Arab" di dunia ini yang menempatkan Arab sebagai etnis terbesar kedua di
dunia setelah etnis Han China.
Membayangkan Arab sebagai
"bangsa Muslim", misalnya, sama konyolnya dengan mengimajinasikan
Barat sebagai "bangsa Kristen" karena memang ada banyak warga Arab
non-Muslim dan warga Barat non-Kristen. Khusus Arab Kristen, biasanya mereka
mengikuti "Gereja-Gereja Kristen Timur": Maronite, Koptik, Assyria,
Ortodoks Yunani, Chaldean, Melkite, dlsb. Komunitas Arab Muslim pun beraneka
ragam: ada yang mengikuti Sunni dari berbagai mazhab, ada pula yang mengikuti
aliran Ibadi, Alawi, Druze, dan Syiah dari berbagai denominasi (Zaidiyah,
Imamiyah, Ismailiyah, dan seterusnya).
Selanjutnya, secara geografi,
"bangsa Arab" tidak hanya tinggal di kawasan Timur Tengah saja tetapi
juga di negara-negara Barat, Indo-Pakistan, Asia Tenggara, dlsb. Sebagaimana
komunitas China atau Filipino, komunitas Arab juga tersebar di berbagai kawasan
(Arab diaspora). Di kawasan Arab dan Timur Tengah sendiri, bangsa Arab tersebar
di sekitar 22 negara sekarang ini: bukan hanya di negara-negara Arab Teluk saja
tetapi juga Aljazair, Comoros, Djibouti, Sudan, Maroko, Mauritania,
Somalia,Tunisia, dlsb. Jadi Arab yang mana yang dimaksud?
Pecahnya bangsa Arab menjadi
negara-negara Arab itu sebetulnya sebagai dampak dari gerakan
"Nasionalisme Arab" yang embrionya sudah ada sejak abad ke-19 sebagai
reaksi atas kolonialisme Eropa maupun rezim "monarkhi Islam".
Menariknya para arsitek dan tokoh gerakan nasionalisme Arab ini bukan hanya Arab
Muslim saja tetapi juga Arab non-Muslim seperti Michel Aflaq, yang kelak
bersama sahabatnya Salahuddin al-Bitar mendirikan "Garakan Renaissance
Arab" (harakah al-ba'ath al-Arabi) yang bertumpu pada ajaran-ajaran
sosialisme dan nasionalisme.
Jadi, meskipun ada sejumlah kelompok
/ komunitas Muslim Indonesia yang heppiii "menjadi Arab" (misalnya
dengan "berjubah ria". Ingat ya jubah itu budaya Arab, bukan ajaran
Islam!) tetapi dalam realitasnya, mereka sebetulnya tidak memahami pluralitas
dan kompleksitas "bangsa Arab". Anggapan Arab sebagai "bangsa
tunggal" dan monolitik hanya ada di alam imajiner saja.
Kembali ke laptop. Jadi, haruskah
Muslim Indonesia "menjadi Arab"? Murid-murid, ayoo jawab he he
Prof. Sumanto
0 Response to "Haruskah Muslim Indonesia "Menjadi Arab"?"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR