Bedah Ke Filosofisan Ibn Taimiyyah
February 18, 2015
Add Comment
Faquha.com - Sejak awal mula Ibn Taimiyyah menggeluti filsafat, tujuannya
bukanlah untuk mendalami dan memahami ilmu ini untuk kemudian mengambil manfaat
yang mungkin bisa diambil darinya, akan tetapi sebaliknya untuk mencari
sisi-sisi kesalahannya untuk kemudian merubuhkan bangunannya, karena dalam
pandangannya filsafat telah menjadi semacam penyakit yang menyerang pemikiran
orang-orang Islam, bahkan ia berpendapat bahwa sebelum seseorang mendalami
akidah Islam maka ia harus membersihkan diri dari segala hal yang berbau
filasafat yang menurutnya dihasilkan dari kebohongan angan-angan dan bayangan,
sikap Ibn Taimiyyah ini kalau kita telusuri lebih jauh merupakan dampak dari
kondisi politik dan sosio-kultural masyarakat muslim pada waktu itu
A. Kondisi Politik
Pada abad ketujuh dan kedelapan yang merupakan masa
penghabisan Daulah Abbasiah, kaum muslimin telah terpecah-belah dalam
kerajaan-kerajaan kecil yang antara satu dengan yang lainnya saling memusuhi.
Lebih dari itu, kerajaan-kerajaan kecil ini mendapat ancaman besar dari tiga
sisi: serangan bangsa Tartar dari arah timur (Mongolia), serangan pasukan
Perang Salib yang terus mendesak dari arah barat, serta ancaman akibat
perpecahan dari umat Islam sendiri, sampai-sampai Ibn Al-Atsir dalam kitabnya
"Al-Kamil" mengatakan: "Agama Islam dan kaum Muslimin pada waktu
ini benar-benar ditimpa oleh musibah yang belum pernah menimpa satupun dari
umat-umat sebelumnya…"
B. Kondisi Masyarakat
Sejak perang salib berkecamuk pada awal abad kelima Hijriah,
terjadilah berturan-benturan peradaban antara barat (Eropa) dan timur (Arab),
benturan-benturan ini dengan dahsyatnya berpengaruh terhadap kebudayaan, adat,
pemikiran, bahkan kehidupan beragama. Begitu juga ketika bangsa Tartar mulai
masuk dari arah timur dengan membawa kebiasaan, pemikiran, dan
tabiat-tabiatnya.
Benturan-benturan
tersebut mengakibatkan disosialis yang berkepanjangan dalam berbagai aspek
kehidupan kaum Muslim, ketakutan akan terjadinya perang menyebabkan terjadinya
gelombang-gelombang pengungsi yang mengakibatkan bercampur-aduknya penduduk
daerah satu dengan daerah yang lainnya, seperti penduduk Irak yang mengungsi ke
Syam ketika bangsa Tartar menyerangnya, penduduk Mughol mengungsi ke Damaskus,
yang kemudian bersama penduduk Damaskus mengungsi ke Mesir dan bahkan ada yang
mengungsi sampai ke Maroko.
Percampuran-percampuran
secara terpaksa ini mau tidak mau ikut pula mencampur-adukkan corak kejiwaan,
pemikiran, dan kemasyarakatan kedalam suatu adat (kebiasaan) yang berbeda,
sehingga dari sini munculah suatu kumpulan "masyarakat terpaksa" yang
tidak mempunyai pegangan dan ketenangan, dan kumpulan masyarakat ini terpusat
di satu titik, yaitu Mesir.
C. Kondisi Pemikiran
Sebelum masa Ibn Taimiyyah sudah banyak tersebar
aliran-aliran pemikiran yang antara satu dengan yang lainnya tidak jarang
terjadi perselisihan-perselisihan, hal ini menyebabkan terbentangnya jarak
antara pengikut aliran yang satu dengan yang lainnya. Perpecahan tersebut
mencapai puncaknya pada masa Ibn Taimiyyah (abad ketujuh sampai awal abad kedelapan),
dimana pertentangan-pertentangan tersebut mengakibatkan terpecah-belahnya para
ulama dalam berbagai golongan.
Di tengah keadaan
ini, mencuatlah para filosof Islam yang berusaha mensinkronkan antara filsafat
dengan agama sebagaimana dilakukan oleh para pengikut Ikhwan As-Shofa,
Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Di sisi lain muncul pula para ulama yang
berusaha menggabungkan antara akal dan teks seperti Muhyiddin An-Nawawi dan
Fakhruddin Ar-Razi, kemudian disusul dengan munculnya para sufi yang berusaha
menggabungkan antara metode filsafat akal dengan kemurnian jiwa sampai kemudian
berakhir pada filsafat jiwa (spiritisme), dimana ajaran-ajaran kesufian
disokong penuh oleh pemerintahan yang berkuasa waktu itu sampai kemudian banyak
bermunculan apa yang disebut Ibn Taimiyyah sebagai "khurafat",
masyarakat yang terlalu mendewakan ulama, dan pengagung-agungan terhadap
kuburan.
Dari kondisi semacam ini timbul-lah perdebatan pemikiran
yang amat sengit diantara para ulama, perang dalil dengan mengatasnamakan agama
tidak dapat dihindari untuk mengalahkan dan menguasai lawannya demi kepentingan
golongan, tanpa mencoba untuk saling mengerti dan memahami untuk kedamaian
bersama.
Dalam milleu seperti inilah seorang Ibn Taimiyyah tumbuh,
dengan berbekal latar belakang keluarga sederhana -pengikut Imam Ahmad bin
Hambal- yang memegang teguh ajaran agama serta keceerdasannya, ia keluar dari
sarangnya untuk meluruskan ajaran-ajaran agama yang dianggapnya sudah melenceng
jauh dari pakem yang seharusnya dilalui, khususnya dalam bidang filsafat dan
penggunaan akal manusia yang melampaui batas. iapun banyak bertentangan dengan
para ulama-ulama besar waktu itu, ini dapat kita lihat dalam karya-karyanya
yang banyak mengkritik Ibn Sina, al-Razi, al-Asy'ari, al-Ghazali sampai Ibn
Rusyd baik dalam mantiq, filsafat maupun tasawwufnya.
Ketegasan Dibalik Ketakutan
Dalam karyanya "Dar’u Ta'ârudh al-'Aql wa
al-Naql", Ibn Taimiyyah membuka kitabnya dengan mengkritik kaum filosof
sebagai "Ahli Bid'ah", di sini ia secara langsung menukil pernyataan
Ar-Razi yang disebutnya sebagai "pegangan ahli bidah" (pegangan kauf
filosof, pen.) yang berbunyi:
"Ketika dalil 'aql dan naql saling bertentangan, atau
ketika teks naql dengan realita akal saling bertentangan maka kemungkinan
pemecahannya ada beberapa macam: a. Adakalanya dengan memadukan keduanya, dan
ini jelas-jelas tidak mungkin; b. Atau menolak kedua-duanya, dan hal ini pun
juga tidak mungkin; c. Atau dengan mengedepankan naql/teks, ini pun juga tidak
mungkin, karena akal adalah sumber teks, apabila kita mendahulukan naql maka
hal ini merupakan suatu bentuk penghinaan terhadap akal yang merupakan sumber
naql, dan penghinaan terhadap sumber sesuatu merupakan penghinaan terhadap
sesuatu itu sendiri, maka pendahuluan naql merupakan penghinaan terhadap akal
dan naql; d. Maka wajib mendahulukan akal untuk selanjutnya naql/teks mungkin
ditakwilkan dan kalau tidak mungkin maka ditiadakan."
Ibn Taimiyyah memandang ucapan Ar-Razi diatas sebagai
pedoman umum yang dipakai oleh kaum filosof dalam menentukan apa saja yang bisa
dijadikan dalil dari Kitab Allah SWT dan ucapan para Nabi, disamping apa saja
yang tidak bisa dijadikan dalil dari keduannya, menurutnya karena itulah kaum
filosof menentang pengambilan dalil dari apa yang dibawa oleh para Nabi dan
Rasul tentang sifat-sifat Allah SWT dan berbagai hal yang mereka beritakan,
kaum filosof berpendapat bahwa akal tidak dapat menerimanya.
Pedoman seperti
ini menurut Ibn Taimiyyah menjadikan masing-masing kaum filosof meletakkan
dasar-dasar independen dalam menyikapi setiap hal yang dikabarkan oleh para
Nabi dan Rasul tentang Allah SWT, sehingga selanjutnya mereka meyakini bahwa
inti-dasar yang mereka yakini kebenarannya adalah apa yang mereka perkirakan
bahwa akal mereka bisa mengetahui dan mencernanya dan meletakkan segala yang
dikabarkan oleh para Nabi dan Rasul tunduk mengikuti garis-garis metode akal
yang mereka ciptakan, untuk kemudian yang cocok mereka ambil dan yang mereka
rasa tidak cocok mereka buang.
Analisa Ibn Taimiyyah diatas agaknya lebih didasari oleh ketakutannya
akan pengaruh-pengaruh luar yang ia rasa dapat mengancam kemurnian dan kesucian
kepercayaan yang diyakininya, hal ini sebenarnya masih dalam batas-batas
kewajaran melihat latar belakang keluarganya yang dengan teguh berjalan diatas
rel madzhab Hanbali, seorang murid Asy-Syafi'i yang terkenal memegang teguh
ajaran-ajaran Alqur'an dan As-Sunnah, dimana sudah sepatutnya baginya untuk
mempertahankan keyakinannya dalam kondisi yang morat-marit akibat peperangan
yang berkepanjangan dan benturan peradaban yang sedikit banyak mengakibatkan
menimbulkan pesimisme terhadap sebagian besar kaum muslim.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Ibn Taimiyyah
mendalami filsafat bukanlah untuk memahami dan menyingkap kebenaran yang
mungkin didapatkan didalamnya, melainkan untuk menghancurkan sendi-sendinya,
maka dalam analisanya tetang metode Kaum Filosof yang dianggabnya sebagai ahli
bid’ah dalam menguraikan nash membagi metode-metode kaum filosof dalam dua
kelompok.
D. Metode penggantian
(tabdil), yang diikuti oleh dua golongan
1. Kaum Pengkhayal
Kelompok ini menurutnya, berpendapat bahwa para Nabi dan
Rasul mengabarkan tentang Allah SWT, Malaikat, hari akhir, surga dan neraka
serta hal-hal ghaib lainnya dengan ungkapan-ungkapan yang tidak cocok dengan
yang sebenarnya, sebaliknya mereka mengabarkan kepada umatnya berdasarkan atas
khayalan-khayalan yang mereka buat tentang keagungan Allah SWT, kenikmatan
inderawi atau siksa badani yang akan mereka dapatkan di akhirat, walaupun
mereka mengetahui bahwa yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Akan tetapi untuk
memberikan kepada umatnya pemahaman, mereka melakukan hal ini, jadi menurut
kelompok ini , walaupun hal ini merupakan suatu bentuk kebohongan, akan tetapi
dilakukan untuk kebaikan umat, karena dakwah mereka tidak dapat dimungkinkan
kecuali dengan cara ini.
Sebagian dari kelompok ini menganggap bahwa kedudukan para
filosof dan wali lebih utama dibandingkan dengan para Nabi dan Rasul, karena
mereka mengetahui yang sebenarnya, dan sebagian yang lain menganggap para Nabi
dan Rasul lebih mulia dibanding filosof dan wali, karena mereka mengira bahwa
para Nabi dan Rasul mengetahui yang sebenarnya akan tetapi mengabarkan pada
umatnya dengan apa yang dapat diterima oleh umatnya. Kelompok ini banyak
diikuti oleh golongan Filsafat Kebatinan dan para pengikut Ikhwan al-Shofa,
juga Al-Farabi, Ibn Sina, al-Syahrurdi al-Maqthul dan Ibn Rusyd.
2. Kaum Perubah dan Pentakwil
Kaum ini berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul tidak
mengungkapkan tentang Allah SWT, malaikat, surga dan neraka serta perkara ghaib
lainnya kecuali untuk kebenaran, dan kebenaran adalah apa yang diketahui dan
dibuktikan oleh akal kita, maka kemudian mereka mencoba untuk mentakwilkan
ucapan-ucapan ini dengan apa yang mereka pandang cocok dengan pendapatnya,
dengan beragam takwilan yang membawa bahasa asalnya untuk keluar dari
pengertian yang sebenarnya, seperti halnya mereka merubah suatu lafadz dari
satu makna ke makna lain yang mereka inginkan tanpa bertujuan untuk mengetahui
maksud pembawa lafadz, walaupun sebenarnya mereka mengetahui maksud sebenarnya
dari Sang Mutakallim.
Jika setiap pentakwilan tidak bertujuan untuk menjelaskan
makna yang dimaksud dari pembawa lafadz maka menurut Ibn Taimiyyah mereka telah
melakukan kebohongan dengan menutupi makna asalnya, karena itulah menurutnya
sebagian besar kaum filosof tidak secara tegas menyatakan takwilannya, akan
tetapi kebanyakan mereka mengatakan: “ ini boleh dimaksudkan begini…” dan
sebagainya yang tujuannya untuk menunjukkan adanya kemungkinan-kemungkinan
dalam suatu lafadz. Secara global menurutnya, ini adalah metode kebanyakan ahli
kalam, seperti: Mu’tazilah, Kullabiyah, Salimiyah, Karramiyah dan Syi’ah
E. Metode Pembodohan
Inilah yang menurut Ibn Taimiyyah sebagai ahli kesesatan dan
kebodohan, dimana mereka berpedoman bahwa para Nabi dan Rasul serta seluruh
pengikutnya adalah orang-orang bodoh lagi sesat, yang tidak mengetahui apa yang
diinginkan oleh Allah SWT dari apa yang disifati-Nya untuk diri-Nya sendiri
yang tertuang dalam ayat-ayat-Nya. Adapun sebagian lain dari kelompok ini
mengatakan bahwa kandungan dari ayat-ayat Allah SWT sebenarnya bertentangan
dari apa yang tampak dari lahiriyah teks, dan tidak ada satupun dari para Nabi,
Rasul, Malaikat, Sahabat dan Ulama yang mengetahui apa yang diinginkan oleh
Allah seperti halnya mereka tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat.
Antara Ibn Taimiyyah dan Al-Ghazali
Berbeda dengan Ibn Taimiyyah, Al-Ghazali mempelajari dan
mendalami filsafat adalah untuk menyingkap kebenaran-kebenaran yang mungkin
akan ditemukan didalamnya, yang mana dalam hal ini ia berpedoman, bahwa
keraguan adalah sarana untuk sampai pada keyakinan. Setelah mendalami filsafat
ia mendapatkan kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan oleh para filosof,
maka kemudian ia mencoba untuk keluar dari filsafat dan kembali kepada agama serta
menenggelamkan dirinya dalam dunia kesufian untuk selanjutnya menggunakan
pengetahuannya tentang filsafat untuk menyingkap kesesatan-kesesatan para
filosof dalam karyanya “Tahâfut Al-Falâsifah”. Akan tetapi pada kenyataannya
Al-Ghazali tidak bisa benar-benar lepas dari filsafat, dimana dalam jiwanya
masih tersisa pengaruh filsafat, karena ketika ia memutuskan untuk meninggalkan
filsafat, pikirannya sudah terbentuk kedalam pola pemikiran filsafat, bahkan
kemudian ia mengambil salah satu cabang filsafat sebagai bahan kajian utamanya,
yaitu ilmu mantiq yang menurutnya merupakan salah satu unsur dasar dalam
mempelajari Ushul Fiqh, ia meyakini bahwa tidak mungkin memahami suatu keilmuan
secara sempurna kecuali dengan ilmu mantiq.
Kritik Ibn Taimiyyah terhadap Al-Ghazali tentang kejadian
jisim dan alam
Ketika Al-Ghazali menjelaskan tentang kesalahan kaum filosof
tentang pengingkaran Wujud Yang Pertama sebagai jisim, dikarenakan mereka
mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang kadangkala mengharuskan penggabungan antara
dua hal yang bertentangan, atau kadangkala membuang keduanya, maka disini Ibn
Taimiyyah mengkritik dalil-dalil yang digunakan Al-Ghazali dan pengikutnya yang
hanya memasukkan sedikit saja dalil-dalil Qur’an dalam penjelasannya, ia
menganggap Al-Ghazali dan pengikutnya seolah-olah tidak mengetahui atau
mengabaikan dalil-dalil Qur’an yang dianggapnya lebih cocok untuk diterapkan.
Sebagaimana dalam masalah kejadian alam dimana Al-Ghazali dan pengikutnya hanya
memfokuskan kritikannya pada dua ungkapan kaum filosof:
1. Ungkapan tentang hal lebih dulunya alam (Qidam Al-‘Alam),
dimana menurut para filosof apabila hal ini muncul dari adanya sebab yang
mewajibkannya, maka akibat harus bergandengan dengan sebabnya dalam hal
kekekalan dan keabadiannya.
2. Ungkapan bahwa perkara yang dikerjakan munculnya
dibelakang penciptanya, dan bahwa pencipta tidak boleh selalu bersabda dan
berbuat apa saja sesuai dengan keinginannya.
Kemudian Ibn Taimiyyah membeberkan bahwa dalam pandangannya
Al-Ghazali dan pengikutnya mengabaikan ungkapan yang benar yang telah
disepakati oleh ulama salaf, bahwa akibat datangnya selalu mengiringi Sang Maha
Penyebab, dimana apabila ia berkehendak mencipta sesuatu, maka sesuatu itu akan
muncul mengiringi penciptaan itu, sebagaimana sabda-Nya:
إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون “Sesungguhnya
perintahnya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya
‘jadilah’ maka terjadilah ia”
Dan inilah yang menurut Ibn Taimiyyah bisa
dicerna oleh akal, yang menurutnya hanya boleh menerima hal-hal yang sederhana
dan pasti (badihi), sebagaimana jatuhnya talak beriringan dengan pentalakan dan
datangnya kebebasan beriringan dengan pembebasan. Maka yang Allah SWT inginkan
akan terwujud dan yang tidak ia kehendaki tak akan pernah ada. Sudut pandang lain
Ibn Taimiyyah terhadap filsafat
Kita semua hampir sepakat bahwa Ibn Taimiyyah merupakan
sosok ulama yang menentang filsafat dengan keras, juga terhadap segala
pemikiran keagamaan yang dibumbui oleh campur tangan akal. Akan tetapi kalau
kita menelusuri lebih jauh sosok ini, kita akan menemukan warna yang berbeda
dalam pendapatnya, warna yang menurut penulis menunjukkan kapasitas
kaulamaannya secara murni tanpa dipengaruhi oleh gejala politik dan
sosio-kultural yang berkecamuk pada zamannya, hal ini terungkap ketika ia
menjelaskan tentang kemungkinan masuknya akal pada kehidupan agama dalam
menjelaskan makna ayat-ayat Allah SWT, dengan batasan tidak untuk mengurai Dzat
Allah SWT. Coba kita simak ungkapannya berikut ini:
“Adapun pengetahuan tentang makna ayat-ayat yang disampaikan
Allah SWT selagi tidak dalam lingkup ketuhanan-Nya, maka pemikiran dan
perkiraan bisa masuk kedalamnya, sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an. Karena
itulah, banyak dari ahli ibadah dan kaum sufi yang menganjurkan untuk melanggengkan
dzikir dan menjadikannya sebagai pintu untuk sampai kepada kebenaran, hal ini
akan lebih bagus apabila digabungkan dengan bertadabbur atas kandungan
ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan banyak juga dari para pemikir dan ahli
kalam yang menganjurkan untuk selalu berpikir dan merenung sebagai jalan untuk
mengetahui kebenaran. Kedua metode ini mempunyai sisi kebenaran masing-masing,
akan tetapi masih membutuhkan kebenaran yang terdapat pada yang lainnya, dan
keduanya harus dibersihkan dari kesesatan-kesesatan yang mungkin masuk dalam
keduanya dengan cara mengikuti apa yang telah disampaikan oleh Allah SWT dan
para Rasul-Nya.”
Dalam lembaran lainnya Ibn Taimiyyah kembali membuktikan
kapasitasnya sebagai seorang mujaddid dengan membagi ilmu dalam dua golongan:
1. Ilmu yang didapat dari akal. Seperti matematika, kedokteran,
perdagangan dan sebagainya, yang selanjutnya ia mengatakan bahwa ilmu filsafat
yang berupa mantiq, ilmu alam dan astronomi yang berasal dari India dan Yunani
beserta ilmu-ilmu lain dari Romawi dan Persia, ketika masuk dalam dunia Islam,
orang-orang Islam mengoreksi, memperbaiki dan menyempurnakannya dengan berbekal
kekuatan akal dan kefasihan bahasanya. Maka menurutnya ilmu-ilmu ini dalam
tangan kaum muslim menjadi lebih sempurna, lebih mencakup dan lebih gamblang,
walaupun selanjutnya ia mengecualikan permainan akal dalam masalah agama,
khususnya dalam masalah ketuhanan.
2. Ilmu yang dihasilkan dari petunjuk para Nabi dan Utusan. (di salin dari tulisan Prof. Mulyadhi)
0 Response to "Bedah Ke Filosofisan Ibn Taimiyyah"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR