-->

Pengertian Khusyu’ dalam Shalat

Faquha.com - Kata khusyu’ terambil dari kata khasya’a  ( خشع ) yang dari segi bahasa berarti diam dan tenang. Dia adalah kesan khusus yang terdapat dalam benak seseorang terhadap objek kekhusyu’anya, sehingga yang bersangkutan mengarah sepenuh hati kepadanya sambil mengabaikan selainnya (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2011, Volume 8, h. 314.)

Dalam ibadah shalat, khusyu’ adalah kondisi jiwa yang diliputi rasa takut jangan sampai shalatanya tertolak. Hal itu ditandai dengan mengonsentrasikan jiwanya sambil mengabaikan segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan shalat. Kondisi jiwa semacam ini tidak terjangkau hakikatnya oleh pandangan lahiriah manusia, sebab ia adalah hubungan langsung antara hamba dan Tuhannya.

Imam ar-Rāzī menulis: apabila seseorang sedang melaksanakan shalat, maka terbuakalah tabir antara dia dengan Tuhan, tapi begitu ia menoleh, tabir itu pun tertutup.

Para ulama fiqih/hukum Islam, tidak memasukan khusyu’ sebagai salah satu rukun atau syarat sah shalat. Mereka menyadari bahwa khusyu’ lebih banyak berkaitan dengan qalbu. Sedang mereka pada dasarnya hanya mengarahkan pandangan pada sisi lahiriah manusia.

Mereka berkata “nahnu nahkumu bizh-zahwâhir wallâhu yatawallâ as-sarâir” (kami hanya menetapkan hukum berdasarkan yang tampak, dan Allah menangani hal-hal yang batin). Disinilah ulama fiqih dan tasawuf terkesan berbeda pendapat. Mayoritas ulama fiqih tidak mewajibkan hadirnya kehusyu’an dalam shalat — sebab kehadirannya adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau pandangan lahir — sedangkan ulama tasawuf mewajibkannya.

Sebenarnya, para ulama fiqih pun secara tidak langsung telah menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengarah pada keharusan khusyu’, tetapi dalam bahasa fiqih dan terbatas pada hal-hal yang bersifat lahiriah. Para fuqaha menekankan perlunya memelihara gerak selain gerak shalat, sehingga tidak melampaui batas tertentu, misalnya tiga kali gerak yang besar berturut-turut. Mereka juga menekankan bahwa khusyu’ tergambar pada sikap antara lain tidak menoleh, menguap atau membunyikan jari-jari tangan, tidak juga memandang ke atas, tetapi ke depan atau ke tempat sujud.

Sementara ulama berakata bahwa Nabi SAW. sebelum turunya ayat QS. al-Mu’minûn/23: 2, sering mengarahkan pandangan ke langit ketika shalat; dan sejak turunnya ayat tersebut beliau tidak melakukannya lagi tetapi selalu memandang ke arah tempat sujud beliau.[1]

Demikian ulama fiqih menetapkan makna khusyu’ dalam disiplin ilmu mereka. Memang Nabi SAW. menjadikan gerak anggota badan, selain gerak shalat, sebagi salah satu isyarat lahiriyah dari ketidakkhusyu’an seseorang dalam shalatnya. Suatu ketika beliau berkomentar ketika melihat seseorang yang shalat sambil memegang-megang jenggotnya bahwa: ” seandainya hatinya khusyu’, niscaya tangannya pun khusyu’ (tidak bergerak-gerak). “(HR. An-Nasa’i dan ibn Majah melaui Abu Said al-Khudri).

Senada dengan hadis ini Imam Ibn ‘Aţâillah berkata:

مااستودع فى غيب السرائر    ظهرفى شهادت الظواهر
“Apa yang tersimpan di kedalaman batin, akan tampak pada penampilan lahir”. (Hikmah ke-28 dalam kitab Al-Hikam).

Dugaan sementara orang bahwa khusyu’ dalam shalat adalah larut dalam rasa dan ingatan kepada Allah SWT. sehingga tidak mengingat dan merasakan sesuatu selain-Nya. Dalam koteks ini, contoh yang sering dikemukakan adalah kasus Sayyidina Ali Zainal Abidin, yang diberi gelar dengan as-Sajjâd, cucu Sayyidina Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra ra.

Dalam riwayat dikemukakan bahwa as-Sajjâd menderita penyakit dikakinya yang mengharuskan pembedahan. Maka dia meminta kepada dokter untuk melakukan pembedahan itu pada saat beliau shalat, karena pada saat itu ingatan dan perasaan beliau terpaku pada kebesaran Allah SWT., tidak kepada sesuatu selain-Nya. Beliau tidak merasakan sakit pembedahan itu karena sedang berada dalam puncak kenikmatan mengahadap Allah SWT. Contoh ini banyak dikemukakan oleh para sufi.

Tetapi ulama fiqih mengetengahkan beberapa hadis yang menunjukan bawa Nabi SAW sendiri pun ketika melakukan shalat tidak selalu larut dalam kebesaran Allah SWT. yang menyebabkan beliau tidak merasakan selain-Nya. Nabi SAW sebagaimana diriwayatkan Bukhari melalui Abu Qatadah, pernah mempercepat shalatnya ketika mendengar tangisan seorang bayi.

Beliau juga pernah sujud sedemikian lamanya sehingga para sahabat yang mengikutinya menduga ada perubahan dalam tatacara shalat, tetapi ternyata Nabi melakukan itu karena cucu beliau sedang menunggang punggung beliau dan beliau enggan mengangkat kepala sebelum cucunya puas.
Kedua contoh ini, menurut para ulama fiqh, menunjukan bahwa paling tidak — sekali-kali ketika shalat — Rasul SAW. pun tidak selalu larut dalam ingatan kepada Allah SWT.

Tingkatan-tingkatan Khusyu’

Khuyu’ yang merupakan upaya mengahadirkan (mengingat) Allah dalam benak, pada hakikatnya bertingkat-tingkat. Kewajiban shalat dan khusyu’ yang ditetapkan Allah dapat diibaratkan dengan kehadiran seseorang pada sebuah pameran lukisan

Banyak yang diundang hadir untuk menikmati keindahan lukisan tetapi bermacam-macam sikap yang mereka tunjukan. Ada yang hadir tanpa mengerti sedikit pun tentang lukisan, dan tidak menikmatinya; ada pula yang tidak mengerti tapi ia berusaha untuk mempelajari dan bertanya;  ada lagi yang mengerti tentang lukisan dan ia menikmatinya; tetapi ada yang sangat faham sehingga ia terpukau dan terpaku, tidak menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya, dia tidak mendengar sapaan orang kepadanya, dia benar-benar larut dalam kenikmatan.

Dalam contoh ini, pengundang akan menyambut dan bergembira selama yang diundang datang, walaupun ia tidak memiliki pengetahuan tentang lukisan. Si pengundang bergembira karena yang diundang datang menghormati undangannya. Tetapi, tentu pengundang lebih bergembira jika yang diundang belajar dan bertanya, apalagi jika menikmati dan larut dalam keindahan lukisan. Yang perlu diingat adalah jangan tidak menghadiri undangan itu, dengan alasan apapun, karena itu berarti melecehkan si pengundang.

Begitulah lebih kurang ihwal shalat dan khusyu’. Maka, ketika ulama fiqih menetapkan sunnahnya khusyu’, mereka melihat pada khusyu’ dengan peringkatnya yang tinggi; dan ketika menetapkan larangan banyak bergerak dalam shalat, maka pada hakikatnya mereka menetapkan bentuk khusyu’ dalam peringkat minimal. Dari sini dapat dimengerti pandangan Imam Malik ketika mengatakan bahwa kekhusyu’an pada dasarnya adalah wajib, walaupun dalam rinciannya sunnah.

Dari sini kita dapat mengatakan bahwa dugaan adanya pertentangan pendapat antara ulama fiqih dan tasawuf dalam soal khusyu’ lebih merupakan kesan, ketimbang realitas yang sebenarnya. Kesan itu timbul dari sebuah asumsi atau tepatnya praduga bahwa para fuqaha telah mereduksi makna ayat-ayat al-Qur’an yang menekankan perlunya khusyu’, karena mereka hanya menjadikannya sunnah, padahal ia wajib.

Ini adalah praduga yang tidak berdasar karena para fuqaha sesungguhnya telah berupaya keras menampung semangat nash-nash tersebut ke dalam bahasa fiqih dan keterbatsannya dalam hal-hal yang bersifat lahiriah. Para fuqaha sama sekali tidak menentang taswuf yang mewajibkan khusyu’ dan tidak dapat pula dinilai telah mereduksi makna ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi SAW. Sebagai ilmu hukum yang harus mengikat semua kalangan muslim, baik awwâm maupun khawâsh, maka fiqih hanya bisa menyerap semangat nash tersebut kedalam kriteria hukum sunnah saja. Sebab, kalau dikatakan wajib, tidak mustahil akan ada sekian banyak orang yang enggan melaksanakan shalat dengan alasan tidak mampu khusyu’ sebagaimana ditekankan oleh para sufi.

Perspektif ganda dalam masalah khusyu’ ini, antara fiqih/syariat dan tasawuf/hakikat, menjadi bukti bahwa jika keduanya tidak difahami secara utuh akan tampak bertentangan dan bersebrangan. Yang satu hanyut dalam urusn-urusan lahirah, sementara yang lain asyik-masyuk dengan hal-hal batiniah. Namun, jika keduanya difahami dalam satu kerangka utuh, maka kita pada akhirnya akan mengakui bahwa keduanya merupakan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Keduanya saling terkait. Tasawuf tanpa menghiraukan syariat (fiqih) tidak bisa dibenarkan, sebaliknya mengamalkan syari’at tanpa hakikat bisa nenggersangkan ajaran Ilahi — untuk tidak mengatakan mereduksinya. Karena itu pula, tasawuf/hakikat merupakan kelanjutan atau konsekuensi logis dari syari’at.

Perbedaan tujuan kedua disiplin ilmu tersebut menyebabkan kriteria yang dipakainya pun berbeda. Kriteria ilmu fiqih, yang antara lain bermaksud memberikan kepastian hukum untuk semua kalangan muslim, dirumuskan secara “statis”, sedangkan tasawuf yang antara lain bermaksud mendorong perkembangan ruhani — tidak hanya sebatas menjadi orang yang berbakti (al-Abrâr) tetapi menjadi al-Muqarrâbîn (orang yang dekat ke Hadirat Allah) — mengembangkan kriterianya yang bersifat “dinamis”. 

Dalam konteks inilah kita bisa memahami “berdosanya” orang yang “lalai” dalam shalat. Ia dianggap “berdosa” bukan karena shalatnya, yang secara fiqih sudah dianggap sah, tetapi karena rasa puas diri terhadap sahalatnya yang masih hampa, sehingga ia tidak terpanggil untuk memperbaiki shalatnya secara terus-menerus. Memang, seperti bunyi kaidah yang disepakati semua pihak: “Hasanâtul abrâr, sayyiâtul muqarrabîn” (sesuatu yang dinilai kebajiakan oleh para al- abrâr, masih dapat dinilai dosa oleh para al-muqarrabîn).

Yang lebih menakjubkan, kriteria dinamis atau cara penahapan itulah yang ternyata ditempuh al-Qur’an dalam mengajarkan syari’ah kepada Nabi SAW. dan para sahabatnya. Dalam hal shalat, misalnya, al-Qur’an tidak langsung menyuruh mereka untuk mendirikan shalat dengan penuh kekhusyu’an. Malah, pada mulanya orang yang sedang shalat masih dibolehkan bercakap-cakap dengan yang disampingnya, sebagaimana bolehnya berbicara ketika thawaf. Abdullah ibn Mas’ud menuturkan, sebagaiman riwayat imam Muslim:

“Kami tadinya mengucapkan salam kepada Nabi SAW. sewaktu beliau tengah mengerjakan shalat dan beliau menjawab salam kami. Ketika kami kembali dari Najasy (penguasa Etiopia yang melindungi kaum muslim ketika hijrah kesana), kami mengucapkan salam kepada beliau, tetapi beliau tidak lagi  menjawab.  Ketika kami tanyakan (hal itu kepada beliau), beliau menjawab, “dalam shalat ada kesibukan (menghadap Allah).”

Zaid ibn Arqam juga menuturkan, “Kami tadinya berbicara dalam shalat. Seseorang bercakap-cakap dengan orang yang ada di sampingnya, sampai turunnya firman Allah:

“Peliharalah semua shalat dan shalat wustha. Dan laksanakanlah (shalat) karena Allah dengan penuh kekhusyu’an” (QS. al-Baqarah/ 2: 238).

Kata قانتين pada akhir ayat ini pada awalnya berarti diam, tidak berbicara. Lalu difahami sebagai syarat untuk menghadirkan kekhusyu’an di dalam shalat, sebab diam akan mengantar seseorang pada kekhusyu’an.


[1] Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Quthuby, Al-Jâmi’ Li Ahkâm Al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2002) Juz 6, h. 414.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pengertian Khusyu’ dalam Shalat"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel