-->

Kiai Mustain Syafii; Muhammadiyah jadi ngawur setelah punya Majelist Tarjih


Faquha News – Berikut adalah Sejarah NU-Muhammadiyyah versi Kiai Mustain Syafii yang juga dikenal sebagai "Kiai Koran" lantaran mengasuh uraian tafsir di sebuah harian lokal

Kiai Ahmad dahlan dan Kiai Hasyim Asy'ari itu sekawan, sama-sama menuntut ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli hadits dan sama-sama ahli fikih. Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat kesepakatan menyebarkan Islam menurut skil dan lingkungan masing-masing.

Kiai Ahmad Dahlan bergerak di bidang dakwah dan pendidikan perkotaan, karena berasal dari kuto Ngayokyokarto (Jogjakarta). Sementara kiai Hasim memilih pendidikan pesantren karena karena wong ndeso, Jombang. Keduanya adalah orang hebat, ikhlas dan mulia. Allahumma ighfir lahuma.

Keduanya memperjuangkan kemerdekaan negri ini dengan cara melandasi anak bangsa dengan pendidikan dan agama. Kyai Dahlan mendirikan Muhammadiyah (MU) dan kyai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama’ (NU). Saat beliau berdua masih hidup, tata ibadah yang diamalkan di masyarakat umumnya sama meski ada perbedaan yang sama sekali tidak mengganggu.Contoh kesamaan praktek ibadah kala itu antara lain: 

1. Kyai Dahlan dan Kyai Hasyim sama-sama melakukan sholat tarawih 20 rokaat. 
2. Kyai Dahlan disebut-sebut sebagai imam sholat di Masjid Syuhada Yogyakarta.
3.Talqin mayit di kuburan, bahkan ziarah kubur dan kirim do’a(Yasinan dan Tahlilan)
4. Baca Qunut Subuh
5. Sama-sama gemar bersholawat (Diba’an).
6. Dua kali khutbah dalam Sholat Ied. 
7. Tiga kali takbir “Allahu Akbar”, dalam takbiran.
8. Itsbat Hilal, sama-sama pakai rukyat. 

Yang terakhir inilah yang menarik direnungkan, bukan dihakimi mana yang benar mana yang salah.
Semua amaliah tersebut berjalan dan bertahan puluhan tahun. Semuanya tertulis dalam kitab “Fikih Muhammadiyah” yang terdiri dari 3 jilid, diterbitkan oleh Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka, Yogyakarta, sekitar tahun 1343 H.

Namun ketika Muhammadiyah membentuk Majlis tarjih, dari sini mulai ada perbedaan praktik ibadah yang “harus beda” dengan pendahulunya. Dan tentu berbeda dengan NU. Perkara dalil akan dicari belakangan.

Disinyalir, praktik beda tersebut lebih dipengaruhi politik daripada kesohihan hujjah dan fadhilah amaliyah. Untuk ini, ada sebuah tesis yang meneliti Hadits-hadits yang dijadikan rujukan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan hokum atau pola ibadah yang dipilih.

Setelah uji takhrij berstandar mutawassith, kesimpulannya adalah: bahwa mayoritas hadits-hadits yang dipakai hujjah Majlis Tarjih adalah dlaif. Itu belum dinaikan pakai uji takhrij berstandar mutasyaddid versi Ibnu Ma'in. Menurut mayoritas Muhadditsin, hadis dlaif tidak boleh dijadikan hujjah hukum, tapi boleh sebagai dasar amaliyah berfadlilah atau fadlailul Amal.

Dalil yang dipakai Majelis Tarjih Muhammadiyyah suka dicari-cari secara ngawur. Contohnya ketika Majlis Tarjih memfatwakan Sholat tarawih 11 rokaat, mari kita lihat praktiknya.
Awalnya, dengan komposisi : 4, 4, 3 (empat rokaat satu salam, empat rokaat satu salam) ini untuk tarawih. Dan tiga rokaat untuk witir (model Imam Hanafi), sementara NU dua-dua semua dan satu witir (model Imam Syafi’i).

Tetapi pada 1987 model tarawih tersebut diubah menjadi dua-dua. Hal tersebut atas saran KH. Shidiq Abbas dari Jombang. Beliau tampilkan hadits dari Shohih Imam Muslim yang meriwayatkan begitu.

Karena hadits Muslim lebih shaheh ketimbang hadits empat tempat, maka semua peserta tunduk. Akibatnya, tahun itu ada selebaran keputusan Majlis Tarjih yang diedarkan ke semua mesjid dan musholla di lingkungan Muhammadiyah, bahwa praktek shalat tarawih pakai komposisi dua-dua, hingga sekarang, meski sebagian masih ada yang tetap bertahan pada empat-empat. Inilah fakta sejarah

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Kiai Mustain Syafii; Muhammadiyah jadi ngawur setelah punya Majelist Tarjih"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel