Pengertian Khusyu’ dalam Shalat
March 6, 2015
Add Comment
Faquha.com - Kata khusyu’ terambil dari kata khasya’a
( خشع ) yang dari segi bahasa berarti diam dan tenang.
Dia adalah kesan khusus yang terdapat dalam benak seseorang terhadap objek kekhusyu’anya,
sehingga yang bersangkutan mengarah sepenuh hati kepadanya sambil mengabaikan
selainnya (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan,
Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2011, Volume 8, h.
314.)
Dalam ibadah shalat, khusyu’ adalah
kondisi jiwa yang diliputi rasa takut jangan sampai shalatanya tertolak. Hal
itu ditandai dengan mengonsentrasikan jiwanya sambil mengabaikan segala sesuatu
yang tidak berkaitan dengan shalat. Kondisi jiwa semacam ini tidak terjangkau
hakikatnya oleh pandangan lahiriah manusia, sebab ia adalah hubungan langsung
antara hamba dan Tuhannya.
Imam ar-Rāzī menulis: apabila
seseorang sedang melaksanakan shalat, maka terbuakalah tabir antara dia dengan
Tuhan, tapi begitu ia menoleh, tabir itu pun tertutup.
Para ulama fiqih/hukum Islam, tidak
memasukan khusyu’ sebagai salah satu rukun atau syarat sah shalat. Mereka
menyadari bahwa khusyu’ lebih banyak berkaitan dengan qalbu. Sedang mereka pada
dasarnya hanya mengarahkan pandangan pada sisi lahiriah manusia.
Mereka berkata “nahnu nahkumu bizh-zahwâhir wallâhu yatawallâ as-sarâir”
(kami hanya menetapkan hukum berdasarkan yang tampak, dan Allah menangani
hal-hal yang batin). Disinilah ulama
fiqih dan tasawuf terkesan berbeda pendapat. Mayoritas ulama fiqih tidak
mewajibkan hadirnya kehusyu’an dalam shalat — sebab kehadirannya adalah sesuatu
yang tidak dapat dijangkau pandangan lahir — sedangkan ulama tasawuf
mewajibkannya.
Sebenarnya, para ulama fiqih pun
secara tidak langsung telah menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengarah pada
keharusan khusyu’, tetapi dalam bahasa fiqih dan terbatas pada hal-hal yang
bersifat lahiriah. Para fuqaha menekankan perlunya memelihara gerak selain
gerak shalat, sehingga tidak melampaui batas tertentu, misalnya tiga kali gerak
yang besar berturut-turut. Mereka juga menekankan bahwa khusyu’ tergambar pada
sikap antara lain tidak menoleh, menguap atau membunyikan jari-jari tangan,
tidak juga memandang ke atas, tetapi ke depan atau ke tempat sujud.
Sementara ulama berakata bahwa Nabi SAW. sebelum turunya ayat QS. al-Mu’minûn/23:
2, sering mengarahkan pandangan ke langit ketika shalat; dan sejak turunnya
ayat tersebut beliau tidak melakukannya lagi tetapi selalu memandang ke arah
tempat sujud beliau.[1]
Demikian ulama fiqih menetapkan
makna khusyu’ dalam disiplin ilmu mereka. Memang Nabi SAW. menjadikan gerak
anggota badan, selain gerak shalat, sebagi salah satu isyarat lahiriyah dari
ketidakkhusyu’an seseorang dalam shalatnya. Suatu ketika beliau berkomentar
ketika melihat seseorang yang shalat sambil memegang-megang jenggotnya bahwa: ”
seandainya hatinya khusyu’, niscaya tangannya pun khusyu’ (tidak bergerak-gerak).
“(HR. An-Nasa’i dan ibn Majah melaui Abu Said al-Khudri).
Senada dengan hadis ini Imam Ibn ‘Aţâillah
berkata:
مااستودع فى غيب
السرائر ظهرفى شهادت الظواهر
“Apa
yang tersimpan di kedalaman batin, akan tampak pada penampilan lahir”. (Hikmah
ke-28 dalam kitab Al-Hikam).
Dugaan sementara orang bahwa khusyu’
dalam shalat adalah larut dalam rasa dan ingatan kepada Allah SWT. sehingga
tidak mengingat dan merasakan sesuatu selain-Nya. Dalam koteks ini, contoh yang
sering dikemukakan adalah kasus Sayyidina Ali Zainal Abidin, yang diberi gelar
dengan as-Sajjâd, cucu Sayyidina Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra ra.
Dalam riwayat dikemukakan bahwa
as-Sajjâd menderita penyakit dikakinya yang mengharuskan pembedahan. Maka dia
meminta kepada dokter untuk melakukan pembedahan itu pada saat beliau shalat,
karena pada saat itu ingatan dan perasaan beliau terpaku pada kebesaran Allah
SWT., tidak kepada sesuatu selain-Nya. Beliau tidak merasakan sakit pembedahan
itu karena sedang berada dalam puncak kenikmatan mengahadap Allah SWT. Contoh
ini banyak dikemukakan oleh para sufi.
Tetapi ulama fiqih mengetengahkan
beberapa hadis yang menunjukan bawa Nabi SAW sendiri pun ketika melakukan shalat
tidak selalu larut dalam kebesaran Allah SWT. yang menyebabkan beliau tidak
merasakan selain-Nya. Nabi SAW sebagaimana diriwayatkan Bukhari melalui Abu
Qatadah, pernah mempercepat shalatnya ketika mendengar tangisan seorang bayi.
Beliau juga pernah sujud sedemikian lamanya sehingga para sahabat yang
mengikutinya menduga ada perubahan dalam tatacara shalat, tetapi ternyata Nabi
melakukan itu karena cucu beliau sedang menunggang punggung beliau dan beliau
enggan mengangkat kepala sebelum cucunya puas.
Kedua contoh ini, menurut para ulama
fiqh, menunjukan bahwa paling tidak — sekali-kali ketika shalat — Rasul SAW. pun
tidak selalu larut dalam ingatan kepada Allah SWT.
Tingkatan-tingkatan Khusyu’
Khuyu’ yang merupakan upaya
mengahadirkan (mengingat) Allah dalam benak, pada hakikatnya
bertingkat-tingkat. Kewajiban shalat dan khusyu’ yang ditetapkan Allah dapat
diibaratkan dengan kehadiran seseorang pada sebuah pameran lukisan
Banyak yang
diundang hadir untuk menikmati keindahan lukisan tetapi bermacam-macam sikap
yang mereka tunjukan. Ada yang hadir tanpa mengerti sedikit pun tentang
lukisan, dan tidak menikmatinya; ada pula yang tidak mengerti tapi ia berusaha
untuk mempelajari dan bertanya; ada lagi
yang mengerti tentang lukisan dan ia menikmatinya; tetapi ada yang sangat faham
sehingga ia terpukau dan terpaku, tidak menyadari apa yang terjadi di
sekelilingnya, dia tidak mendengar sapaan orang kepadanya, dia benar-benar larut
dalam kenikmatan.
Dalam contoh ini, pengundang akan
menyambut dan bergembira selama yang diundang datang, walaupun ia tidak
memiliki pengetahuan tentang lukisan. Si pengundang bergembira karena yang
diundang datang menghormati undangannya. Tetapi, tentu pengundang lebih
bergembira jika yang diundang belajar dan bertanya, apalagi jika menikmati dan
larut dalam keindahan lukisan. Yang perlu diingat adalah jangan tidak
menghadiri undangan itu, dengan alasan apapun, karena itu berarti melecehkan si
pengundang.
Begitulah lebih kurang ihwal shalat
dan khusyu’. Maka, ketika ulama fiqih menetapkan sunnahnya khusyu’, mereka
melihat pada khusyu’ dengan peringkatnya yang tinggi; dan ketika menetapkan
larangan banyak bergerak dalam shalat, maka pada hakikatnya mereka menetapkan
bentuk khusyu’ dalam peringkat minimal. Dari sini dapat dimengerti pandangan
Imam Malik ketika mengatakan bahwa kekhusyu’an pada dasarnya adalah wajib,
walaupun dalam rinciannya sunnah.
Dari sini kita dapat mengatakan
bahwa dugaan adanya pertentangan pendapat antara ulama fiqih dan tasawuf dalam
soal khusyu’ lebih merupakan kesan, ketimbang realitas yang sebenarnya. Kesan
itu timbul dari sebuah asumsi atau tepatnya praduga bahwa para fuqaha telah
mereduksi makna ayat-ayat al-Qur’an yang menekankan perlunya khusyu’, karena
mereka hanya menjadikannya sunnah, padahal ia wajib.
Ini adalah praduga yang tidak berdasar karena para fuqaha sesungguhnya
telah berupaya keras menampung semangat nash-nash tersebut ke dalam bahasa fiqih
dan keterbatsannya dalam hal-hal yang bersifat lahiriah. Para fuqaha sama sekali tidak menentang taswuf yang mewajibkan
khusyu’ dan tidak dapat pula dinilai telah mereduksi makna ayat-ayat dan
hadis-hadis Nabi SAW. Sebagai ilmu hukum yang harus mengikat semua kalangan
muslim, baik awwâm maupun khawâsh, maka fiqih hanya bisa menyerap semangat nash
tersebut kedalam kriteria hukum sunnah saja. Sebab, kalau dikatakan wajib,
tidak mustahil akan ada sekian banyak orang yang enggan melaksanakan shalat
dengan alasan tidak mampu khusyu’ sebagaimana ditekankan oleh para sufi.
Perspektif ganda dalam masalah
khusyu’ ini, antara fiqih/syariat dan tasawuf/hakikat, menjadi bukti bahwa jika
keduanya tidak difahami secara utuh akan tampak bertentangan dan bersebrangan.
Yang satu hanyut dalam urusn-urusan lahirah, sementara yang lain asyik-masyuk
dengan hal-hal batiniah. Namun, jika keduanya difahami dalam satu kerangka
utuh, maka kita pada akhirnya akan mengakui bahwa keduanya merupakan dua sisi
mata uang yang tak bisa dipisahkan. Keduanya saling terkait. Tasawuf tanpa
menghiraukan syariat (fiqih) tidak bisa dibenarkan, sebaliknya mengamalkan
syari’at tanpa hakikat bisa nenggersangkan ajaran Ilahi — untuk tidak mengatakan
mereduksinya. Karena itu pula, tasawuf/hakikat merupakan kelanjutan atau
konsekuensi logis dari syari’at.
Perbedaan tujuan kedua disiplin ilmu
tersebut menyebabkan kriteria yang dipakainya pun berbeda. Kriteria ilmu fiqih,
yang antara lain bermaksud memberikan kepastian hukum untuk semua kalangan
muslim, dirumuskan secara “statis”, sedangkan tasawuf yang antara lain
bermaksud mendorong perkembangan ruhani — tidak hanya sebatas menjadi orang
yang berbakti (al-Abrâr) tetapi menjadi al-Muqarrâbîn (orang yang dekat ke Hadirat
Allah) — mengembangkan kriterianya yang bersifat “dinamis”.
Dalam konteks
inilah kita bisa memahami “berdosanya” orang yang “lalai” dalam shalat. Ia
dianggap “berdosa” bukan karena shalatnya, yang secara fiqih sudah dianggap
sah, tetapi karena rasa puas diri terhadap sahalatnya yang masih hampa,
sehingga ia tidak terpanggil untuk memperbaiki shalatnya secara terus-menerus.
Memang, seperti bunyi kaidah yang disepakati semua pihak: “Hasanâtul abrâr,
sayyiâtul muqarrabîn” (sesuatu yang dinilai kebajiakan oleh para al- abrâr,
masih dapat dinilai dosa oleh para al-muqarrabîn).
Yang lebih menakjubkan, kriteria
dinamis atau cara penahapan itulah yang ternyata ditempuh al-Qur’an dalam
mengajarkan syari’ah kepada Nabi SAW. dan para sahabatnya. Dalam hal shalat,
misalnya, al-Qur’an tidak langsung menyuruh mereka untuk mendirikan shalat
dengan penuh kekhusyu’an. Malah, pada mulanya orang yang sedang shalat masih
dibolehkan bercakap-cakap dengan yang disampingnya, sebagaimana bolehnya
berbicara ketika thawaf. Abdullah ibn Mas’ud menuturkan, sebagaiman riwayat
imam Muslim:
“Kami tadinya mengucapkan salam
kepada Nabi SAW. sewaktu beliau tengah mengerjakan shalat dan beliau menjawab
salam kami. Ketika kami kembali dari Najasy (penguasa Etiopia yang melindungi
kaum muslim ketika hijrah kesana), kami mengucapkan salam kepada beliau, tetapi
beliau tidak lagi menjawab. Ketika kami tanyakan (hal itu kepada beliau),
beliau menjawab, “dalam shalat ada kesibukan (menghadap Allah).”
Zaid ibn Arqam juga menuturkan,
“Kami tadinya berbicara dalam shalat. Seseorang bercakap-cakap dengan orang
yang ada di sampingnya, sampai turunnya firman Allah:
“Peliharalah semua shalat dan shalat
wustha. Dan laksanakanlah (shalat) karena Allah dengan penuh kekhusyu’an” (QS.
al-Baqarah/ 2: 238).
Kata قانتين
pada akhir ayat ini pada awalnya berarti diam, tidak berbicara. Lalu difahami
sebagai syarat untuk menghadirkan kekhusyu’an di dalam shalat, sebab diam akan
mengantar seseorang pada kekhusyu’an.
[1]
Abu ‘Abdillah
Muhammad ibn Ahmad al-Quthuby, Al-Jâmi’ Li Ahkâm Al-Qur’ân (Kairo: Dâr
al-Hadîts, 2002) Juz 6, h. 414.
0 Response to "Pengertian Khusyu’ dalam Shalat"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR