-->

Tafsir Kontemporer; Bedah Teori Limit Muhammad Shahrur

Faquha.site -  Shahrur menawarkan Teori limit sebagai salah satu penyegaran dalam penafsiran al-Quran dalam karyanya yang monumental sekaligus kontroversial, al-Kitab wa al-Qur’an: al-Qira’ah al-Mu’asirah, Shahrur menamai dan merumuskan teori hudûdnya dari Q.S. an-Nisa: 13-14

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ 


Dalam ayat tersebut terdapat kalimat tilka hudûdullah dan pada ayat 14 terdapat kalimat wa yata’adda hudûdahu. Kata “hudûd” di sini berbentuk jamak (plural), bentuk mufrodnya adalah hadd artinya batas (limit). 

Pemakaian bentuk plural di sini menandakan bahwa hadd (batasan) yang ditentukan oleh Allah berjumlah banyak, dan manusia memiliki keleluasaan untuk memilih batasan-batasan tersebut sesuai dengan tuntutan juga situasi dan kondisi yang melingkupinya.

Konsekuensinya, hukum tidak boleh bersifat “tunggal” dengan satu pemahaman dan perspektif. Hukum Tuhan harus sesuai dengan kecenderungan manusia yang selalu berubah, maju, dan berkembang. Maka dalam al-Qur’an akan selalu dijumpai bahwa syariat hanya menentukan batasan-batasan (hudûd), ada yang berupa batasan maksimal (al-had al-a’la) atau batasan minimal (al-had al adna) maupun variasi keduanya. 

Penggunaan term “hudûd” di sini dinisbatkan kepada ḍamir mufrad (kata ganti tunggal) “hu” (dia) yang merujuk kepada Tuhan (Allah) saja. Sedangkan penggalan ayat sebelumnya yang berbunyi wa man ya’sillaha wa rasulahu wa ya ta’adda hudûdahu menegaskan bahwa perbuatan maksiat (menolak untuk melaksanakan) dapat dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya, tetapi pelanggaran hukum hanya terjadi pada Tuhan

Karena otoritas penentuan hukum syariat yang terus berlaku hingga hari kiamat itu hanya milik Allah. Dia tidak pernah memberikan otoritas ini kepada yang lain, bahkan kepada nabi Muhammad sekalipun. Karena jika Muhammad mempunyai otoritas penentuan hukum ini, niscaya ayat tersebut akan berbunyi wa man ya’sillaha wa rasulahu wa yata’adda hudûdahuma (dengan menggunakan kata ganti huwa)

Sebagaimana disebut di atas bahwa otoritas penentuan hukum (syariat) hanya dimiliki Allah, karena itu Allah adalah satu-satunya penentu hukum yang berlaku hingga akhir zaman. Asumsi ini meniscayakan bahwa hukum yang bersumber dari Tuhan memiliki sifat universal, berlaku untuk segala situasi dan kondisi, sesuai di setiap waktu dan tempat (shallih li kulli zamān wa al-makān) Dalam buku Al-Kitab wa al-Qur’an: al-Qira’ah al-Mu’asirah, Shahrur memaparkan awal mula ide teori limit ini sebagai berikut:

Suatu hari sebuah ide muncul dikepala saya ketika saya menyampaikan mata kuliah teknik di Jurusan Teknik Sipil tentang bagaimana membuat jalan padat. Kami sedang melakukan apa yang disebut sebagai ‘uji keamanan, yang kami gunakan sebagai contoh dan cara menguji tanah yang digunakan untuk mengisi tanggul.

Dalam ujian ini kami mengelurakan dan menambahkan (tanah). Kami mendapatkan sumbu x dan sumbu y, sebuah hiperbola. Kami menemui risiko yang mendasar. Lalu kami menggambar sebuah kurva dan meletakkan garis di atasnya. Garis ini adalah batas maksimum. Kemudian timbul ide dalam pikiran saya tentang ‘batasan Tuhan (hudûdullah)

Sampai disini, saya kembali ke rumah dan membuka al-Quran. Dalam matematika, kita hanya mendapatkan lima cara menyuguhkan batas (limit). Saya menemukan lima kasus yang dapat menampung ide tentang batas hukum Tuhan. Pemahaman yang sudah umum adalah bahwa Allah tidak menentukan aturan tingkah laku secara tepat, tetapi hanya menciptakan batas-batas yang di dalamnya masyarakat dapat menyusun aturan dan hukum mereka sendiri.

Saya telah menulis ide tentang integritas/keutuhan (al-istiqamah) dan aturan moral atau etika yang universal. Pada awalnya, ide ini hanya menjadi catatan saya dalam pembahasan terakhir dalam buku saya tetapi saya melihat bahwa teori ini merupakan perwujudan ide utama saya, maka saya mengoreksi semua yang telah saya tulis tetang hudûdullah di buku agar pembahasan menjadi konsisten. Hingga saya menilai bahwa pendapat saya telah benar.

Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu, sejarah. Sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan oleh Allah Swt. Kurva (al-hanifiyyah) menggambarkan dinamika Ijtihad manusia, bergerak sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan itu dibatasi dengan batasan hukum yang telah ditetapkan Allah swt. (sumbu Y) dengan demikian hubungan antara kurva dengan garis lurus secara keseluruhan bersifat dialektik, yang tetap dan akan berubah seanantiasa saling terkait. Dialektika adalah kemestian untuk menunjukkan bahwa hukum itu adaptable terhadap  konteks ruang dan waktu. Shahrur menjelaskan teori limitnya dengan enam gambar berikut ini:

Petama: Ketentuan hukum yang hanya mempunyai batas atas, dalam hal ini dicontohkan (had al-‘ala) posisi batas maksismum, dalam kasus ini Shahrur mencontohkan kasus pencurian, hukuman bagi pencuri adalah potong tangan. Namun perlu diperhatikan potong tangan merupakan hukuman maksimal menurut Shahrur bagi pelaku pencurian. Tentunya alternatif hukuman disesuaikan oleh hukum yang berlaku di suatu negara yang melaksanakan hukuman itu.

Kedua: Berbentuk kurva terbuka yang memiliki satu titik balik minimum diistilahkan dengan al-halah al-adna (posisi batas minimal) sehingga penetapan hukum hanya diperbolehkan bergerak tepat di garis dan di atas minimal dan tidak boleh melampauinya.

Ayat-ayat hudûd yang termasuk kategori ini adalah ayat-ayat tentang pakaian wanita Q.S. an-Nur: 31, ayat-ayat tentang muharramat (orang-orang yang haram dinikahi) Q.S. an-Nisa: 22-23, ayat tentang jenis-jenis makanan yang haram dimakan Q.S. al-Maidah: 

Ketiga: Berupa gelombang (gabungan antara kurva terbuka dan kurva tertutup) yang memiliki sebuah titik balik maksimum dan sebuah titik balik minimum. Posisi ini diistilahkan dengan “al-haddain al-a’la wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal dan minimal bersamaan.

Contoh Hukum yang sekaligus mempunyai batas atas dan batas bawah sekaligus dalam titik secara bersamaan seperti hukuman an-Nur: 2 terhadap perempuan yang berzina dengan seratus kali cambukan (yang merupakan batas minimal sekaligus juga batas maksimal).

Tipe hukum yang mempunyai kurva yang bergerak antara batas bawah dan batas atas saling mendekati namun tidak bersinggungan/bersentuhan, seperti larangan mendekati zina merupakan batasan maksimal yang tidak boleh dilampui

Keempat: Hukum yang mempunyai kurva yang bergerak antara batas yang positif dan batas yang bawah negatif, seperti dalam hal-hal yang berkaitan dengan keuangan

Contohnya pembayaran pajak, memberikan pinjaman yang bebas (tanpa) keuntungan/tambahan, dan pinjaman (utang) dengan mendapatkan keuntungan. Dua batas itu menggambarkan riba sebagai batas atas yang tetap, dan zakat sebagai batas bawah yang meniadakan.




                       




                                                                       


Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Tafsir Kontemporer; Bedah Teori Limit Muhammad Shahrur "

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel