Antara Pluralitas dan Pluralisme
January 26, 2017
Add Comment
Antara Pluralitas dan Pluralisme
Dalam kuliah virtual kali ini, saya ingin mengulas sedikit
tentang konsep dan makna pluralitas dan pluralisme yang saya lihat masih banyak
disalahpahami oleh komunitas agama, baik Muslim maupun non-Muslim. Gara-gara
salah baca, salah paham, atau mungkin kurang akurat dan komprehensif dalam
menelaah makna konsep pluralisme ini, dulu MUI pernah mengfatwa haram atas
pluralisme. Alasan MUI waktu itu, kira-kira, paham pluralisme telah
mencampur-adukan paham keagamaan, penyamarataan doktrin kebenaran yang secara
esensial bertentangan dengan Islam sebagai satu-satunya jalan kebenaran. Disini
tampak sekali kalau MUI kebingungan membedakan antara pluralisme dengan
sinkretisme, relativisme, atau singularisme.
Begini, pluralisme itu adalah semacam filosofi atau pandangan
dunia untuk menyikapi fakta-fakta pluralitas atau kemajemukan secara terbuka,
open-minded, dan toleran. Pluralitas adalah sesuatu yang bersifat alami,
sedangkan pluralisme bersifat kultural. Tidak seperti pluralitas yang merupakan
pemberian atau anugerah Tuhan, pluralisme adalah sebuah “prestasi” bersama dari
kelompok agama, etnis, dan budaya yang berlainan untuk menciptakan sebuah
“masyarakat bersama”. Dengan kata lain, pluralisme adalah sebuah proses
pergumulan kreatif-intensif terhadap fakta pluralitas itu yang bertujuan
menciptakan sebuah “komunitas bersama” yang saling menghargai keragaman dan
keunikan masing-masing agama dan budaya. Pluralitas baru akan menjadi
pluralisme, jika masing-masing umat bersedia membuka ruang dialog yang sehat
dan pergumulan yang intensif.
Menurut pakar studi pluralisme dari Harvard, Profesor Diana
Eck, pluralisme tidak sekedar toleransi, melainkan sebuah proses pencarian
pemahaman secara aktif menembus batas-batas perbedaan. Pluralisme juga beda
dengan sinkretisme atau paham pencampuradukan ajaran keagamaan seperti New Age
misalnya. Pluralisme juga bukan berarti penyamarataan ajaran. Yang terakhir ini
namanya “singularisme”, bukan “pluralisme”. Pluralisme juga bukan relativisme
karena dalam pluralisme ada semacam “perjumpaan komitmen” yang absen dalam
relativisme.
Seorang pluralis bukan berarti seorang yang menanggalkan
identitas keagamaan dan komitmennya terhadap agama tertentu karena inti dari
pluralisme adalah perjumpaan komitmen untuk membangun hubungan sinergis satu dengan
yang lain. Seorang pluralis bukan berarti tidak mengakui eksistensi perbedaan
agama sebab perbedaan itu adalah sebuah fakta-fakta sosial yang tidak bisa
diabaikan, akan tetapi, bagi seorang pluralis, perbedaan agama itu dijadikan
sebagai sumber bagi hubungan agama yang sehat, saling menghormati, serta
sebagai kekuatan pemersatu, bukan sebaliknya, melihat perbedaan itu sebagai
faktor pemecah yang mengancam identitas keagamaan dan kebudayaan tertentu.
Selanjutnya, pluralisme itu dibangun diatas basis dialog.
Bahasa pluralisme adalah bahasa dialog dan perjumpaan, saling menerima dan
memberi, serta mau melakukan kritik diri. Dialog berarti berbicara sekaligus
bersedia mendengarkan orang dan umat lain. Proses dialog itu harus berusaha
menciptakan pemahaman bersama atas fakta-fakta perbedaan dengan sikap hormat
dan saling menghargai. Perlu juga dicatat bahwa dialog berbeda dengan debat.
Dalam dialog target yang hendak dicapai adalah saling memahami bukan saling
mengalahkan seperti dalam debat. Tidak ada kalah-menang dalam dialog.
Inilah makna ketika Al-Qur’an menegaskan “bahwa
diciptakannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling
mengenal” (Q. 49:13). Kalimat “berbangsa-bangsa” dan “bersuku-suku” adalah
fakta pluralitas sementara “untuk saling mengenal” (ta’aruf) adalah pemahaman
tentang pluralisme tadi. Karena itu fakta pluralitas itu baru bisa dipahami
jika kita umat beragama memiliki komitmen untuk berdialog yang merupakan ruh
dari pluralisme.
Dalam kerangka pemikiran ini, pluralisme setingkat lebih
tinggi dari toleransi. Dalam toleransi tidak dibutuhkan pengetahuan (knowledge)
dan pemahaman (understanding) atas “yang lain” sementara pluralisme
mengsyaratkan keduanya. Meskipun toleransi itu baik dan perlu dalam hubungan
antar-agama, tetapi tidak cukup kuat sebagai landasan dialog antar dan
intra-agama. Sebab “budaya toleransi” ini masih rawan dan rapuh untuk disusupi
dan diprovokasi pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan agama dan
politik.
Demikian penjelasan singkat mengenai pluralisme, semoga
bermanfaat. Kalau masih bingung, silakan baca dan renungkan terus-menerus
postingan ini sampai tidak bingung lagi he he…
Jabal Dhahran, Arabia
0 Response to "Antara Pluralitas dan Pluralisme"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR