Menolak bid’ah Hasanah, tokoh wahhabi ini tidak konsisten
May 7, 2016
Add Comment
Buku Hujjah al-Nahdiyah kupas tuntas tuduhan Wahhabi, harga Rp 40 ribu, 082210018842 |
Menolak bid’ah Hasanah, tokoh wahhabi ini tidak konsisten
Faquha.com - Ada
persamaan antara pendapat ulama syafi’iyyah dalam mendefinisikan makna bid’ah,
yaitu sesuatu yang tidak ada pada saat nabi
Misalnya Imam Izuddin bin abdisalam dalam kitabnya Qawaid
al-Ahkam fi Mashalih al-anam memberikan definisi bid’ah
فعل ما لم يعهد فى عصر
رسول الله
Mengerjakan sesuatu yang tidak
pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah saw.
Begitupun Abu Zakarya Yahya bin
Syaraf al-Nawawi yang pendapatnya mu’tamad (otoritatif) dalam karyanya Tahdzib
al-Asma wa al-Lughat memberikan
definisi bid’ah dengan
هي إحداث ما لم يكن فى عهد رسول الله
Mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada
pada masa Rasulillah saw.
Perbedaan antara
wahhabi dan ulama syafi’iyah muncul dalam pembagian bid’ah, dimana ulama
syafiiyyah membagi bid’ah ke dalam hasanah (baik) dan dolalah (sesat), jika
tidak menyalahi al-Quran atau Sunnah atau Ijma’ dinamakan bid’ah hasanah, jika
menyalahi dinamakan bid’ah dolalah (sesat) demikian pendapat al-Baihaqi dalam
Manaqib al-Imam Syafi’i (Kairo: Dar al-Turats, 1970)
Hanya berbeda
bahasa, Imam al-Nawawi membagi bid’ah ke dalam hasanah (baik) dan sayyiah
(jelek), bahkan Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam fath al-Bari syarah al-Bukhari membagi bid’ah sebagaimana dalam hukum fiqh; wajib, sunat, mubah,
makruh dan haram (juz 4, h. 253) begitupula al-Shan’ani membaginya sesuai hukum
dalam ilmu fiqh.
Artinya menurut
ulama yang mempunyai tradisi madzhab mengakui adanya bida’h hasanah dalam
urusan ibadah, hal ini berbeda dengan wahhabi yang membagi bid’ah ke dalam
agama (ibadah) dan dunia, menurut mereka bid’ah yang boleh itu hanya dalam
urusan dunia, adapun bida’h dalam urusan agama mereka hukumi seluruhnya dolalah (sesat)
Pembagian bid’ah menurut Wahhabi
Adalah al-‘Utsaimin,
tokoh terkemuka Wahhabi menolak terang-terangan pembagian bid’ah dalam agama
(ibadah) Namun dalam hal pembagian bida’h, tampaknya wahhabi berbeda dengan
ulama syafi’iyyah, dimana wahhabi menolak adanya bid’ah hasanah, perhatikan
pendapat al-Utsaimin dalam al-Ibda
fi Kamal al-Syar’i wa Khathar al-Ibtida (Riyadh: Alam al-Kutub, 1995) h. 13 berpendapat:
“Apakah kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau
menjadi lima bagian? Selamanya, ini
tidak akna pernah benar”
Al-Utsaimin berpendapat bahwa bedasarkan hadis
وكل بدعةٍ ضلالة
Menurutnya hadis
ini bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan
kata yang yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum
Tak heran jika
pendapatnya perihal pembagian bid’ah hanya dalam agama dan dunia, dan bid’ah
dalam agama (ibadah) semuanya sesat.
Pemaknaan kata
kullu dalam al-Quran
Tidak semua kata
kullu dalam al-Quran diartikan dengan general, umum dan menyeluruh, misalnya dalam
QS. Al-Zumar
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ الزمر62
Allah menciptakan
segala sesuatu, ulama aswaja berpendapat bahwa kata kull dikecualikan
al-Quran, karena al-Quran bukan makhluk, begitupun al-Utsaimin
Begitupun dalam
surah al-Kahfi ayat 79, terdapat kata kullu yang bukan
keseluruhan tapi dibatasi oleh
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ
يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ
يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا 79
Ayat ini
mengisahkan jawaban atau klarifikasi Nabi Khidir terhadap pertanyaan nabi Musa,
bahwa yang perahu yang dirusak adalah perahu milik orang miskin, supaya tidak
diambil raja, yang akan mengambil setiap perahu dengan paksa
Kata setiap perahu
tentu dibatasi oleh perahu yang ada di wilayah kekuasaan raja tersebut, bukan
seluruh perahu yang ada di dunia
Utsaimin tidak
konsisten
Penolakan pembagian
bid’ah menjadi dua atau lima berdasarkan hadis kullu bid’a dolalah masih
perlu dipertimbangkan. Dan pada akhirnya Utsaimin mengakuinya dalam Syarh al-‘Aqidah al-Wasitiyyah (Riyadh: Dar al-Tsurayya, 1995) h. 336
“Redaksi seperti kullu Sya’in
adalah kalimat general yang terkadang
dimaksudkan pada makna yang terbatas”
Begitupun ketika
menghadapi persoalan baru, Utsaimin terjebak dalam pembagian bid’ah dan
membaginya menjadi beberapa bagian.
“Berbuat bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah haram dan bid’ah,
kecuali ada dalil dari al-Kitab dan Sunnah yang menunjukkan keberlakuannya”
Pernyataan ini
justru menunjukkan ketidakkonsistenan al-Utsaimin dengan pernyataan awal bahwa
setiap bid’ah dalam urusan agama adalah terlarang.
Tulisan disarikan
dari buku (Hujjah al-Nahdiyyah karya Yayan Bunyamin (Tasikmalaya:
Pesantren Rahmat Semesta, 2016)
0 Response to "Menolak bid’ah Hasanah, tokoh wahhabi ini tidak konsisten"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR