Hierarki kebutuhan dalam Maqasid syari’ah dalam prespektif al-Syatibi
January 12, 2015
Add Comment
Para ahli ushul fikih mengkategorikan maqasid
ke dalam tiga macam, seperti al-Juwaini dan al-Syatibi, dia menyebutnya dengan maqasid
al-kubra yang terdiri dari maqasid al-tsalâsah, yaitu daruriyyah,
hajiyyah dan tahsiniyyah.[1]
1.
Daruriyyah (Primer)
Dalam wilayah al-darûriyyah,
al-Syatibi menghendaki bahwa al-daruriyyah harus ada dan terpenuhi demi
tegaknya kemaslahatan dunia dan akhirat. Jika ia tidak ada, maka tidak dapat
menarik kemaslahatan dunia, bahkan akan terjadi kekacauan, kerusakan, dan
kehilangan kehidupan.
Konsep al-darûriyyah ini berlaku
dalam bidang wilayah ibadah, muamalah, adat, dan jinayah. Artinya
untuk memelihara kemaslahatan daruriyyah dengan cara
menghindarkan dari kerusakan atau ketiadaan (murâ’ah min jânib
al-‘adam). [2]
Seperti contoh darûriyyah
menjaga jiwa dari
segi keberadaannya (min nâhiyat al-wujûd) yaitu dengan memberi nutrisi berupa makanan dan minuman
Sedangkan menjaga
jiwa dari segi segi ke-tidak-ada-annya (min nâhiyat
al-‘adam) menjalankan sanksi qisas
dan diyat terhadap pidana pembunuhan.[3] Dalam bidang ibadah seperti syahadatain, shalat, zakat, puasa dan haji adalah dalam rangka mewujudkan hifd al-dîn.[4]
2. Hajiyyah
(Sekunder)
al-hajiyyah adalah sesuatu yang dibutuhkan dari sisi
kemampuannya mendatangkan kemudahan dan kesulitan. Artinya mayoritas dibutuhkan
untuk meluaskan dan menghilangkan kesusuhan disebabkan tuntutan tersebut. Maslahah
semacam ini jika tidak diperhatikan, akan muncul kesulitan dan kesempitan,
namun tidak sampai menimbulkan kerusakan dalam kemaslahatan umum sebagaimana al-darûriyyah.
Hajiyat berlaku pada wilayah ibadah, adat, muamalah,
dan jinayah. Misalnya dalam wilayah ibadah, adanya rukhsah
melakukan shalat dengan duduk, berbaring, atau hanya dengan isyarat disebabkan
sakit atau juga rukhsah men-jama’ atau meng-qasar shalat
dikarenakan dalam keadaan bepergian. Hal tersebut, dipertimbangkan atas dasar masyaqqah
(kesulitan).
Dalam bidang adat, seperti
diperbolehkannya memakan binatang buruan serta bangkai, memakai pakaian yang
baik, mendiami rumah yang baik, dan memakai kendaraan yang baik. Sedangkan
dalam bidang mu’amalah, diperbolehkan penjualan secara salam (pesan),
istisna muzara’ah, murabahah (bagi hasil), serta diperbolehkan cerai
untuk menghindari kemadharatan bagi suami istri.
Demikian juga dalam bidang jinayah
seperti dikenakannya diyat atas ‘aqilah (orang yang berakal),
qasamah dan menolak hudud lantaran adanya kesamaran-kesamaran.[5]
3.
Tahsîniyyah (Tersier)
al-tahsîniyyah adalah mengambil sesuatu yang dianggap pantas
terkait kebiasaan-kebiasaan yang baik, menghindari hal-hal tercela atas
pertimbangan akal yang sehat. Apabila tidak ada hal tersebut
tidak berarti merusak keharmonisan kehidupan manusia.[6]. Konsep ini mencakup
dalam bidang ibadah, adat, mu’amalah, dan jinayah.
Dalam
bidang ibadah seperti kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai
perhiasan, mendekatkan diri dengan memperbanyak perbuatan baik yang disunahkan, seperti sedekah
dan ibadah lainnya. Dalam bidang adat, seperti mempraktekkan adab makan, minum,
menjauhi tempat makan dan minum yang najis, tindakan melewati batas, dan
lain-lain.
Sedangkan dalam bidang jinayah,
tidak diperbolehkannya membunuh anak-anak dan wanita dalam peperangan, pemeliharaan
terhadap wanita berkeliaran di jalan raya dengan memamerkan pakaian yang
merangsang nafsu seks.[7] Kesemuannya dalam
rangka mewujudkan keindahan, kenyamanan, dan kesopanan dalam kehidupan mukallaf.
[3]
Lebih lanjut lihat di http://www.makalahkuliah.com/2012/12/Maqashid-Syariah-Dalam-Penetapan-Hukum-Islam.html, diakses
tanggal 27 Des 2012, Pukul. 10.00.
[5]
M. Alfatih Suryadilaga, “Tujuan diturunkannya
Syari’at Islam” dalam Metodologi Hukum Islam (Yogyakarta: Teras, 2008), cet 1,
hlm. 95.
[6]
Tahsiniyyah sering disebut dengan
makarim al-akhlak. Namun menurut Toha Abdurrahman sebagaimana dikutip oleh Asmuni M.Th dalam
jurnal menyatakan bahwa mengklaim maka>rim al-akhla>k termasuk kategori tahsiniyyat
dalam maqasid al-syari’ah dalam pengertiannya masalih adalah
suatu kekeliruan. Karena, mengingat masuknya makarim al-akhlak pada semua jenis masalih.
0 Response to "Hierarki kebutuhan dalam Maqasid syari’ah dalam prespektif al-Syatibi"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR