-->

Argumen Valid Perayaan Maulid Nabi (Bagian 3)

Ilustrasi, Faquha.site

Ciputat, Faquha.site - Banyak para ulama yang menjadikan kisah dimerdekakannya Tsuwaibah oleh Abu Lahab sebagai salah satu alasan untuk bergembira akan kelahiran baginda Nabi. Uraian yang cukup menarik disampaikan oleh al-Syeikh Muhammad bin ‘Alawi al-Mâliki al-Hasanî dalam kitab Haul al-Ihtifâl bi Dzikrî al-Maulid al-Nabawi al-Karîm halaman 72-82, berikut ini saya cantumkan terjemah lengkapnya:
“Dalam beberapa buku hadis dan sirah (biografi), para ulama banyak menyebutkan kisah tentang sikap Abu Lahab yang memerdekakan budak perempuannya bernama Tsuwaibah ketika ia memberitahukan kepada tuannya itu tentang kelahiran Rasululah SAW., dan bahwasannya al-Abbas bin Abdu al-Muthalib bermimpi melihat Abu Lahab setelah kematiannya seraya menanyakan kondisinya. Lalu Abu Lahab menjawab, “Aku tidak mendapatkan kenikmatan sedikit pun setelah kematianku. Hanya saja dapat minum dengan ini karena aku memerdekakan Tsuwaibah, dan bahwasannya minuman itu memberikan keringanan siksa kepadaku setiap hari Senin.”
Saya katakan, “Hadis ini diriwayatkan dan dikutip beberapa pakar hadis dan penulis biografi seperti Imam Abdurrazzaq Ash-Shan’ani, Imama al-Bukhari, al-Hâfizh Ibnu Hajar, al-Hâfizh Ibnu Katsir, al-Hâfizh  al- Baihaqi, Ibnu Hisyam, al-Suhaili, al-Hâfizh Al-Baghawi, Ibnu Ad-Diba’, al-Asykhar, dan al-Amiri. Maslah ini akan kami jelaskan secara terperinci dengan izin Allah.
                        Imam Abdurrazaq al-Shan’ani telah meriwayatkan dalam al-Mushannaf-nya, 5/478.
            Imam al-Bukhari  meriwayatkan dalm Shahîh-nya dengan sanad yang sampai kepada Urwah bin al-Zubair, mursal, dalam Kitab: al-Nikah, Bab: “Ibu-ibumu yang menyusui kamu.”
Ibnu Hajar meriwayatkan dalam al-Fath, dan ia mengatakan, “Hadis ini diriwayatkan al-Ismâ’ili melalui al-Dzahli dari Abu al-Yaman. Dan Abduarrazaq meriwayatkan dari Mu’ammar dan ia mengatakan, “Hadis ini memberikan penjelasan bahwa bisa jadi orang kafir mendapat manfaat dari amal saleh yang dikerjakannya di akhirat. Akan tetapi hal ini tentulah bertentangan dengan pernyataan al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang disebutakan dalam firman Allah:

 “Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan. (Al-Furqan: 23)
Kontradiksi ini bisa dijawab dengan pertama: Riwayat ini adalah mursal yang dinisbatkan kepada Urwah bin al-Zubair saja dan tidak ada perawi lain sesudahnya yang memberitahukan kepadanya. Kalaulah hadis ini maushul, maka dalam riwayat tersebut hanya berupa mimpi, sehingga tidak dapat diragukan sebagai dalil. Dan kemungkinan mimpi yang dilihatnya itu tidak benar, sehingga tidak dapat dijadikan dalil.
Kedua: Kalaupun bisa diterima, maka mengandung kemungkinan bahwa apa yang berhubungan dengan Rasulullah SAW. merupakan kekhususan saja. Hal ini dibuktikan dengan kisah Abu Thalib yang telah kami kemukakan sebelumnya, yang menyatakan bahwa ia mendapatkan keringanan siksa dan hukuman, dimana ia dipindahkan dari al-Gamarat (kepedihan) menuju al-Dhahdhah (kelap-kelip/ siksa yang lebih ringan) 
Al-Baihaqi mengatakan, “Hadis ini menunjukan gugurnya amal kebaikan orang-orang kafir. Artinya, mereka tidak dapat melepaskan diri dari neraka tersebut dan tidak pula dapat masuk surga. Akan tetapi boleh jadi mereka dapat merasakan keringanan siksaan yang harus mereka jalani karena berbagai kemaksiatan dan kejahatan yang mereka perbuat selain kekufuran karena  perbuatan baik yang mereka kerjakan”.
Adapun al-Qadhi Iyad, maka ia mengatakan, “Ijma’ menunjukan bahwa orang-orang kafir tidak dapat menikmati  amal dan perbuatan baik yang mereka kerjakan dan mereka juga tidak berhak mendapatkan pahala dengan satu kenikmatanpun dan tidak pula keringanan siksa meskipun siksaan yang satu bisa jadi lebih ringan dari pada siksaan yang lain.”
Saya katakan, “Hal ini tidak menapikan kemungkinan sebagaimana yang dikemukakan al-Biahaqi. Sebab semua itu berhubungan dengan dosa kekufuran. Adapun dosa selain kekufuran, maka adakah yang melarang atau menghalangi adanya keringanan hukuman dan siksaan?”
Al-Qurthubi mengatakan, “Keringanan ini khusus berhubungan dengan hal ini dan orang yang disebutkan dalam teks tersebut.”
Ibnu al-Munir dalam al-Hasyiyah mengatakan, “Disana terdapat dua permasalahan penting: salah satunya tidak mungkin, yaitu menganggap adanya ketaatan orang kafir bersamaan dengan kekufurannya (ketika masih kufur) sebab syarat seseorang dikatakan sebagai orang yang taat adalah adanya niat dan tujuan yang baik. Unsur ini tidak dimiliki orang kafir. Kedua: memberikan pahala kepada orang kafir atas sebagian amal dan perbuatan yang dilakukannya sebagai karunia Allah SWT. Hal ini tentulah tidak mustahil menurut orang yang berakal. Jika kenyataannya memang demikian, maka sikap Abu Lahab yang memerdekakan budak perempuannya bernama Tsuwaibah merupakan pendekatan yang diperhitungkan, dan Allah SWT. berkehendak untuk melimpahkan karunina-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sebagaimana halnya Allah melimpahkan karunia-Nya kepada Abu Thâlib” saya katakan, “Konsekuensinya, karunia yang disebutkan ini merupakan penghormatan terhadap kebaikan yang dilakukan orang kafir, dan sejenisnya. Wallahu A’lam.” (Fath al-Bari: 9/145)
Adapun al-Hâfizh Ibnu Katsîr, maka ia meriwayatkannya dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Dalam bukunya tersebut, Ibnu Katsîr memberikan komentarnya, “Sebab ketika Tsuwaibah memberitahukan kabar gembira kepada Abu Lahab tentang kelahiran keponakannya Muhammad bin Abdullah, maka saat itu juga sang paman segera memerdekakan budaknya itu. Dengan sikap dan penghormatannya ini, maka ia berhak mendapatkan balasan setimpal.” (Lihat as-Sirah an-Nabawiyyah, karya Ibnu Katsir, 1/224)
Sedangkan al-Hâfizh Abdurrahman bin al-Diba’ al-Syaibani, penulis Taisir al-Wushûl, maka ia meriwayatkannya dalam kitab Sirah-nya, seraya memberikan komentar terhadapnya, “Aku katakan, “Keringanan siksaan yang diberikan kepadanya (Abu Lahab) hanyalah sebagai bentuk penghormatan terhadap Rasulullah SAW. sebagaimana Allah SWT. meringankan siksaan dari Abu Thâlib bukan karena pemerdekaan yang dilakukannya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah,

“Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (Hud: 16)” (Dikutip dari Hadâ’iq Al-Anwâr fî al-Sirah, 1/134)
Adapun al-Hâfizh al-Baghawi, maka ia meriwayatkannya dalam Syarh as-Sunnah, 9/76.
Sedangkan Imam al-Amiri maka ia meriwayatkannya dalam Bahjah al-Mahâfil (Keceriaan Berbagai Perayaan) al-Asyhar yang mengomentari buku tersebut mengatakan, “Ada yang mengatakan bahwa ini berhubungan khusus dengan Rasulullah SAW. sebagai penghormatan kepada beliau. Sebagaimana Allah SWT. meringankan siksaan kepada Abu Thâlib karenanya. Dan ada pula yang mengatakan bahwa tidak ada larangan apapun untuk meringankan siksaan setiap orang kafir yang melakukan kebaikan.” Syarah al-Bahjah, 1/41.
Adapun al-Suhaili, maka ia meriwayatkan dalam al-Raudh al-Anf fî Syarah al-Sirah An-Nabawiyah, karya Ibnu Hisyam. Setelah mengutip riwayat tersebut, ia mengatakan. “Amal kebaikan tersebut bermanfaat baginya ketika didalam neraka. Sebagimana saudaranya Abu Thalib yang mendapatkan manfaat dari kebaikan terhadap Rasulullah SAW. sehingga Abu Thalib menjadi orang yang paling ringan merasakan pedihnya siksaan api neraka.
Dalam bab atau pembahasan Abu Thalib telah disebutkan bahwa manfaat ini sifatnya hanya pengurangan siksaan. Jika tidak demikian, maka semua amal dan kebaikan orang kafir lenyap tanpa perdebatan. Artinya, amal kebaikan tersebut tidak memiliki bobot sama sekali dalam timbangannya di akhirat kelak dan tidak membuatnya masuk surga.” al-Raudh al-Anf, 5/192.
Kesimpulan Akhir Pembahasan
Kesimpulannya: kisah ini sudah populer dalam buku-buku hadis dan biografi, yang dikutif para huffazh yang terpercaya dan terkemuka. Untuk menyatakan ketsiqqahannya (kesahihannya), kisah tersebut dikutip al-Bukhari dalam Shahîh-nya yang terkenal dengan kepakaran dan kredibilitasnya dalam bidang hadis. Sanadnya shahîh dan tidak perlu diperdebatkan kembali.
Bahkan hadis-hadis mua’llaq dan mursal tidak lepas dari maqbul (diterima) dan tidak sampai mardud (ditolak). Hal ini tentunya telah diketahui  para ulama yang berkecimpung dalam bidang hadis dan mushthalah hadis, dimana mereka adalah orang-orang yang mengenal pengertian mua’llaq dan mursal dan hukum penggunaan kedua jenis hadis tersebut jika disebutkan dalam al-Shahîh.
Jika anda ingin melihat lebih mendetail tentang masalah ini, maka lihatlah buku-buku tentang mushthalah hadis seperti Alfiah al-Hadits, karya imam al-Suyûṭi dan al-Irâqi dan syarahnya, dan Taddrib ar-Rawi. Mereka ini banyak mengetengahkan permasalahan-permasalahan ini dan menjelaskan sejauh mana kedudukan hadis mua’llaq dan hadis mursal dalam bidang hukum, dan keduannya bisa diterima.
Adapun pendapat orang yang mengatakan, “Bahwasannya riwayat ini bertolak belakang dengan firman Allah,

 “Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqan: 23).
Maka ini merupakan pendapat yang tertolak oleh pendapat para ulama sebagaimana yang telah kami kemukakan sebelumya.
Penjelasannya dalam pembahasan ini adalah bahwasannya ayat ini menunjukan bahwa semua amal perbuatan orang-orang kafir tidak dilihat sama sekali dan tidak menunjukan bahwa mereka mendaptkan siksa yang sama, dan bahwasannya sebagian mereka tidak memperoleh keringanan hukum. Hal ini sebagaimana yang ditetapkan para ulama.
Begitu juga dengan ijma’ yang dikemukakan Iyadh. Ijma’ tersebut berlaku atau berhubungan dengan orang-orang kafir secara umum, dan tidak menunjukan bahwa Allah SWT. tidak meringankan siksa sebagian dari mereka karena amal kebaikan yang mereka lakukan. Karena itulah Allah SWT. menciptakan neraka Jahannam secara berlapis-lapis dan orang-orang munafik menempati lapisan paling bawah.
Disamping itu, ijma’ tersebut kontradiksi dengan teks yang shahîh. Dan kita semua mengetahui bahwa ijma’ tidak bisa dibangun apabila kontradiksi dengan teks.
Sebab dalam al-Shahîh disebutkan bahwasannya Rasulullah SAW. pernah ditanya seseorang, “Apakah pembelaan dan perlindungan Abu Thâlib terhadapmu manfaat baginya?” Beliau menjawab, “Aku mendapatinya di neraka yang mengerikan dan penuh kesusahan, kemudian aku mengeluarkannya ke dalam neraka yangg lebih ringan.” (al-Hadis)
Inilah Abu Thâlib yang mendapatkan manfaat dari upaya perlindungan dan pembelaan terhadap Rasulullah SAW., dimana Rasululllah SAW. mengeluarkanya dari neraka yang mengerikan ke dalam neraka yang lebih ringan siksaannya.
Dengan demikian, maka keringanan siksaan yang diterima Abu Lahab juga termasuk dalam bab ini dan tidak perlu diingkari. Hadis di atas juga menunjukan ayat di atas mengemukakan tentang orang yang tidak mengerjakan amal kebaikan yang dapat meringankan siksaan. Begitu juga dengan ijma’.
Dalam hadis yang mengisahkan tentang Abu Thâlib di atas terdapat petunjuk yang menyatakan bahwa Rasulullah mulai sekarang dan sebelum hari kiamat tiba mengetahui urusan-urusan akhirat dan memberikan syafa’at kepada orang yang bergantung kepadanya dan mau membelanya.
Adapun pendapat orang yang mengatakan bahwa riwayat ini hanyalah mimpi belaka dan tidak dapat dijadikan sebagai pijakan hukum, maka orang yang mangatakan demikian ini –semoga Allah menunjukan jalan kebenaran kepadanya- tidak dapat membedakan antara hukum-hukum syari’at dan  yang lainnya.
Adapun mengenai hukum-hukum syari’at, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan pakar fikih: Apakah boleh mengambil hukum dan mengukur keshahîhan suatu informasi dengn mimpi melihat Rasulullah SAW. atau tidak?
Sedangkan yang lain, maka mendasarkan keputusan hukum pada mimpi dalam masalah ini tidak ada masalah sama sekali, sebab para huffazh telah menjadikannya sebagai sandaran hukum dan mereka menyebutkan mimpi masyarakat jahiliyyah sebelum kenabian Muhammad SAW., yang kedatangannya telah diumumkan, dan bahwasannya beliau akan menghancurkan kemusrikan dan berbagai kerusakan dan penyimpangan. Buku-buku hadis penuh dengan hal ini. yang paling utama adalah Dalâil al-Nubuwwah (bukti-bukti kenabian) dan mereka menganggapnya sebagai Irhâshât (kejadian-kejadian luar biasa sebelum kenabian) yang boleh saja menggunakannya sebagai dalil dalam mimpi. Kalaulah tidak demikian, maka tentulah mereka tidak menyebutkannya. Ucapan seseorang mengenai mimpi al-Abbas, ”Bahwasannya mimpi tersebut tidak dapat dijadiakn sebagai hujah dan tidak dapat digunakan mengambil keputusan hukum, serta tidak bisa dianggap sebagi informasi”, merupakan pendapat yang menyimpang dari apa yang dilakukan tokoh-tokoh huffazh dan yang lain, dan yang dimaksud ini adalah untuk intimidasi orang yang meneliti tentang kebenaran, dan tidaklah demikian.
Adapun orang yang mengatakan bahwa orang yang bermimpi dan yang menginformasikannya adalah al-Abbas ketika masih dalam kekufuran, maka kita tahu bahwa kesaksian orang-orang kafir tidak sah dan informasi yang mereka sampaikan tidak dapat diterima, maka pendapat ini tertolak dan tidak ilmiah sedikitpun.
Ini merupakan pendapat yang keliru karena tidak seorangpun  yang mengatakan bahwa mimpi bagian dari masalah kesaksian. Mimpi hanyalah kabar berita dan tidak yang lain. Sehingga dalam hal ini tidak ada syarat orang tersebut harus orang yang beragama dan berkeimanan. Bahkan dalam al-Qur’an, Allah AWT. menyebutkan bahwa mukjizat nabi Yusuf AS yang mengetahui tabir mimpi raja Mesir yang ketika itu masih menganut paganisme, tidak mengenal agama langit sama sekali. Meskipun demikian, Allah menjadikan mimpinya sebagai tanda-tanda kenabian Yusuf AS dan keutamaannya, dan menyertakannya  dalam kisahnya. Kalaulah hal itu tidak memberikan manfaat apapun, maka tentulah Allah SWT. tidak menyebutkannya dalam al-Qur’an. Sebab mimpi tersebut adalah mimpi dari orang musyrik yang tidak memberikan manfaat apapun baik dalam posisinya sebagai pendukung maupun pengingkaran.
Karena itulah para ulama mengatakan bahwa orang kafir bermimpi melihat Allah, dan hal ini menunjukan peringatan dan celaan terhadapnya, dan juga sindiran.
Yang aneh adalah pendapat seseorang yang menyatakan, “Sesungguhnya al-Abbas bermimpi ketika masih dalam kekufurannya. Sedangkan kita semua mengetahui bahwa kesaksian orang kafir tidak bisa diterima dan informasi yang mereka sampaikan tidak dapat diterima,” maka pendapat ini menunjukan bahwa orang tersebut tidak mengenal ilmu hadis. Sebab dalam mushthalah hadis disebutkan bahwasannya seorang sahabat atau yang lain apabila memunyai hadis ketika masih dalam kekufurannya kemudian mengemukakannya ketika masuk Islam, maka hadis tersebut dapat diterima dan diamalkan.
Lihatlah contoh-contohnya dalam buku-buku mushthalah hadis agar orang yang mengatakan demikian mengetahuinya dengan baik. Yang menjadi persoalan adalah ketika seseorang mengemukakan sebuah hadis atau pendapat yang bertentangan sedangkan ia tidak memahaminya.
Sebenarnya bahwa nafsulah yang membawa orang untuk melakukan counter terhadap sesuatu yang bukan menjadi bidang atau sepesialisasi mereka.” 
            Demikianlah uraian yang bermanfaat dari seorang ulama masa kini yang diakui kepakarannya oleh dunia islam, semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan ampunan-Nya pada beliau.
            Menanggapi hadis tentang Tsuwaibah ini, al-Hafizh Syamsuddin ad-Dimasyqi menggubah sebuah syair:
Jika ia seorang kafir yang datang celaan padanya
Kedua tangannya celaka di neraka selamanya
Namun pada hari Senin siksanya akan diringankan
Hanya karena kegembiraannya atas kedatangan Ahmad
Maka apa perkiraanmu tentang hamba yang sepanjang umurnya
Kepada Ahmad selalu bergembira dan meninggal dalam ketauhidan?[1]
            Imam Ibnu Taimiyah rupanya tidak melewatkan pandangannya untuk menanggapi permasalahan Maulid ini, dalam hal ini beliau berkata:
            “Mengagungkan Maulid dan menjadikannya sebagai tradisi tidak jarang dilakukan oleh sebahagian orang, dan ia memeroleh pahala yang sangat besar karena tujuannya yang baik serta sikapnya yang mengagungkan Rasulullah SAW. sebagaimana telah aku jelaskan sebelumnya.”[2]
Dari pendapat di atas yang memuat sebahagian kecil pendapat para ulama, penulis memandang tradisi memperingati Maulid Nabi adalah dianjurkan karena sesuai dengan sikap mayoritas umat dan ulama. Adapun bentuknya adalah dengan berbagai kegiatan-kegiatan positif (sesuai prinsip-prinsip agama kita yang suci).
Disarikan dari Tulisan Yayan Bunyamin (Tokoh Muda NU Tasikmalaya)





[1] Jalâl al-Dîn al-Suyûṭi, Husn al-Maqshad…h. 66.
[2] Ibnu Taimiya, Iqtidhâu al-Shirâth al-Mustaqîm (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.t) h. 297.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Argumen Valid Perayaan Maulid Nabi (Bagian 3)"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel