Cara Meraih Khusyu dalam Shalat
March 6, 2015
Add Comment
Faquha.com - Walaupun Allah
tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya (QS. Al-Baqarah/2: 286) tetapi
harus diingat bahwa setiap manusia dituntut untuk berusaha mengembangkan diri
dan meningkatkan kualitasnya. Allah SWT. telah menganugerahkan manusia potensi
yang luar biasa dalam dalam dirinya,
salah satunya adalah potensi untuk melakukan kebaikan-kebaikan
“Dan
jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya.” (QS. As-Syams/91: 7-8).
Mereka yang bisa memaksimalkan
potensinya tersebut, mereka itulah yang akan memeperoleh memperoleh
keberuntungan. Sebaliknya, yang gagal memaksimalkan potensi kebaikannya, akan
merugi. Ayat ini mendorong setiap orang agar tidak pernah berhenti mengembangkan
dirinya dalam melakukan kebaikan-kebaikan hingga ia mencapai tingkat tertinggi.
Dalam hal ibadah shalat, bila kita tidak atau belum mampu menghadirkan
kebesaran Allah dan menikmati lezatnya berdialog dengan-Nya sepanjang shalat,
maka paling tidak ada saat-saat dalam shalat yang kita upayakan untuk mendapat
kekhusyu’an seperti yang dikehendaki oleh substansi shalat. Sebagian ulama, bahkan ulama fiqh, menekankan perlunya khusyu’ —
lahir batin — paling tidak pada saat takbîratul ihrâm. Memang, “khusyu’
minimal” semacam ini dibawah sinaran penghayatan sufistik pun cukup berat,
tetapi itu hendaknya diupayakan secara terus-menerus.
Allah menegaskan bahwa:
“Mintalah
pertolongan dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya ia sungguh berat, kecuali
bagi orang-orang khusyu’.” (QS. Al-Baqarah/2: 45).
Maksud ayat ini adalah dalam
menghadapi hidup ini kesabaran dan shalat merupakn dua hal yang amat mutlak
guna meraih sukses, dan keduanya pun tidak gampang dikerjakan kecuali bagi yang
khusy’.
Salah satu yang menarik digaribawahi adalah ayat di atas menggunakan bentuk
tunggal “innahâ” (sesungguhnya ia), bukan innahumâ (sesungguhnya keduanya). Pengunaan bentuk tunggal ini mengisyaratkan bahwa shalat dan sabar
harus menyatu dalam diri manusia.[1]
Ketika bersabar, Anda harus shalat
dan berdo’a; dan ketika shalat/berdo’a, Anda harus bersabar. Dalam melakukan
berbagai aktivitas, termasuk dalam shalat, al-Qur’an mewajibkan untuk berupaya
dan terus berupaya menemukan kesempurnaan.
Dalam konteks menghadirkan Allah
dalam benak, itu diibaratkan dengan seseorang yang mancari gelombang radio
untuk mendengarkan siarannya. Boleh jadi, pada kali pertama dia belum menemukan
gelombang yang dicarinya, atau setidaknya belum jernih. Namun, ia harus sabar
dan terus berusaha, mencoba dan mencoba mencari, sampai pada akhirnya ia
menemukan suara jernih yang dicarinya.
Jiwa harus dipersiapkan untuk meraih
khusyu’ dan salah satu persiapan yang paling penting dijelaskan
oleh lanjutan ayat diatas yang menyatakan bahwa:
“(Yaitu)
orang-orang yang menduga keras bahwa mereka akan menemui Tuhan mereka dan bahwa mereka akan
kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah/2: 46)
Anak kalimat (يظنون) “menduga keras” memggambarkan toleransi Allah terhadap bisikan
–bisikan hati yang sekali dapat timbul dalam benak mempertanyakan objek-objek
keimanan. Munculnya pertanyaan-pertanyaan demikian pastilah menyebabkan jiwa
risau, dan iman tidak berada pada keteguhan keyakinan. Ayat di atas menoleransi
pembenaran hati yang melebihi tingkat keraguan, yakni dugaan, walupun belum
sampai pada keimanan penuh dan keyakinan bulat.
Selanjutnya, kalimat “menemui Tuhan mereka dan akan kembali kepada-Nya”,
selain menghadirkan pemahaman bahwa setiap orang akan wafat, juga menggambarkan
optimisme yang menyelubungi jiwa orang-orang yang khusyu’ terhadap ganjaran
yang akan mereka terima kelak.
Jika demikian, kekhusy’an dapat
diperoleh dengan menggambarkan ganjaran atau siksa yang menanti setelah
kematian. Sementara imam shalat berucap: “shallû shalâta muwâdi’/shalatlah
kalian sebagaimana shaltnya seseorang yang akan segera berpisah dengan
kehidupan dunia”. Ucapan ini ditunjukan kepada dirinya dan para makmum agar
membayangkan kematian.
Mengapa orang-orang yang meyakini
adanya hari pembalasan, atau yang menduga keras keniscayaan serta ganjaran
Ilahi, dikecualikan dari rasa beratnya sabar dan shalat? Para ulama menjawab,
karena yang tergambar dalam benak mereka ketika itu adalah ganjaran Ilahi, dan
ini menjadikan mereka menilai ringan beban
dan cobaan-cobaan yang mereka alam.
Sebagian pengamal tasawuf memberi
nasehat: “Bayangkanlah ketika anda berdiri untuk shalat, bahwa disebelah kanan
dan kiri anda surga dan neraka, di belakang anda malaikat maut sedang menanti selesainya shalat anda untuk mencabut
ruh anda, dan dihadapan anda hadir kebesaran Allah.” Jika itu yang anda
bayangkan, pastilah anda akan memilih khusyu’, tunduk patuh kepada Tuhan
mengahrapakan surga dan ridha-Nya dan takut akan neraka dan murka-Nya.
Wallāh al-Muwaffiq Ilā Aqwām
al-Ţarīq Oleh Yayan Bunyamin, S.Th.I
0 Response to "Cara Meraih Khusyu dalam Shalat"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR