Argumen Valid Perayaan Maulid Nabi (Bagian 2)
May 25, 2015
Add Comment
Ilustrasi, Faquha.site |
Ciputat, Faquha.site - Dalam hadis riwayat Imam Muslim terdapat isyarat
bahwasannya Rasulullah mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa pada hari
senin. Inilah nash yang shahîh dan sharîh (jelas) tentang peringatan maulid
Nabi. Inilah bentuk pengagungan dan rasa syukur Rasulullah kepada Allah atas
nikmat-Nya yang agung kepada beliau. Berikut hadisnya:
“Nabi SAW. pernah ditanya tentang
mengapa puasa hari Senin, kemudian beliau menjawab: “Itu adalah hari aku
dilahirkan dan hari aku diangkat menjadi nabi…”. (HR. Muslim. No 1162)
Nabi mengungkapkan rasa syukurnya dengan
berpuasa. Ini semakna dengan perayaan maulid Nabi dalam bentuk dan cara yang
berbeda (selain puasa) yang tidak bertentangan dengan syari’at. Sebab masalah
teknis (tatacara) dan bentuk peringatan tersebut adalah perkara ijtihadiyah dan apa yang dikerjakan di
dalamnya hendaknya dikembalikan pada asal status hukum pekerjaan tersebut.[1]
Oleh karenanya, perayaan maulid ini tidak terbatas dengan
puasa saja, bisa dengan sedekah, dzikir, salawat, mendengarkan sirah dan
sifat-sifat Rasulullah ataupun amaliah ibadah yang lainnya. Hal ini sebagaimana
yang dikatakan oleh al-Hâfizh Abu al-Fadhl Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, sebagaimana
yang dikutip oleh Jalâl al-Dîn al-Suyûṭi:
“Adapun perkara yang
dikerjakan di dalamnya (perayaan maulid), hendaklah dibatasi pada sesuatu yang
merupakan rasa syukur kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu
membaca al-Qur’an, memberikan makanan, sedekah, melantunkan puji-pujian kepada
nabi dan kezuhudan yang dapat menggerakkan hati untuk melakukan kebaikan dan
beramal untuk akhirat.”[2]
Lebih lanjut al-Hâfizh Abu al-Fadhl Ibnu Hajar
al-‘Asqalâni menjelaskan bahwa dalil perayaan maulid Nabi SAW. adalah hadis
shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwasannya Nabi SAW.
ketika tiba di Madinah, mendapatkan orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura,
dan ketika ditanya mereka menjawab, “Ini adalah hari dimana Allah
menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa. Jadi kami berpuasa untuk
mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT.”
Al-Hâfizh Abu al-Fadhl Ibnu Hajar al-‘Asqalâni
mengatakan,” Dari hadis ini bisa ditarik kesimpulan tentang anjuran bersyukur
kepada Allah SWT. atas nikmat yang Dia anugerahkan pada hari tertentu, baik
berupa pemberian nikmat maupun penolakan bencana.
Syukuran itu
kemudian dilakukan secara berulang-ulang pada hari yang sama pada setiap tahun.
Adapun bentuknya bisa bermacam-macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, dan
membaca al-Qur’an. Dan nikmat mana yang lebih besar dari pada lahirnya Nabi
ini, nabi kasih sayang pada hari itu?”.[3]
Al-Suyûṭi menolak orang yang mengatakan tidak menemukan
dalil yang pas dalam al-Qur’an dan hadis untuk perayaan maulid Nabi ini dengan
mengatakan, “Tidak menemukan bukan berarti tidak ada”, dengan alasan bahwa Ibnu
Hajar menemukan dalilnya dalam sunnah, dan al-Suyûṭi sendiri menemukan dalil
lain dari sunnah. Dalam hal ini al-Suyûṭi mengatakan:
“Dan sungguh sangat jelas
bagiku apa yang diriwayatkan dari sumber yang berbeda (dengan Ibnu Hajar) yaitu
apa yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari Anas bahwa Nabi SAW. mengaqiqahkan
dirinya sendiri sesudah masa kenabian, padahal kakeknya (Abdu al-Muthâlib)
telah mengaqiqahkan Nabi pada usia tujuh hari dari kelahirannya. Adapun aqiqah
tidak ada pengulangannya dua kali, maka dari itu apa yang dilakukan Nabi
menerangkan rasa syukur beliau karena Allah telah menjadikannya sebagai rahmat
bagi semesta alam, dan sebagai landasan bagi umatnya. Maka dari itu, boleh dan
layak (mustahab) bagi kita untuk menanamkan rasa syukur atas kelahiran Nabi
dengan mengumpulkan kaum muslimin, menyajikan makanan atau semacamnya sebagai
perwujudan mendekatkan (qurbah) kepada Allah dan menunjukan kegembiraan atas
kelahiran beliau”.[4]
Di samping pendapat Ibnu Hajar, al-Suyûṭi juga mengutip
pendapat banyak ulama (yang diakui keluasan ilmunya) semisal: Ibnu al-Hajj yang
telah panjang lebar membahas dalil-dalil shahîh tentang perayaan Maulid dalam
kitabnya al-Madkhal, Syamsuddîn ibn
al-Juzuri (penulis kitab ‘Arfu al-Ta’rîf
bi Maulid al-Syarîf), al-Hâfizh Syamsuddîn al-Dimasyqi (penulis kitab Maurid al-Shâdi fî Maulid al-Hâdi),
silahkan merujuk pada kitab-kitab tersebut untuk mendapat pemahaman yang lebih
mendalam.
Betapa jelasnya perayaan Maulid, selain berpuasa hari
Senin, Rasulullah juga mengungkapkan rasa syukur atas dilahirkannya ke dunia
ini sebagai rahmatan lil’âlamîn dengan
beraqiqah yang kedua kalinya (sedekah). Sudah selayaknya kita
sebagai umatnya turut bersyukur bersama saudara-saudara kita agar tercipta
ukhuwah islamiyah yang benar-benar kuat.
Disarikan dari Tulisan Yayan Bunyamin S.Th.I (Tokoh NU
Muda Tasikmalaya)
[1]
Muhammad bin ‘Alawi
al-Mâliki al-Hasanî, Haul al-Ihtifâl bi
Dzikrî al-Maulid al-Nabawi al-Karîm (Beirut: al-Maktabah al-‘Aşriyah, 2010)
h. 21.
[2]
Jalâl al-Dîn al-Suyûṭi, Husn al-Maqshad fî ‘Amal al-Maulid (Beirut:
Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1985) h. 63.
[3]
Jalâl al-Dîn al-Suyûṭi, Husn al-Maqshad…h. 63.
[4]
Jalâl al-Dîn al-Suyûṭi, Husn al-Maqshad…h. 64-65.
0 Response to "Argumen Valid Perayaan Maulid Nabi (Bagian 2)"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR