Biografi Ibn Khaldun, Sosiolog Muslim Terbesar Pada Zamannya
April 3, 2015
Add Comment
Patung Ibn Khaldun di Tunisia |
Faquha.com – Adalah Ibnu Khaldun, dengan nama lengkap
Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun al-Hadrami al-Ishbili, seorang
sosiolog besar muslim yang lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 Hijriyah
bertepatan dengan 27 Mei 1332 Masehi. Nenek moyangnya berasal dari
Hadramaut, Yaman, yang bermigrasi ke Seville, setelah semenanjung di Spanyol
itu ditaklukan Islam pada abad ke-8 Masehi.
Ibnu Khaldun hidup pada masa peradaban Islam berada di
ambang degradasi dan disintegrasi. Kala itu, Khalifah Abbasiyah di ambang
keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan wilayah
di sekitarnya oleh bangsa Mongol pada 1258 atau sekitar 75 tahun sebelum
kelahiran Ibnu Khaldun.
Guru pertama Ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Sejak
kecil, ia sudah menghafal Alquran dan menguasai tajwid. Selain itu, dia juga
menimba ilmu agama, fisika, hingga matematika dari sejumlah ulama Andalusia
yang hijrah ke Tunisia. Ia selalu mendapatkan nilai yang memuaskan dalam semua
bidang studi.
Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya “Ibn Khaldun dalam
Pandangan Penulis Barat dan Timur”, di usia yang relatif muda, Ibnu Khaldun
sudah menguasai berbagai ilmu Islam klasik seperti filsafat, tasawuf, dan
metafisika. Selain itu, Ibnu Khaldun yang menganut Mazhab Maliki juga menguasai
ilmu politik, sejarah, sosiologi, ekonomi serta geografi.
Di usianya yang ke-21, Ibnu Khaldun sudah diangkat menjadi
sekretaris Sultan Al-Fadl dari Dinasti Hafs yang berkedudukan di Tunisia. Dua
tahun kemudian, dia berhenti karena penguasa yang didukungnya itu kalah dalam
sebuah pertempuran. Ia lalu hijrah ke Baskarah, sebuah kota di Maghrib Tengah
(Aljazair). Di sini, Ibnu Khaldun diangkat menjadi anggota majelis ilmu
pengetahuan dan sekretaris Sultan Abu Anam, yang saat itu menjadi penguasa
Baskarah.
Setelah malang melintang di dunia politik dan
jabatan-jabatan strategis di lingkungan istana, Ibnu Khaldun balik lagi ke
Tilmisan. Meski telah dikhianati, namun Abu Hammu menerima kehadiran Ibnu
Khaldun. Sejak saat itulah, Ibnu Khaldun memutuskan untuk tak berpolitik
praktis lagi. Ibnu Khaldun lalu menyepi di Qa’lat Ibnu Salamah dan menetap di
tempat itu sampai tahun 780 Hijriyah.
Menulis al-Muqaddimah
Dalam masa menyepinya itulah, Ibnu Khaldun mengarang sejumlah kitab yang monumental. Di awali dengan menulis kitab al-Muqaddimah yang mengupas masalah-masalah sosial manusia, Ibnu Khaldun juga menulis kitab al-‘Ibar (Sejarah Umum). Pada 780 Hijriyah, Ibnu Khaldun sempat kembali ke Tunisia. Di tanah kelahirannya itu, ia sempat merevisi kitab al-’Ibar.
Selama masa kontemplasi itu pula Ibnu Khaldun berhasil
merampungkan al-Muqaddimah, karya monumental yang hingga kini masih tetap
dibahas dan diperbincangkan. “Dalam pengunduran diri inilah saya merampungkan
Al-Muqaddimah, sebuah karya yang seluruhnya orisinal dalam perencanaannya dan
saya ramu dari hasil penelitian luas yang terbaik,” ungkap Ibnu Khaldun dalam
biografinya yang berjudul al-Ta’rif bi Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa
Sharqan.
Buah pikir Ibnu Khaldun itu begitu memukau, sehingga Arnold
J Toynbee, seorang ahli sejarah Inggris, menganggap al-Muqaddimah sebagai karya
terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah. Satu tesis Ibnu Khaldun dalam
al-Muqaddimah yang sering dikutip adalah “Manusia bukanlah produk nenek
moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial.”
Secara garis besar, Tarif Khalidi dalam bukunya Classical
Arab Islam membagi Al-Muqaddimah menjadi tiga bagian utama: Pertama,
membicarakan histografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan
Arab-Muslim; Kedua, al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur, yang bagi Ibnu
Khaldun merupakan dasar bagi pemahaman sejarah, dan; Ketiga, mengupas
lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai abad
ke-14.
Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang
berjudul al-‘Ibar, kenyataannya al-Muqaddimah lebih termasyhur. Pasalnya,
seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat
dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibnu Khaldun diantara menyatakan bahwa kajian
sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis.
Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia
politik pada masanya, Ibnu Khaldun mampu menulis al-Muqaddimah dengan jernih.
Dalam kitabnya itu, Ibnu Khaldun juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum
kemasyarakatan dan perubahan sosial. “Di tangan Ibnu Khaldun, sejarah menjadi
sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-dongeng,” papar Syafii
Ma’arif.
Dalam metodeloginya, Ibnu Khaldun mengutamakan data empirik,
verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya
merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. “Ibnu
Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial,”
papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon.
Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History,
lewat al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan
jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Satu
prinsip yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai ilmu
kemasyarakatan antara lain
“masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk sosial berubah dan berkembang.”
Karena itu, tidak mengherankan kalau sederet pemikir Barat
terkemuka lainnya, seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold
J Toynbee, Ernest Gellner, Franz Rosenthal, dan Arthur Laffer mengagumi
pemikiran Ibnu Khaldun. Tak heran, pemikir Arab, NJ Dawood menjulukinya sebagai
negarawan, ahli hukum, sejarawan dan sekaligus sarjana.
Hijarah ke Mesir
Setelah empat tahun kemudian, ia hijrah ke Iskandaria (Mesir) untuk menghindari kekisruhan politik di Maghrib. Di Kairo, Ibnu Khaldun disambut para ulama dan penduduk. Ia lalu membentuk halaqah di Al-Azhar. Ia didaulat raja menjadi dosen ilmu Fikih Mazhab Maliki di Madrasah Qamhiyah. Tak lama kemudian, dia diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan.
Ibnu Khaldun sempat mengundurkan diri dari pengadilan
kerajaan, lantaran keluarganya mengalami kecelakaan. Raja lalu mengangkatnya
lagi menjadi dosen di sejumlah madrasah. Setelah menunaikan ibadah haji, ia
kembali menjadi ketua pengadilan dan kembali mengundurkan diri. Pada 803
Hijriyah, dia bersama pasukan Sultan Faraj Barquq pergi ke Damaskus untuk
mengusir Timur Lenk, penguasa Mongol.
Berkat diplomasinya yang luar biasa, Ibnu Khaldun malah bisa
bertemu Timur Lenk yang dikenal sebagai penakluk yang disegani. Dia banyak
berdiskusi dengan Timur. Ibnu Khaldun, akhirnya kembali ke Kairo dan kembali
ditunjuk menjadi ketua pengadilan kerajaan. Ia tutup usia pada 25 Ramadhan 808
Hijriyah yang bertepatan 16 Maret 1406 di Kairo, Mesir.
Meski Ibnu Khaldun telah berpulang enam abad yang lalu,
pemikiran dan karya-karyanya masih tetap dikaji, dipelajari dan digunakan
hingga sekarang. Sebagai seorang pemikir hebat dan serba bisa sepanjang masa,
buah pikirnya amat berpengaruh pada semua bidang ilmu, terutama dalam bidang
ekonomi dan sosiologi. Jadi, tidak heran kalau dunia kemudian mendaulatnya
sebagai Bapak Ekonomi dan Sosiologi Islam.(Tribunnews)
0 Response to "Biografi Ibn Khaldun, Sosiolog Muslim Terbesar Pada Zamannya"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR