-->

Argumen Valid Perayaan Maulid Nabi (Bagian 2)

Ilustrasi, Faquha.site
Ciputat, Faquha.site - Dalam hadis riwayat Imam Muslim terdapat isyarat bahwasannya Rasulullah mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa pada hari senin. Inilah nash yang shahîh dan sharîh (jelas) tentang peringatan maulid Nabi. Inilah bentuk pengagungan dan rasa syukur Rasulullah kepada Allah atas nikmat-Nya yang agung kepada beliau. Berikut hadisnya:
Nabi SAW. pernah ditanya tentang mengapa puasa hari Senin, kemudian beliau menjawab: “Itu adalah hari aku dilahirkan dan hari aku diangkat menjadi nabi…”. (HR. Muslim. No 1162)
Nabi mengungkapkan rasa syukurnya dengan berpuasa. Ini semakna dengan perayaan maulid Nabi dalam bentuk dan cara yang berbeda (selain puasa) yang tidak bertentangan dengan syari’at. Sebab masalah teknis (tatacara) dan bentuk peringatan tersebut adalah perkara ijtihadiyah dan apa yang dikerjakan di dalamnya hendaknya dikembalikan pada asal status hukum pekerjaan tersebut.[1]
Oleh karenanya, perayaan maulid ini tidak terbatas dengan puasa saja, bisa dengan sedekah, dzikir, salawat, mendengarkan sirah dan sifat-sifat Rasulullah ataupun amaliah ibadah yang lainnya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hâfizh Abu al-Fadhl Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, sebagaimana yang dikutip oleh Jalâl al-Dîn al-Suyûṭi:
“Adapun perkara yang dikerjakan di dalamnya (perayaan maulid), hendaklah dibatasi pada sesuatu yang merupakan rasa syukur kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu membaca al-Qur’an, memberikan makanan, sedekah, melantunkan puji-pujian kepada nabi dan kezuhudan yang dapat menggerakkan hati untuk melakukan kebaikan dan beramal untuk akhirat.”[2]
Lebih lanjut al-Hâfizh Abu al-Fadhl Ibnu Hajar al-‘Asqalâni menjelaskan bahwa dalil perayaan maulid Nabi SAW. adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwasannya Nabi SAW. ketika tiba di Madinah, mendapatkan orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, dan ketika ditanya mereka menjawab, “Ini adalah hari dimana Allah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa. Jadi kami berpuasa untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT.”
Al-Hâfizh Abu al-Fadhl Ibnu Hajar al-‘Asqalâni mengatakan,” Dari hadis ini bisa ditarik kesimpulan tentang anjuran bersyukur kepada Allah SWT. atas nikmat yang Dia anugerahkan pada hari tertentu, baik berupa pemberian nikmat maupun penolakan bencana.
Syukuran itu kemudian dilakukan secara berulang-ulang pada hari yang sama pada setiap tahun. Adapun bentuknya bisa bermacam-macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, dan membaca al-Qur’an. Dan nikmat mana yang lebih besar dari pada lahirnya Nabi ini, nabi kasih sayang pada hari itu?”.[3]
Al-Suyûṭi menolak orang yang mengatakan tidak menemukan dalil yang pas dalam al-Qur’an dan hadis untuk perayaan maulid Nabi ini dengan mengatakan, “Tidak menemukan bukan berarti tidak ada”, dengan alasan bahwa Ibnu Hajar menemukan dalilnya dalam sunnah, dan al-Suyûṭi sendiri menemukan dalil lain dari sunnah. Dalam hal ini al-Suyûṭi mengatakan:
“Dan sungguh sangat jelas bagiku apa yang diriwayatkan dari sumber yang berbeda (dengan Ibnu Hajar) yaitu apa yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari Anas bahwa Nabi SAW. mengaqiqahkan dirinya sendiri sesudah masa kenabian, padahal kakeknya (Abdu al-Muthâlib) telah mengaqiqahkan Nabi pada usia tujuh hari dari kelahirannya. Adapun aqiqah tidak ada pengulangannya dua kali, maka dari itu apa yang dilakukan Nabi menerangkan rasa syukur beliau karena Allah telah menjadikannya sebagai rahmat bagi semesta alam, dan sebagai landasan bagi umatnya. Maka dari itu, boleh dan layak (mustahab) bagi kita untuk menanamkan rasa syukur atas kelahiran Nabi dengan mengumpulkan kaum muslimin, menyajikan makanan atau semacamnya sebagai perwujudan mendekatkan (qurbah) kepada Allah dan menunjukan kegembiraan atas kelahiran beliau”.[4]

Di samping pendapat Ibnu Hajar, al-Suyûṭi juga mengutip pendapat banyak ulama (yang diakui keluasan ilmunya) semisal: Ibnu al-Hajj yang telah panjang lebar membahas dalil-dalil shahîh tentang perayaan Maulid dalam kitabnya al-Madkhal, Syamsuddîn ibn al-Juzuri (penulis kitab ‘Arfu al-Ta’rîf bi Maulid al-Syarîf), al-Hâfizh Syamsuddîn al-Dimasyqi (penulis kitab Maurid al-Shâdi fî Maulid al-Hâdi), silahkan merujuk pada kitab-kitab tersebut untuk mendapat pemahaman yang lebih mendalam.
Betapa jelasnya perayaan Maulid, selain berpuasa hari Senin, Rasulullah juga mengungkapkan rasa syukur atas dilahirkannya ke dunia ini sebagai rahmatan lil’âlamîn dengan beraqiqah yang kedua kalinya (sedekah). Sudah selayaknya kita sebagai umatnya turut bersyukur bersama saudara-saudara kita agar tercipta ukhuwah islamiyah yang benar-benar kuat.
Disarikan dari Tulisan Yayan Bunyamin S.Th.I (Tokoh NU Muda Tasikmalaya)





[1] Muhammad bin ‘Alawi al-Mâliki al-Hasanî, Haul al-Ihtifâl bi Dzikrî al-Maulid al-Nabawi al-Karîm (Beirut: al-Maktabah al-‘Aşriyah, 2010) h. 21.
[2] Jalâl al-Dîn al-Suyûṭi, Husn al-Maqshad fî ‘Amal al-Maulid (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1985) h. 63.
[3] Jalâl al-Dîn al-Suyûṭi, Husn al-Maqshad…h. 63.
[4] Jalâl al-Dîn al-Suyûṭi, Husn al-Maqshad…h. 64-65.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Argumen Valid Perayaan Maulid Nabi (Bagian 2)"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel