-->

Konsep Penafsiran dengan Pendekatan Maqasid al-syari’ah

Prinsip kontekstualisasi penafsiran al-Qur’an yang telah diterapkan oleh penafsir sebelumnya, seperti Fazlur Rahman, Syahrur, Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha sepakat bahwa penafsiran al-Qur’an haruslah bersifat kontekstual dan mampu menjadi problem solver.

Prinsip ini didasarkan pada pandangan ontologis bahwa al-Qur’ân sâlihun li kulli zamân wa makân. Akan tetapi dalam menjaga dan mengaplikasikan prinsip ini, masing-masing memiliki kecenderungan metode tersendiri. Sebagaimana Fazlur Rahman dengan metode double movement-nya dan Syahrur dengan teori batasnya (nazâriyyah al-hudûd).  

Pada dasarnya, pendekatan maqasid al-syariah dalam penafsiran juga mengikuti paradigma tafsir kontektual. Terlepas tafsir maqasidi termasuk bagian dari tafsir  kontekstual atau tidak, keduanya mempunyai tujuan sama, yaitu salihun li kulli zaman wa makan sehingga akan meminimalisir perbedaan pendapat serta dapat mengungkap makna universal al-Qur’an. Namun, pendekatan maqasid al-syariah berusaha mempresentasikan langkah-langkah komprehensif dan mandiri sebagai pendekatan penafsiran baru.

Titik awal penafsiran tafsir corak kontekstual berorientasi pada konteks situasi dan kondisi yang mengelilingi pembaca, sedangkan tafsir maqasidi ini berangkat dari beberapa pendekatan tujuan-tujuan disyari’atkannya hukum Allah yaitu untuk kemaslahatan yang telah dirumuskan melalui nilai-nilai universal. Nilai-nilai universal inilah yang menjadikan bagian dari maksud (maqasid al-syari’ah).

Pengembangan Tafsir al-Qur´ân yang terbatas secara kuantitatif dapat dilakukan dengan menggunakan metode istinbat, seperti qiyâs, istihsân, maslahah mursalah. Dalam hal lain bisa disebut dengan dalil hukum Islam. Metode istinbat tersebut adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqasid al-syari’ah ketika diaplikasikan dalam kajian ushul fikih.

Secara umum metode istinbat dikategorikan menjadi dua: Pertama, dari aspek kebahasaan, seperti amr, nahi, takhyir, am dan khas, mutlak dan muqayyad, mantuq dan mafhum, ta’wil dan lafadz yang dilihat dari segi jelas (wâdih) atau tidak jelas (goiru wâdih) maknanya.

Kedua, adalah metode penetapan hukum melalui maqasid al-syari’ah, berangkat dari beberapa tujuan teks, hukum-hukumnya serta hikmah-hikmah di balik ayat. Demikianlah maqasid al-syari’ah akan mewarnai aktifitas penafsiran terhadap teks al-Qur’an.

Ibn ‘Âsyûr dan Tafsir Maqasidi

Ibn ‘Asyûr adalah seorang mufassir dan ahli maqasid modern-kontemporer asal Tunisia. Dia menuliskan gagasannya ke dalam beberapa karya, di antaranya: berbentuk teori dalam kitab Maqasid al-Syari’ah al-Islâmiyyah dan berbentuk aplikasi (tatbiqi), tertuang dalam kitab tafsirnya yang menggunakan pendekatan maqasid al-syari’ah sebagai piranti penafsiran, selain kaidah kebahasaan (lughawi).

Karakteristik tafsir maqasidi menurut Ibn ‘Asyûr adalah menguraikan maksud al-Qur’an yang terdiri dari :

a. Maqasid al-a’la dalam al-Qur’an, yaitu mengedepankan kemaslahatan individu, sosial dan                   lingkungan.

b. Maqasîd al-asliyyah termasuk kebutuhan di bawah maqâsid al-a’la. Melalui istiqra’ (penelitian            langsung dalam teks-teks), Ibn ‘Asyûr meringkas ke dalam delapan tujuan:
1. Mereformasi keyakinan.
2. Mendidik akhlak
3. Pensyari’atan (membuat atau menetapkan syari’at)
4. Me-manage manusia, mencakup kemaslahatan manusia dan menjaga peraturan manusia.
5. Cerita-cerita umat terdahulu, di satu sisi untuk mengikuti kebaikan perilaku mereka dan di sisi             lain untuk memperingatkan tentang keburukan-keburukan mereka.
6. Mengajarkan hal yang sesuai dengan kondisi masa orang yang diajak bicara untuk                               menyampaikan syari’at dan menyebarkannya. Itulah ilmu syari’at.
7. Beberapa nasihat dan peringatan serta kabar-kabar gembira.
8. Kemu’jizatan al-Qur’an

Maka, menurut Ibn ‘Asyûr tujuan seorang mufassir adalah :

“Menjelaskan hal yang berhubungan dengan al-Qur’an, atau menjelaskan sesuatu yang dimaksud Allah dalam kitab-Nya dengan menyempurnakan penjelasan yang dikandung makna dan tidak meninggalkan lafadz yang merupakan bagian dari tujuan al-Qur’an, memberikan pemahaman mufassir semaksimal mungkin secara terperinci disertai memberikan bukti-bukti meskipun maqasid-nya itu tersembunyi. Jadi tugas dari seorang mufassir adalah memahami dan menjelaskan ruang lingkup maqasid ”

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Konsep Penafsiran dengan Pendekatan Maqasid al-syari’ah"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel