Kiai Mustain Syafii; Muhammadiyah jadi ngawur setelah punya Majelist Tarjih
January 30, 2015
Add Comment
Faquha News – Berikut adalah Sejarah NU-Muhammadiyyah versi Kiai Mustain Syafii
yang juga dikenal sebagai "Kiai Koran" lantaran mengasuh uraian
tafsir di sebuah harian lokal
Kiai Ahmad dahlan dan Kiai Hasyim Asy'ari itu sekawan,
sama-sama menuntut ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli hadits dan
sama-sama ahli fikih. Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat
kesepakatan menyebarkan Islam menurut skil dan lingkungan masing-masing.
Kiai Ahmad Dahlan bergerak di bidang dakwah dan pendidikan
perkotaan, karena berasal dari kuto Ngayokyokarto (Jogjakarta). Sementara kiai
Hasim memilih pendidikan pesantren karena karena wong ndeso, Jombang. Keduanya
adalah orang hebat, ikhlas dan mulia. Allahumma ighfir lahuma.
Keduanya memperjuangkan kemerdekaan negri ini dengan cara
melandasi anak bangsa dengan pendidikan dan agama. Kyai Dahlan mendirikan
Muhammadiyah (MU) dan kyai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama’ (NU). Saat beliau
berdua masih hidup, tata ibadah yang diamalkan di masyarakat umumnya sama meski
ada perbedaan yang sama sekali tidak mengganggu.Contoh kesamaan praktek ibadah kala itu antara lain:
1. Kyai Dahlan dan Kyai Hasyim sama-sama melakukan
sholat tarawih 20 rokaat.
2. Kyai Dahlan disebut-sebut sebagai imam sholat di
Masjid Syuhada Yogyakarta.
3.Talqin mayit di kuburan, bahkan ziarah kubur dan kirim
do’a(Yasinan dan Tahlilan)
4. Baca Qunut Subuh
5. Sama-sama gemar bersholawat (Diba’an).
6. Dua kali khutbah dalam Sholat Ied.
7. Tiga kali takbir “Allahu Akbar”, dalam takbiran.
8. Itsbat Hilal, sama-sama pakai rukyat.
Yang terakhir inilah yang
menarik direnungkan, bukan dihakimi mana yang benar mana yang salah.
Semua
amaliah tersebut berjalan dan bertahan puluhan tahun. Semuanya tertulis dalam
kitab “Fikih Muhammadiyah” yang terdiri dari 3 jilid, diterbitkan oleh
Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka, Yogyakarta, sekitar tahun 1343 H.
Namun
ketika Muhammadiyah membentuk Majlis tarjih, dari sini mulai ada perbedaan
praktik ibadah yang “harus beda” dengan pendahulunya. Dan tentu berbeda dengan
NU. Perkara dalil akan dicari belakangan.
Disinyalir,
praktik beda tersebut lebih dipengaruhi politik daripada kesohihan hujjah dan
fadhilah amaliyah. Untuk ini, ada sebuah tesis yang meneliti Hadits-hadits yang
dijadikan rujukan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan hokum atau pola
ibadah yang dipilih.
Setelah
uji takhrij berstandar mutawassith, kesimpulannya adalah: bahwa
mayoritas hadits-hadits yang dipakai hujjah Majlis Tarjih adalah dlaif.
Itu belum dinaikan pakai uji takhrij berstandar mutasyaddid versi Ibnu Ma'in. Menurut mayoritas Muhadditsin,
hadis dlaif tidak boleh dijadikan hujjah hukum, tapi boleh sebagai dasar
amaliyah berfadlilah atau fadlailul Amal.
Dalil yang
dipakai Majelis Tarjih Muhammadiyyah suka dicari-cari secara ngawur. Contohnya
ketika Majlis Tarjih memfatwakan Sholat tarawih 11 rokaat, mari kita lihat
praktiknya.
Awalnya, dengan komposisi : 4, 4, 3 (empat rokaat satu
salam, empat rokaat satu salam) ini untuk tarawih. Dan tiga rokaat untuk witir
(model Imam Hanafi), sementara NU dua-dua semua dan satu witir (model Imam
Syafi’i).
Tetapi pada 1987 model tarawih tersebut diubah menjadi
dua-dua. Hal tersebut atas saran KH. Shidiq Abbas dari Jombang. Beliau
tampilkan hadits dari Shohih Imam Muslim yang meriwayatkan begitu.
Karena hadits Muslim lebih shaheh ketimbang hadits empat tempat, maka semua peserta
tunduk. Akibatnya, tahun itu ada
selebaran keputusan Majlis Tarjih yang diedarkan ke semua mesjid dan musholla
di lingkungan Muhammadiyah, bahwa praktek shalat tarawih pakai komposisi
dua-dua, hingga sekarang, meski sebagian masih ada yang tetap bertahan pada empat-empat.
Inilah fakta sejarah
0 Response to "Kiai Mustain Syafii; Muhammadiyah jadi ngawur setelah punya Majelist Tarjih"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR