Tafsir Kontemporer; Bedah Teori Limit Muhammad Shahrur
January 30, 2015
Add Comment
Faquha.site - Shahrur menawarkan Teori limit sebagai salah satu penyegaran
dalam penafsiran al-Quran dalam karyanya yang monumental sekaligus
kontroversial, al-Kitab wa al-Qur’an: al-Qira’ah al-Mu’asirah,
Shahrur menamai dan merumuskan teori hudûdnya dari Q.S. an-Nisa: 13-14
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Dalam ayat tersebut terdapat kalimat “tilka hudûdullah” dan pada ayat 14 terdapat kalimat wa
yata’adda hudûdahu. Kata “hudûd” di sini berbentuk jamak (plural), bentuk
mufrodnya adalah hadd artinya
batas (limit).
Pemakaian bentuk
plural di sini menandakan bahwa hadd (batasan) yang ditentukan
oleh Allah berjumlah banyak, dan manusia memiliki keleluasaan untuk memilih
batasan-batasan tersebut sesuai dengan tuntutan juga situasi dan kondisi yang
melingkupinya.
Konsekuensinya, hukum tidak boleh bersifat “tunggal” dengan
satu pemahaman dan perspektif. Hukum Tuhan harus sesuai dengan kecenderungan
manusia yang selalu berubah, maju, dan berkembang. Maka dalam al-Qur’an akan
selalu dijumpai bahwa syariat hanya menentukan batasan-batasan (hudûd),
ada yang berupa batasan maksimal (al-had al-a’la) atau batasan
minimal (al-had al adna) maupun variasi keduanya.
Penggunaan term “hudûd” di sini dinisbatkan kepada ḍamir
mufrad (kata ganti tunggal) “hu” (dia) yang merujuk
kepada Tuhan (Allah) saja. Sedangkan penggalan ayat sebelumnya yang berbunyi wa
man ya’sillaha wa rasulahu wa ya ta’adda hudûdahu menegaskan bahwa
perbuatan maksiat (menolak untuk melaksanakan) dapat dilakukan terhadap Allah
dan Rasul-Nya, tetapi pelanggaran hukum hanya terjadi pada Tuhan
Karena
otoritas penentuan hukum syariat yang terus berlaku hingga hari kiamat itu
hanya milik Allah. Dia tidak pernah memberikan otoritas ini kepada yang lain,
bahkan kepada nabi Muhammad sekalipun. Karena jika
Muhammad mempunyai otoritas penentuan hukum ini, niscaya ayat tersebut akan
berbunyi wa man ya’sillaha wa rasulahu wa yata’adda hudûdahuma (dengan
menggunakan kata ganti huwa)
Sebagaimana
disebut di atas bahwa otoritas penentuan hukum (syariat) hanya
dimiliki Allah, karena itu Allah adalah satu-satunya penentu hukum yang berlaku
hingga akhir zaman. Asumsi ini meniscayakan bahwa hukum yang bersumber dari
Tuhan memiliki sifat universal, berlaku untuk segala situasi dan kondisi,
sesuai di setiap waktu dan tempat (shallih li kulli zamān wa al-makān) Dalam
buku Al-Kitab wa al-Qur’an: al-Qira’ah al-Mu’asirah, Shahrur
memaparkan awal mula ide teori limit ini sebagai berikut:
“Suatu
hari sebuah ide muncul dikepala saya ketika saya menyampaikan mata kuliah
teknik di Jurusan Teknik Sipil tentang bagaimana membuat jalan padat. Kami
sedang melakukan apa yang disebut sebagai ‘uji keamanan, yang kami gunakan
sebagai contoh dan cara menguji tanah yang digunakan untuk mengisi tanggul.
Dalam ujian ini kami mengelurakan dan menambahkan (tanah).
Kami mendapatkan sumbu x dan sumbu y, sebuah hiperbola. Kami menemui risiko
yang mendasar. Lalu kami menggambar sebuah kurva dan meletakkan garis di
atasnya. Garis ini adalah batas maksimum. Kemudian timbul ide dalam pikiran
saya tentang ‘batasan Tuhan (hudûdullah)
Sampai disini, saya kembali ke rumah dan membuka al-Quran.
Dalam matematika, kita hanya mendapatkan lima cara menyuguhkan batas (limit).
Saya menemukan lima kasus yang dapat menampung ide tentang batas hukum Tuhan.
Pemahaman yang sudah umum adalah bahwa Allah tidak menentukan aturan tingkah
laku secara tepat, tetapi hanya menciptakan batas-batas yang di dalamnya
masyarakat dapat menyusun aturan dan hukum mereka sendiri.
Saya telah menulis ide tentang integritas/keutuhan (al-istiqamah)
dan aturan moral atau etika yang universal. Pada awalnya, ide ini hanya menjadi
catatan saya dalam pembahasan terakhir dalam buku saya tetapi saya melihat
bahwa teori ini merupakan perwujudan ide utama saya, maka saya mengoreksi semua
yang telah saya tulis tetang hudûdullah di buku agar pembahasan menjadi
konsisten. Hingga saya menilai bahwa pendapat saya telah benar.
Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu, sejarah.
Sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan oleh Allah Swt. Kurva
(al-hanifiyyah) menggambarkan dinamika Ijtihad manusia, bergerak sejalan dengan
sumbu X. Namun gerakan itu dibatasi dengan batasan hukum yang telah ditetapkan
Allah swt. (sumbu Y) dengan demikian hubungan antara kurva dengan garis lurus
secara keseluruhan bersifat dialektik, yang tetap dan akan berubah seanantiasa
saling terkait. Dialektika adalah kemestian untuk menunjukkan bahwa hukum itu
adaptable terhadap konteks ruang dan waktu. Shahrur menjelaskan teori
limitnya dengan enam gambar berikut ini:
Petama: Ketentuan hukum yang hanya mempunyai
batas atas, dalam hal ini dicontohkan
(had al-‘ala) posisi batas maksismum, dalam kasus ini Shahrur
mencontohkan kasus pencurian, hukuman bagi pencuri adalah potong tangan. Namun
perlu diperhatikan potong tangan merupakan hukuman maksimal menurut Shahrur
bagi pelaku pencurian. Tentunya alternatif hukuman disesuaikan oleh hukum yang
berlaku di suatu negara yang melaksanakan hukuman itu.
Kedua: Berbentuk kurva terbuka yang memiliki
satu titik balik minimum diistilahkan dengan al-halah al-adna (posisi
batas minimal) sehingga penetapan hukum hanya diperbolehkan bergerak tepat di
garis dan di atas minimal dan tidak boleh melampauinya.
Ayat-ayat hudûd yang termasuk kategori ini adalah ayat-ayat tentang pakaian wanita
Q.S. an-Nur: 31, ayat-ayat tentang muharramat (orang-orang yang haram
dinikahi) Q.S. an-Nisa: 22-23, ayat tentang jenis-jenis makanan yang haram
dimakan Q.S. al-Maidah:
Ketiga: Berupa gelombang (gabungan antara kurva
terbuka dan kurva tertutup) yang memiliki sebuah titik balik maksimum dan
sebuah titik balik minimum. Posisi ini diistilahkan dengan “al-haddain
al-a’la wa al-adna ma’an” (posisi
batas maksimal dan minimal bersamaan.
Contoh Hukum yang
sekaligus mempunyai batas atas dan batas bawah sekaligus dalam titik secara
bersamaan seperti hukuman an-Nur: 2 terhadap perempuan yang berzina dengan
seratus kali cambukan (yang merupakan batas minimal sekaligus juga batas
maksimal).
Tipe hukum yang mempunyai kurva yang bergerak antara batas
bawah dan batas atas saling mendekati namun tidak bersinggungan/bersentuhan,
seperti larangan mendekati zina merupakan batasan maksimal yang tidak boleh
dilampui
Keempat: Hukum yang mempunyai kurva yang
bergerak antara batas yang positif dan batas yang bawah negatif, seperti dalam
hal-hal yang berkaitan dengan keuangan
Contohnya
pembayaran pajak, memberikan pinjaman yang bebas (tanpa) keuntungan/tambahan,
dan pinjaman (utang) dengan mendapatkan keuntungan. Dua batas itu menggambarkan
riba sebagai batas atas yang tetap, dan zakat sebagai batas bawah yang
meniadakan.
0 Response to "Tafsir Kontemporer; Bedah Teori Limit Muhammad Shahrur "
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR