-->

Hierarki kebutuhan dalam Maqasid syari’ah dalam prespektif al-Syatibi

Para ahli ushul fikih mengkategorikan maqasid ke dalam tiga macam, seperti al-Juwaini dan al-Syatibi, dia menyebutnya dengan maqasid al-kubra yang terdiri dari maqasid al-tsalâsah, yaitu daruriyyah, hajiyyah dan tahsiniyyah.[1]

1.      Daruriyyah (Primer)
      Dalam wilayah al-darûriyyah, al-Syatibi menghendaki bahwa al-daruriyyah harus ada dan terpenuhi demi tegaknya kemaslahatan dunia dan akhirat. Jika ia tidak ada, maka tidak dapat menarik kemaslahatan dunia, bahkan akan terjadi kekacauan, kerusakan, dan kehilangan kehidupan.

      Konsep al-darûriyyah ini berlaku dalam bidang wilayah ibadah, muamalah, adat, dan jinayah. Artinya untuk memelihara kemaslahatan daruriyyah dengan cara menghindarkan dari kerusakan atau ketiadaan (murâ’ah min jânib al-‘adam). [2] Seperti contoh darûriyyah menjaga jiwa dari segi keberadaannya (min nâhiyat al-wujûd) yaitu dengan memberi nutrisi berupa makanan dan minuman

      Sedangkan menjaga jiwa dari segi segi ke-tidak-ada-annya (min nâhiyat al-‘adam) menjalankan sanksi qisas dan diyat terhadap pidana pembunuhan.[3] Dalam bidang ibadah seperti syahadatain, shalat, zakat, puasa dan haji adalah dalam rangka mewujudkan hifd al-dîn.[4]  

2.      Hajiyyah (Sekunder)
      al-hajiyyah adalah sesuatu yang dibutuhkan dari sisi kemampuannya mendatangkan kemudahan dan kesulitan. Artinya mayoritas dibutuhkan untuk meluaskan dan menghilangkan kesusuhan disebabkan tuntutan tersebut. Maslahah semacam ini jika tidak diperhatikan, akan muncul kesulitan dan kesempitan, namun tidak sampai menimbulkan kerusakan dalam kemaslahatan umum sebagaimana al-darûriyyah.

      Hajiyat berlaku pada wilayah ibadah, adat, muamalah, dan jinayah. Misalnya dalam wilayah ibadah, adanya rukhsah melakukan shalat dengan duduk, berbaring, atau hanya dengan isyarat disebabkan sakit atau juga rukhsah men-jama’ atau meng-qasar shalat dikarenakan dalam keadaan bepergian. Hal tersebut, dipertimbangkan atas dasar masyaqqah (kesulitan).

      Dalam bidang adat, seperti diperbolehkannya memakan binatang buruan serta bangkai, memakai pakaian yang baik, mendiami rumah yang baik, dan memakai kendaraan yang baik. Sedangkan dalam bidang mu’amalah, diperbolehkan penjualan secara salam (pesan), istisna muzara’ah, murabahah (bagi hasil), serta diperbolehkan cerai untuk menghindari kemadharatan bagi suami istri.

      Demikian juga dalam bidang jinayah seperti dikenakannya diyat atas ‘aqilah (orang yang berakal), qasamah dan menolak hudud lantaran adanya kesamaran-kesamaran.[5]

3. Tahsîniyyah (Tersier)
      al-tahsîniyyah adalah mengambil sesuatu yang dianggap pantas terkait kebiasaan-kebiasaan yang baik, menghindari hal-hal tercela atas pertimbangan akal yang sehat. Apabila tidak ada hal tersebut tidak berarti merusak keharmonisan kehidupan manusia.[6]. Konsep ini mencakup dalam bidang ibadah, adat, muamalah, dan jinayah.

      Dalam bidang ibadah seperti kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai perhiasan, mendekatkan diri dengan memperbanyak perbuatan baik yang disunahkan, seperti sedekah dan ibadah lainnya. Dalam bidang adat, seperti mempraktekkan adab makan, minum, menjauhi tempat makan dan minum yang najis, tindakan melewati batas, dan lain-lain.

      Sedangkan dalam bidang jinayah, tidak diperbolehkannya membunuh anak-anak dan wanita dalam peperangan, pemeliharaan terhadap wanita berkeliaran di jalan raya dengan memamerkan pakaian yang merangsang nafsu seks.[7] Kesemuannya dalam rangka mewujudkan keindahan, kenyamanan, dan kesopanan dalam kehidupan mukallaf.




[1] Ahmad Zaki Yamani, ‘Alaqah Maqasîd al-Syari’ah bi Usul al-Syariah. h.23.
[2]  Al-Syatibi, al-muwaqat... hlm. 7.
[3] Lebih lanjut lihat di http://www.makalahkuliah.com/2012/12/Maqashid-Syariah-Dalam-Penetapan-Hukum-Islam.html, diakses tanggal 27 Des 2012, Pukul. 10.00.
[4] Al-Syatibi, al-muwaqat hlm. 8.
[5] M. Alfatih Suryadilaga, “Tujuan diturunkannya Syari’at Islam” dalam Metodologi Hukum Islam (Yogyakarta: Teras, 2008), cet 1, hlm. 95.
[6] Tahsiniyyah sering disebut dengan makarim al-akhlak. Namun menurut Toha Abdurrahman sebagaimana dikutip oleh Asmuni M.Th dalam jurnal menyatakan bahwa mengklaim maka>rim al-akhla>k termasuk kategori tahsiniyyat dalam maqasid al-syari’ah dalam pengertiannya masalih adalah suatu kekeliruan. Karena, mengingat masuknya makarim al-akhlak pada semua jenis masalih.  
[7] M. Alfatih Suryadilaga, “Tujuan diturunkannya Syari’at Islam” hlm. 96.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Hierarki kebutuhan dalam Maqasid syari’ah dalam prespektif al-Syatibi"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel