-->

Biografi Ibn Khaldun, Sosiolog Muslim Terbesar Pada Zamannya

Patung Ibn Khaldun di Tunisia
Faquha.com – Adalah Ibnu Khaldun, dengan nama lengkap Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun al-Hadrami al-Ishbili, seorang sosiolog besar muslim yang lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 Hijriyah bertepatan dengan 27 Mei 1332 Masehi. Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut, Yaman, yang bermigrasi ke Seville, setelah semenanjung di Spanyol itu ditaklukan Islam pada abad ke-8 Masehi.

Ibnu Khaldun hidup pada masa peradaban Islam berada di ambang degradasi dan disintegrasi. Kala itu, Khalifah Abbasiyah di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan wilayah di sekitarnya oleh bangsa Mongol pada 1258 atau sekitar 75 tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun.

Guru pertama Ibnu Khaldun adalah ayahnya sendiri. Sejak kecil, ia sudah menghafal Alquran dan menguasai tajwid. Selain itu, dia juga menimba ilmu agama, fisika, hingga matematika dari sejumlah ulama Andalusia yang hijrah ke Tunisia. Ia selalu mendapatkan nilai yang memuaskan dalam semua bidang studi.

Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya “Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur”, di usia yang relatif muda, Ibnu Khaldun sudah menguasai berbagai ilmu Islam klasik seperti filsafat, tasawuf, dan metafisika. Selain itu, Ibnu Khaldun yang menganut Mazhab Maliki juga menguasai ilmu politik, sejarah, sosiologi, ekonomi serta geografi.

Di usianya yang ke-21, Ibnu Khaldun sudah diangkat menjadi sekretaris Sultan Al-Fadl dari Dinasti Hafs yang berkedudukan di Tunisia. Dua tahun kemudian, dia berhenti karena penguasa yang didukungnya itu kalah dalam sebuah pertempuran. Ia lalu hijrah ke Baskarah, sebuah kota di Maghrib Tengah (Aljazair). Di sini, Ibnu Khaldun diangkat menjadi anggota majelis ilmu pengetahuan dan sekretaris Sultan Abu Anam, yang saat itu menjadi penguasa Baskarah.

Setelah malang melintang di dunia politik dan jabatan-jabatan strategis di lingkungan istana, Ibnu Khaldun balik lagi ke Tilmisan. Meski telah dikhianati, namun Abu Hammu menerima kehadiran Ibnu Khaldun. Sejak saat itulah, Ibnu Khaldun memutuskan untuk tak berpolitik praktis lagi. Ibnu Khaldun lalu menyepi di Qa’lat Ibnu Salamah dan menetap di tempat itu sampai tahun 780 Hijriyah.

Menulis al-Muqaddimah

Dalam masa menyepinya itulah, Ibnu Khaldun mengarang sejumlah kitab yang monumental. Di awali dengan menulis kitab al-Muqaddimah yang mengupas masalah-masalah sosial manusia, Ibnu Khaldun juga menulis kitab al-‘Ibar (Sejarah Umum). Pada 780 Hijriyah, Ibnu Khaldun sempat kembali ke Tunisia. Di tanah kelahirannya itu, ia sempat merevisi kitab al-’Ibar.

Selama masa kontemplasi itu pula Ibnu Khaldun berhasil merampungkan al-Muqaddimah, karya monumental yang hingga kini masih tetap dibahas dan diperbincangkan. “Dalam pengunduran diri inilah saya merampungkan Al-Muqaddimah, sebuah karya yang seluruhnya orisinal dalam perencanaannya dan saya ramu dari hasil penelitian luas yang terbaik,” ungkap Ibnu Khaldun dalam biografinya yang berjudul al-Ta’rif bi Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Sharqan.

Buah pikir Ibnu Khaldun itu begitu memukau, sehingga Arnold J Toynbee, seorang ahli sejarah Inggris, menganggap al-Muqaddimah sebagai karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah. Satu tesis Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah yang sering dikutip adalah “Manusia bukanlah produk nenek moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial.”

Secara garis besar, Tarif Khalidi dalam bukunya Classical Arab Islam membagi Al-Muqaddimah menjadi tiga bagian utama: Pertama, membicarakan histografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan Arab-Muslim; Kedua, al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur, yang bagi Ibnu Khaldun merupakan dasar bagi pemahaman sejarah, dan; Ketiga, mengupas lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai abad ke-14.

Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang berjudul al-‘Ibar, kenyataannya al-Muqaddimah lebih termasyhur. Pasalnya, seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibnu Khaldun diantara menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis.

Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia politik pada masanya, Ibnu Khaldun mampu menulis al-Muqaddimah dengan jernih. Dalam kitabnya itu, Ibnu Khaldun juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum kemasyarakatan dan perubahan sosial. “Di tangan Ibnu Khaldun, sejarah menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-dongeng,” papar Syafii Ma’arif.

Dalam metodeloginya, Ibnu Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. “Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial,” papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon.

Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History, lewat al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Satu prinsip yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai ilmu 

kemasyarakatan antara lain “masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk sosial berubah dan berkembang.”
Karena itu, tidak mengherankan kalau sederet pemikir Barat terkemuka lainnya, seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold J Toynbee, Ernest Gellner, Franz Rosenthal, dan Arthur Laffer mengagumi pemikiran Ibnu Khaldun. Tak heran, pemikir Arab, NJ Dawood menjulukinya sebagai negarawan, ahli hukum, sejarawan dan sekaligus sarjana.

Hijarah ke Mesir

Setelah empat tahun kemudian, ia hijrah ke Iskandaria (Mesir) untuk menghindari kekisruhan politik di Maghrib. Di Kairo, Ibnu Khaldun disambut para ulama dan penduduk. Ia lalu membentuk halaqah di Al-Azhar. Ia didaulat raja menjadi dosen ilmu Fikih Mazhab Maliki di Madrasah Qamhiyah. Tak lama kemudian, dia diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan.

Ibnu Khaldun sempat mengundurkan diri dari pengadilan kerajaan, lantaran keluarganya mengalami kecelakaan. Raja lalu mengangkatnya lagi menjadi dosen di sejumlah madrasah. Setelah menunaikan ibadah haji, ia kembali menjadi ketua pengadilan dan kembali mengundurkan diri. Pada 803 Hijriyah, dia bersama pasukan Sultan Faraj Barquq pergi ke Damaskus untuk mengusir Timur Lenk, penguasa Mongol.

Berkat diplomasinya yang luar biasa, Ibnu Khaldun malah bisa bertemu Timur Lenk yang dikenal sebagai penakluk yang disegani. Dia banyak berdiskusi dengan Timur. Ibnu Khaldun, akhirnya kembali ke Kairo dan kembali ditunjuk menjadi ketua pengadilan kerajaan. Ia tutup usia pada 25 Ramadhan 808 Hijriyah yang bertepatan 16 Maret 1406 di Kairo, Mesir.

Meski Ibnu Khaldun telah berpulang enam abad yang lalu, pemikiran dan karya-karyanya masih tetap dikaji, dipelajari dan digunakan hingga sekarang. Sebagai seorang pemikir hebat dan serba bisa sepanjang masa, buah pikirnya amat berpengaruh pada semua bidang ilmu, terutama dalam bidang ekonomi dan sosiologi. Jadi, tidak heran kalau dunia kemudian mendaulatnya sebagai Bapak Ekonomi dan Sosiologi Islam.(Tribunnews)


Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Biografi Ibn Khaldun, Sosiolog Muslim Terbesar Pada Zamannya"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel