Argumen Valid Perayaan Maulid Nabi (Bagian 3)
May 25, 2015
Add Comment
Ilustrasi, Faquha.site |
Ciputat, Faquha.site - Banyak para ulama yang
menjadikan kisah dimerdekakannya Tsuwaibah oleh Abu Lahab sebagai salah satu
alasan untuk bergembira akan kelahiran baginda Nabi. Uraian yang cukup menarik
disampaikan oleh al-Syeikh Muhammad bin ‘Alawi al-Mâliki al-Hasanî dalam kitab Haul
al-Ihtifâl bi Dzikrî al-Maulid al-Nabawi al-Karîm halaman 72-82, berikut ini
saya cantumkan terjemah lengkapnya:
“Dalam beberapa buku hadis
dan sirah (biografi), para ulama banyak menyebutkan kisah tentang sikap Abu
Lahab yang memerdekakan budak perempuannya bernama Tsuwaibah ketika ia memberitahukan
kepada tuannya itu tentang kelahiran Rasululah SAW., dan bahwasannya al-Abbas
bin Abdu al-Muthalib bermimpi melihat Abu Lahab setelah kematiannya seraya
menanyakan kondisinya. Lalu Abu
Lahab menjawab, “Aku tidak mendapatkan kenikmatan sedikit pun setelah
kematianku. Hanya saja dapat minum dengan ini karena aku memerdekakan
Tsuwaibah, dan bahwasannya minuman itu memberikan keringanan siksa kepadaku
setiap hari Senin.”
Saya katakan, “Hadis ini diriwayatkan dan
dikutip beberapa pakar hadis dan penulis biografi seperti Imam Abdurrazzaq
Ash-Shan’ani, Imama al-Bukhari, al-Hâfizh Ibnu Hajar, al-Hâfizh Ibnu Katsir,
al-Hâfizh al- Baihaqi, Ibnu Hisyam,
al-Suhaili, al-Hâfizh Al-Baghawi, Ibnu Ad-Diba’, al-Asykhar, dan al-Amiri.
Maslah ini akan kami jelaskan secara terperinci dengan izin Allah.
Imam
Abdurrazaq al-Shan’ani telah meriwayatkan dalam al-Mushannaf-nya, 5/478.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dalm Shahîh-nya dengan sanad
yang sampai kepada Urwah bin al-Zubair, mursal, dalam Kitab: al-Nikah, Bab: “Ibu-ibumu
yang menyusui kamu.”
Ibnu Hajar meriwayatkan dalam al-Fath, dan ia
mengatakan, “Hadis ini diriwayatkan al-Ismâ’ili melalui al-Dzahli dari Abu al-Yaman.
Dan Abduarrazaq meriwayatkan dari Mu’ammar dan ia mengatakan, “Hadis ini
memberikan penjelasan bahwa bisa jadi orang kafir mendapat manfaat dari amal
saleh yang dikerjakannya di akhirat. Akan tetapi hal ini tentulah bertentangan
dengan pernyataan al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang disebutakan dalam firman
Allah:
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan
amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan. (Al-Furqan: 23)
Kontradiksi ini bisa dijawab dengan pertama:
Riwayat ini adalah mursal yang dinisbatkan kepada Urwah bin al-Zubair saja dan
tidak ada perawi lain sesudahnya yang memberitahukan kepadanya. Kalaulah hadis
ini maushul, maka dalam riwayat tersebut hanya berupa mimpi, sehingga tidak
dapat diragukan sebagai dalil. Dan kemungkinan mimpi yang dilihatnya itu tidak
benar, sehingga tidak dapat dijadikan dalil.
Kedua: Kalaupun bisa diterima, maka mengandung
kemungkinan bahwa apa yang berhubungan dengan Rasulullah SAW. merupakan
kekhususan saja. Hal ini dibuktikan dengan kisah Abu Thalib yang telah kami
kemukakan sebelumnya, yang menyatakan bahwa ia mendapatkan keringanan siksa dan
hukuman, dimana ia dipindahkan dari al-Gamarat (kepedihan) menuju al-Dhahdhah
(kelap-kelip/ siksa yang lebih ringan)
Al-Baihaqi mengatakan, “Hadis ini menunjukan
gugurnya amal kebaikan orang-orang kafir. Artinya, mereka tidak dapat
melepaskan diri dari neraka tersebut dan tidak pula dapat masuk surga. Akan
tetapi boleh jadi mereka dapat merasakan keringanan siksaan yang harus mereka
jalani karena berbagai kemaksiatan dan kejahatan yang mereka perbuat selain
kekufuran karena perbuatan baik yang
mereka kerjakan”.
Adapun al-Qadhi Iyad, maka ia mengatakan,
“Ijma’ menunjukan bahwa orang-orang kafir tidak dapat menikmati amal dan perbuatan baik yang mereka kerjakan
dan mereka juga tidak berhak mendapatkan pahala dengan satu kenikmatanpun dan
tidak pula keringanan siksa meskipun siksaan yang satu bisa jadi lebih ringan
dari pada siksaan yang lain.”
Saya katakan, “Hal ini tidak menapikan
kemungkinan sebagaimana yang dikemukakan al-Biahaqi. Sebab semua itu
berhubungan dengan dosa kekufuran. Adapun dosa selain kekufuran, maka adakah
yang melarang atau menghalangi adanya keringanan hukuman dan siksaan?”
Al-Qurthubi mengatakan, “Keringanan ini khusus
berhubungan dengan hal ini dan orang yang disebutkan dalam teks tersebut.”
Ibnu al-Munir dalam al-Hasyiyah mengatakan,
“Disana terdapat dua permasalahan penting: salah satunya tidak mungkin, yaitu
menganggap adanya ketaatan orang kafir bersamaan dengan kekufurannya (ketika
masih kufur) sebab syarat seseorang dikatakan sebagai orang yang taat adalah adanya
niat dan tujuan yang baik. Unsur ini tidak dimiliki orang kafir. Kedua: memberikan
pahala kepada orang kafir atas sebagian amal dan perbuatan yang dilakukannya
sebagai karunia Allah SWT. Hal ini tentulah tidak mustahil menurut orang yang
berakal. Jika kenyataannya memang demikian, maka sikap Abu Lahab yang
memerdekakan budak perempuannya bernama Tsuwaibah merupakan pendekatan yang
diperhitungkan, dan Allah SWT. berkehendak untuk melimpahkan karunina-Nya
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sebagaimana halnya Allah melimpahkan
karunia-Nya kepada Abu Thâlib” saya katakan, “Konsekuensinya, karunia yang
disebutkan ini merupakan penghormatan terhadap kebaikan yang dilakukan orang
kafir, dan sejenisnya. Wallahu A’lam.” (Fath
al-Bari: 9/145)
Adapun al-Hâfizh Ibnu Katsîr, maka ia
meriwayatkannya dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Dalam bukunya tersebut, Ibnu Katsîr
memberikan komentarnya, “Sebab ketika Tsuwaibah memberitahukan kabar gembira
kepada Abu Lahab tentang kelahiran keponakannya Muhammad bin Abdullah, maka
saat itu juga sang paman segera memerdekakan budaknya itu. Dengan sikap dan
penghormatannya ini, maka ia berhak mendapatkan balasan setimpal.” (Lihat as-Sirah an-Nabawiyyah, karya Ibnu
Katsir, 1/224)
Sedangkan al-Hâfizh Abdurrahman bin al-Diba’ al-Syaibani,
penulis Taisir al-Wushûl, maka ia meriwayatkannya dalam kitab Sirah-nya, seraya
memberikan komentar terhadapnya, “Aku katakan, “Keringanan siksaan yang
diberikan kepadanya (Abu Lahab) hanyalah sebagai bentuk penghormatan terhadap
Rasulullah SAW. sebagaimana Allah SWT. meringankan siksaan dari Abu Thâlib
bukan karena pemerdekaan yang dilakukannya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan
dalam firman Allah,
“Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia
dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (Hud: 16)” (Dikutip dari Hadâ’iq
Al-Anwâr fî al-Sirah, 1/134)
Adapun al-Hâfizh al-Baghawi, maka ia meriwayatkannya
dalam Syarh as-Sunnah, 9/76.
Sedangkan Imam al-Amiri maka ia
meriwayatkannya dalam Bahjah al-Mahâfil (Keceriaan Berbagai Perayaan) al-Asyhar
yang mengomentari buku tersebut mengatakan, “Ada yang mengatakan bahwa ini
berhubungan khusus dengan Rasulullah SAW. sebagai penghormatan kepada beliau.
Sebagaimana Allah SWT. meringankan siksaan kepada Abu Thâlib karenanya. Dan ada
pula yang mengatakan bahwa tidak ada larangan apapun untuk meringankan siksaan
setiap orang kafir yang melakukan kebaikan.” Syarah al-Bahjah, 1/41.
Adapun al-Suhaili, maka ia meriwayatkan dalam al-Raudh
al-Anf fî Syarah al-Sirah An-Nabawiyah, karya Ibnu Hisyam. Setelah mengutip
riwayat tersebut, ia mengatakan. “Amal kebaikan tersebut bermanfaat baginya
ketika didalam neraka. Sebagimana saudaranya Abu Thalib yang mendapatkan
manfaat dari kebaikan terhadap Rasulullah SAW. sehingga Abu Thalib menjadi
orang yang paling ringan merasakan pedihnya siksaan api neraka.
Dalam bab atau pembahasan Abu Thalib telah
disebutkan bahwa manfaat ini sifatnya hanya pengurangan siksaan. Jika tidak
demikian, maka semua amal dan kebaikan orang kafir lenyap tanpa perdebatan.
Artinya, amal kebaikan tersebut tidak memiliki bobot sama sekali dalam
timbangannya di akhirat kelak dan tidak membuatnya masuk surga.” al-Raudh al-Anf,
5/192.
Kesimpulan Akhir Pembahasan
Kesimpulannya: kisah ini sudah populer dalam
buku-buku hadis dan biografi, yang dikutif para huffazh yang terpercaya dan
terkemuka. Untuk menyatakan ketsiqqahannya (kesahihannya), kisah tersebut
dikutip al-Bukhari dalam Shahîh-nya yang terkenal dengan kepakaran dan kredibilitasnya
dalam bidang hadis. Sanadnya shahîh dan tidak perlu diperdebatkan kembali.
Bahkan hadis-hadis mua’llaq dan mursal tidak
lepas dari maqbul (diterima) dan tidak sampai mardud (ditolak). Hal ini tentunya
telah diketahui para ulama yang
berkecimpung dalam bidang hadis dan mushthalah hadis, dimana mereka adalah orang-orang
yang mengenal pengertian mua’llaq dan mursal dan hukum penggunaan kedua jenis
hadis tersebut jika disebutkan dalam al-Shahîh.
Jika anda ingin melihat lebih mendetail
tentang masalah ini, maka lihatlah buku-buku tentang mushthalah hadis seperti Alfiah
al-Hadits, karya imam al-Suyûṭi dan al-Irâqi dan syarahnya, dan Taddrib ar-Rawi.
Mereka ini banyak mengetengahkan permasalahan-permasalahan ini dan menjelaskan
sejauh mana kedudukan hadis mua’llaq dan hadis mursal dalam bidang hukum, dan
keduannya bisa diterima.
Adapun pendapat orang yang mengatakan, “Bahwasannya
riwayat ini bertolak belakang dengan firman Allah,
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal
itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqan:
23).
Maka ini merupakan pendapat yang tertolak oleh
pendapat para ulama sebagaimana yang telah kami kemukakan sebelumya.
Penjelasannya dalam pembahasan ini adalah bahwasannya
ayat ini menunjukan bahwa semua amal perbuatan orang-orang kafir tidak dilihat
sama sekali dan tidak menunjukan bahwa mereka mendaptkan siksa yang sama, dan
bahwasannya sebagian mereka tidak memperoleh keringanan hukum. Hal ini sebagaimana
yang ditetapkan para ulama.
Begitu juga dengan ijma’ yang dikemukakan
Iyadh. Ijma’ tersebut berlaku atau berhubungan dengan orang-orang kafir secara
umum, dan tidak menunjukan bahwa Allah SWT. tidak meringankan siksa sebagian
dari mereka karena amal kebaikan yang mereka lakukan. Karena itulah Allah SWT.
menciptakan neraka Jahannam secara berlapis-lapis dan orang-orang munafik
menempati lapisan paling bawah.
Disamping itu, ijma’ tersebut kontradiksi dengan
teks yang shahîh. Dan kita semua mengetahui bahwa ijma’ tidak bisa dibangun
apabila kontradiksi dengan teks.
Sebab dalam al-Shahîh disebutkan bahwasannya
Rasulullah SAW. pernah ditanya seseorang, “Apakah pembelaan dan perlindungan
Abu Thâlib terhadapmu manfaat baginya?” Beliau menjawab, “Aku mendapatinya di
neraka yang mengerikan dan penuh kesusahan, kemudian aku mengeluarkannya ke
dalam neraka yangg lebih ringan.” (al-Hadis)
Inilah Abu Thâlib yang mendapatkan manfaat dari
upaya perlindungan dan pembelaan terhadap Rasulullah SAW., dimana Rasululllah
SAW. mengeluarkanya dari neraka yang mengerikan ke dalam neraka yang lebih
ringan siksaannya.
Dengan demikian, maka keringanan siksaan yang
diterima Abu Lahab juga termasuk dalam bab ini dan tidak perlu diingkari. Hadis
di atas juga menunjukan ayat di atas mengemukakan tentang orang yang tidak
mengerjakan amal kebaikan yang dapat meringankan siksaan. Begitu juga dengan
ijma’.
Dalam hadis yang mengisahkan tentang Abu Thâlib
di atas terdapat petunjuk yang menyatakan bahwa Rasulullah mulai sekarang dan
sebelum hari kiamat tiba mengetahui urusan-urusan akhirat dan memberikan syafa’at
kepada orang yang bergantung kepadanya dan mau membelanya.
Adapun pendapat orang yang mengatakan bahwa riwayat
ini hanyalah mimpi belaka dan tidak dapat dijadikan sebagai pijakan hukum, maka
orang yang mangatakan demikian ini –semoga Allah menunjukan jalan kebenaran
kepadanya- tidak dapat membedakan antara hukum-hukum syari’at dan yang lainnya.
Adapun mengenai hukum-hukum syari’at, maka
terjadi perbedaan pendapat di kalangan pakar fikih: Apakah boleh mengambil
hukum dan mengukur keshahîhan suatu informasi dengn mimpi melihat Rasulullah
SAW. atau tidak?
Sedangkan yang lain, maka mendasarkan
keputusan hukum pada mimpi dalam masalah ini tidak ada masalah sama sekali,
sebab para huffazh telah menjadikannya sebagai sandaran hukum dan mereka
menyebutkan mimpi masyarakat jahiliyyah sebelum kenabian Muhammad SAW., yang
kedatangannya telah diumumkan, dan bahwasannya beliau akan menghancurkan
kemusrikan dan berbagai kerusakan dan penyimpangan. Buku-buku hadis penuh
dengan hal ini. yang paling utama adalah Dalâil al-Nubuwwah (bukti-bukti
kenabian) dan mereka menganggapnya sebagai Irhâshât (kejadian-kejadian luar
biasa sebelum kenabian) yang boleh saja menggunakannya sebagai dalil dalam
mimpi. Kalaulah tidak demikian, maka tentulah mereka tidak menyebutkannya. Ucapan
seseorang mengenai mimpi al-Abbas, ”Bahwasannya mimpi tersebut tidak dapat
dijadiakn sebagai hujah dan tidak dapat digunakan mengambil keputusan hukum,
serta tidak bisa dianggap sebagi informasi”, merupakan pendapat yang menyimpang
dari apa yang dilakukan tokoh-tokoh huffazh dan yang lain, dan yang dimaksud
ini adalah untuk intimidasi orang yang meneliti tentang kebenaran, dan tidaklah
demikian.
Adapun orang yang mengatakan bahwa orang yang
bermimpi dan yang menginformasikannya adalah al-Abbas ketika masih dalam
kekufuran, maka kita tahu bahwa kesaksian orang-orang kafir tidak sah dan
informasi yang mereka sampaikan tidak dapat diterima, maka pendapat ini
tertolak dan tidak ilmiah sedikitpun.
Ini merupakan pendapat yang keliru karena
tidak seorangpun yang mengatakan bahwa
mimpi bagian dari masalah kesaksian. Mimpi hanyalah kabar berita dan tidak yang
lain. Sehingga dalam hal ini tidak ada syarat orang tersebut harus orang yang
beragama dan berkeimanan. Bahkan dalam al-Qur’an, Allah AWT. menyebutkan bahwa
mukjizat nabi Yusuf AS yang mengetahui tabir mimpi raja Mesir yang ketika itu
masih menganut paganisme, tidak mengenal agama langit sama sekali. Meskipun
demikian, Allah menjadikan mimpinya sebagai tanda-tanda kenabian Yusuf AS dan
keutamaannya, dan menyertakannya dalam
kisahnya. Kalaulah hal itu tidak memberikan manfaat apapun, maka tentulah Allah
SWT. tidak menyebutkannya dalam al-Qur’an. Sebab mimpi tersebut adalah mimpi
dari orang musyrik yang tidak memberikan manfaat apapun baik dalam posisinya
sebagai pendukung maupun pengingkaran.
Karena itulah para ulama mengatakan bahwa
orang kafir bermimpi melihat Allah, dan hal ini menunjukan peringatan dan
celaan terhadapnya, dan juga sindiran.
Yang aneh adalah pendapat seseorang yang
menyatakan, “Sesungguhnya al-Abbas bermimpi ketika masih dalam kekufurannya. Sedangkan
kita semua mengetahui bahwa kesaksian orang kafir tidak bisa diterima dan
informasi yang mereka sampaikan tidak dapat diterima,” maka pendapat ini
menunjukan bahwa orang tersebut tidak mengenal ilmu hadis. Sebab dalam mushthalah
hadis disebutkan bahwasannya seorang sahabat atau yang lain apabila memunyai
hadis ketika masih dalam kekufurannya kemudian mengemukakannya ketika masuk
Islam, maka hadis tersebut dapat diterima dan diamalkan.
Lihatlah contoh-contohnya dalam buku-buku
mushthalah hadis agar orang yang mengatakan demikian mengetahuinya dengan baik.
Yang menjadi persoalan adalah ketika seseorang mengemukakan sebuah hadis atau
pendapat yang bertentangan sedangkan ia tidak memahaminya.
Sebenarnya bahwa nafsulah yang membawa orang
untuk melakukan counter terhadap sesuatu yang bukan menjadi bidang atau
sepesialisasi mereka.”
Demikianlah uraian yang bermanfaat
dari seorang ulama masa kini yang diakui kepakarannya oleh dunia islam, semoga
Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan ampunan-Nya pada beliau.
Menanggapi hadis tentang Tsuwaibah
ini, al-Hafizh Syamsuddin ad-Dimasyqi menggubah sebuah syair:
Jika ia seorang kafir
yang datang celaan padanya
Kedua tangannya celaka
di neraka selamanya
Namun pada hari Senin
siksanya akan diringankan
Hanya karena kegembiraannya
atas kedatangan Ahmad
Maka apa perkiraanmu
tentang hamba yang sepanjang umurnya
Kepada Ahmad selalu
bergembira dan meninggal dalam ketauhidan?[1]
Imam Ibnu Taimiyah rupanya tidak
melewatkan pandangannya untuk menanggapi permasalahan Maulid ini, dalam hal ini
beliau berkata:
“Mengagungkan Maulid dan
menjadikannya sebagai tradisi tidak jarang dilakukan oleh sebahagian orang, dan
ia memeroleh pahala yang sangat besar karena tujuannya yang baik serta sikapnya
yang mengagungkan Rasulullah SAW. sebagaimana telah aku jelaskan sebelumnya.”[2]
Dari
pendapat di atas yang memuat sebahagian kecil pendapat para ulama, penulis
memandang tradisi memperingati Maulid Nabi adalah dianjurkan karena sesuai
dengan sikap mayoritas umat dan ulama. Adapun bentuknya adalah dengan berbagai
kegiatan-kegiatan positif (sesuai prinsip-prinsip agama kita yang suci).
Disarikan dari Tulisan Yayan Bunyamin (Tokoh Muda NU Tasikmalaya)
[1]
Jalâl al-Dîn al-Suyûṭi, Husn al-Maqshad…h. 66.
[2]
Ibnu Taimiya, Iqtidhâu al-Shirâth al-Mustaqîm (Beirut:
Dâr al-Ma’rifah, t.t) h. 297.
0 Response to "Argumen Valid Perayaan Maulid Nabi (Bagian 3)"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR