Telaah Mantiq Ibn Taimiyyah
February 18, 2015
Add Comment
Faquha.site - Ibn Taimiyyah mendapatkan pengetahuan tentang mantiq dengan
mempelajari mantiq Aristoteles (322-384 SM) di mana sebagian besar ulama muslim
berkiblat kepadanya, sebagaimana ia mempelajari filsafat, ia pun mempelajari
mantiq untuk mencari titik kelemahan dari ilmu ini, dan setelah ia merasa cukup
ia pun mulai memberontak terhadap ilmu yang dianggapnya sebagai ilmu
orang-orang murtad ini, ia menggerakkan masyarakat disekitarnya untuk menentang
keberadaan ilmu ini dalam dunia Islam, dengan menjelaskan bahwa mantiq
merupakan barang asing bagi ranah pemikiran Islam, dan untuk membuktikan
kebenaran ajaran Islam tidak membutuhkan ilmu ini.
Lebih lanjut ia mengatakan
bahwa mantiq sama sekali tidak dapat digunakan sebagai timbangan kebenaran
sebagaimana selama ini didengungkan oleh kaum filosof, karena menurutnya mantiq
hanyalah berisi khayalan dan angan-angan.
Tidak cukup sampai disini, ia mengungkapkan bahwa sebenarnya
para fuqaha sebelum masa Al-Ghazali memandang mantiq dengan pandangan kebencian
dan penuh waspada terhadapnya dengan tujuan untuk menjaga ilmu Islam.
Al-Ghazali lah yang menurutnya sebagai orang pertama yang menyatakan keharusan
mengambil mantiq untuk menyempurnakan ilmu-ilmu keislaman. Ia kemudian
mengkutip ungkapan Ibn Sholah yang menuturkan kesesatan ilmu mantiq: “Mantiq
adalah pengantar filsafat, dan pengantar kesesatan adalah sesat, dan
bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya bukanlah perkara yang diperbolehkan
oleh Pembuat Syari’at, dan tidak ada satupun dari para Sahabat, Tabi’in, dan
Imam Mujtahid yang memperbolehkanya, sebagaimana pula para Ulama Salaf dan
pengikutnya”
Selanjutnya Ibn Taimiyyah mengkritik pengunaan
istilah-istilah filsafat dan mantiq dalam khazanah keilmuan Islam: “
Sesungguhnya ini ( mantiq) merupakan suatu bentuk pengingkaran yang buruk dan
model baru dari kebodohan. Dan pada dasarnya hukum syari’at tidak membutuhkan
mantiq, apa yang disangka pakar mantiq tentang mantiq sebagai penentu dan
burhan hanyalah gelembung-gelembung yang diberikan Allah SWT. kepada setiap
jiwa yang sehat, lebih-lebih dalam penggunaannya sebagai teori ilmu-ilmu
syari’at. Karena ilmu syari’at telah sempurna dan para ulama sudah mendalami
kebenarannya dengan sedetail-detailnya sehingga tidak dibutuhkan lagi ilmu
mantiq ataupun filsafat beserta para filosofnya. Dan barang siapa yang menganggap
bahwa ia mendalami mantiq dan filsafat dengan harapan mendapatkan manfaat dari
keduanya, maka sesungguhnya ia telah tertipu oleh syetan.”
Ibn Taimiyyah juga menyerang mantiq dari segi
ketidakmanfaatan ilmu ini, ia mengungkapkan bahwa tidak ada gunanya bagi
seseorang mempelajari ilmu ini, baik itu secara keilmuan maupun teori, dengan
dalih tidak ditemukannya satupun dari penduduk bumi yang berhasil menciptakan
suatu ilmu dan menjadi pemuka didalamnya dengan berbekal ilmu mantiq, baik ilmu
agama maupun lainnya. Dokter, Arsitek, Penulis, Ahli Statistik dan lainnya
menurutnya mendalami keilmuannya dan mengeluarkan produknya tanpa pertolongan
mantiq, sebelum mantiq datang pun para ulama Islam telah berhasil menyusun
ilmu-ilmu nahwu, arudh, dan fiqh beserta ushulnya.
Tidak cukup dengan ini, Ibn Taimiyyah meneruskan serangannya
pada ide dasar keilmuan ini yang bersumber pada pembagian ilmu menjadi
tashawwur(visualisasi) dan tashdiq(legalisasi) dimana jalan untuk mendapatkan
tashawwur adalah dengan had (definisi) dan jalan untuk mendapatkan tashdiq
adalah dengan qiyas(analogi), juga tentang kalam yang terbagi menjadi empat
tingkatan: dua tingkatan salbiah (negatif) dan dua tingkatan mujabah (positif),
semua pembagian ini dianggap Ibn Taimiyyah sebagai suatu betuk kebohongan dan
kebodohan baik dalam penafian maupun penetapannya, maka selanjutnya ia
mengingkari segala kebenaran yang diperoleh dengan sylogisme mantiq dan analogi
mantiq.
Kesimpulan dan Penutup (pemikiran filsafat dan mantiq ibn Taimiyyah)
Dari berbagai uraian diatas kita bisa mengambil kesimpulan
bahwa watak dan ungkapan seseorang merupakan cerminan dari situasi politik dan
sosio-kultural suatu masa, dimana semakin tinggi tingkat pressing suatu zaman
terhadap apa yang dipangkunya, maka semakin kuat pula daya balik yang
diakibatkannya, kondisi "masyarakat terpaksa" yang serba panik
dicekam oleh ketakutan perang dan dibumbui oleh perpecahan intern sudah
sewajarnya berdampak pada kejiwaan kumpulan masyarakat ini. Apalagi ditambah ruwetnya
pertentangan antar pemikiran dan masuknya ilmu-ilmu dari peradaban lain. Maka
yang agaknya menjadi fokus pertanyaan kita adalah:
"Tepatkah ungkapan-ungkapan atau fatwa-fatwa yang
tumbuh dalam kondisi politik dan sosio-kultural semacam ini untuk diterapkan
dalam kondisi yang menjadi latar belakang kita saat ini?". Sebuah
pertanyaan dari penulis yang semoga bisa mengantarkan kita untuk terus mencari
dan memahami berbagai kejadian histories, untuk kemudian kita bisa mengambil
manfaat dari apa yang kita pahami, khususnya dari sosok Ibn Taimiyyah yang kita
bahas saat ini.
Akhirnya beribu ungkapan terimakasih saya persembahkan untuk
Ayah dan Bunda yang selalu dan senantiasa mando'akan anaknya ini, dan tak lupa
ungkapan rasa salut kepada segenap rekan-rekan Fismaba selalu berusaha untuk
menambah wawasannya, permohonan maaf dari saya apabila dalam tulisan ini masih
terdapat banyak kesalahan. Allah…terimakasih atas segala karunia-Mu, karena
semuanya adalah milik-Mu, dari-Mu lah kami bisa memahami dan mengambil manfaat
dalam segalanya. (di salin dari catatan Prof. Mulyadhi)
0 Response to "Telaah Mantiq Ibn Taimiyyah"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR