-->

Cara Meraih Khusyu dalam Shalat

Faquha.com - Walaupun Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya (QS. Al-Baqarah/2: 286) tetapi harus diingat bahwa setiap manusia dituntut untuk berusaha mengembangkan diri dan meningkatkan kualitasnya. Allah SWT. telah menganugerahkan manusia potensi yang luar biasa dalam dalam  dirinya, salah satunya adalah potensi untuk melakukan kebaikan-kebaikan

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya.” (QS. As-Syams/91: 7-8).

Mereka yang bisa memaksimalkan potensinya tersebut, mereka itulah yang akan memeperoleh memperoleh keberuntungan. Sebaliknya, yang gagal memaksimalkan potensi kebaikannya, akan merugi. Ayat ini mendorong setiap orang agar tidak pernah berhenti mengembangkan dirinya dalam melakukan kebaikan-kebaikan hingga ia mencapai tingkat tertinggi.

Dalam hal ibadah shalat, bila kita tidak atau belum mampu menghadirkan kebesaran Allah dan menikmati lezatnya berdialog dengan-Nya sepanjang shalat, maka paling tidak ada saat-saat dalam shalat yang kita upayakan untuk mendapat kekhusyu’an seperti yang dikehendaki oleh substansi shalat. Sebagian ulama, bahkan ulama fiqh, menekankan perlunya khusyu’ — lahir batin — paling tidak pada saat takbîratul ihrâm. Memang, “khusyu’ minimal” semacam ini dibawah sinaran penghayatan sufistik pun cukup berat, tetapi itu hendaknya diupayakan secara terus-menerus.
Allah menegaskan bahwa:

“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya ia sungguh berat, kecuali bagi orang-orang khusyu’.” (QS. Al-Baqarah/2: 45).

Maksud ayat ini adalah dalam menghadapi hidup ini kesabaran dan shalat merupakn dua hal yang amat mutlak guna meraih sukses, dan keduanya pun tidak gampang dikerjakan kecuali bagi yang khusy’.

Salah satu yang menarik digaribawahi adalah ayat di atas menggunakan bentuk tunggal “innahâ” (sesungguhnya ia), bukan innahumâ (sesungguhnya keduanya). Pengunaan bentuk tunggal ini mengisyaratkan bahwa shalat dan sabar harus menyatu dalam diri manusia.[1]

Ketika bersabar, Anda harus shalat dan berdo’a; dan ketika shalat/berdo’a, Anda harus bersabar. Dalam melakukan berbagai aktivitas, termasuk dalam shalat, al-Qur’an mewajibkan untuk berupaya dan terus berupaya menemukan kesempurnaan.

Dalam konteks menghadirkan Allah dalam benak, itu diibaratkan dengan seseorang yang mancari gelombang radio untuk mendengarkan siarannya. Boleh jadi, pada kali pertama dia belum menemukan gelombang yang dicarinya, atau setidaknya belum jernih. Namun, ia harus sabar dan terus berusaha, mencoba dan mencoba mencari, sampai pada akhirnya ia menemukan suara jernih yang dicarinya.

Jiwa harus dipersiapkan untuk meraih khusyu’ dan salah satu persiapan yang paling penting dijelaskan oleh lanjutan ayat diatas yang menyatakan bahwa:


“(Yaitu) orang-orang yang menduga keras bahwa mereka akan  menemui Tuhan mereka dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah/2: 46)

Anak kalimat (يظنون) “menduga keras” memggambarkan toleransi Allah terhadap bisikan –bisikan hati yang sekali dapat timbul dalam benak mempertanyakan objek-objek keimanan. Munculnya pertanyaan-pertanyaan demikian pastilah menyebabkan jiwa risau, dan iman tidak berada pada keteguhan keyakinan. Ayat di atas menoleransi pembenaran hati yang melebihi tingkat keraguan, yakni dugaan, walupun belum sampai pada keimanan penuh dan keyakinan bulat.

Selanjutnya, kalimat “menemui Tuhan mereka dan akan kembali kepada-Nya”, selain menghadirkan pemahaman bahwa setiap orang akan wafat, juga menggambarkan optimisme yang menyelubungi jiwa orang-orang yang khusyu’ terhadap ganjaran yang akan mereka terima kelak.

Jika demikian, kekhusy’an dapat diperoleh dengan menggambarkan ganjaran atau siksa yang menanti setelah kematian. Sementara imam shalat berucap: “shallû shalâta muwâdi’/shalatlah kalian sebagaimana shaltnya seseorang yang akan segera berpisah dengan kehidupan dunia”. Ucapan ini ditunjukan kepada dirinya dan para makmum agar membayangkan kematian.

Mengapa orang-orang yang meyakini adanya hari pembalasan, atau yang menduga keras keniscayaan serta ganjaran Ilahi, dikecualikan dari rasa beratnya sabar dan shalat? Para ulama menjawab, karena yang tergambar dalam benak mereka ketika itu adalah ganjaran Ilahi, dan ini menjadikan mereka menilai ringan beban  dan cobaan-cobaan yang mereka alam.

Sebagian pengamal tasawuf memberi nasehat: “Bayangkanlah ketika anda berdiri untuk shalat, bahwa disebelah kanan dan kiri anda surga dan neraka, di belakang anda malaikat maut sedang  menanti selesainya shalat anda untuk mencabut ruh anda, dan dihadapan anda hadir kebesaran Allah.” Jika itu yang anda bayangkan, pastilah anda akan memilih khusyu’, tunduk patuh kepada Tuhan mengahrapakan surga dan ridha-Nya dan takut akan neraka dan murka-Nya.

Wallāh al-Muwaffiq Ilā Aqwām al-Ţarīq  Oleh Yayan Bunyamin, S.Th.I





[1] Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Quthuby, Al-Jâmi’ Li Ahkâm Al-Qur’ân, Juz 1, h. 342-343.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Cara Meraih Khusyu dalam Shalat"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel