-->

Aswaja al-Nahdliyyah sebagai Spirit Of Human Being



Aswaja al-Nahdiyyah sebagai spirit of human being

Aswaja sebuah akronim dari Ahlusunnah wal jamaah sebagaimana yang dirumuskan Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah- memiliki tiga dasar dalam berislam yakni memadukan antara tiga dimensi; akidah, fikih, dan tasawuf. Dan ternyata belakangan rumusan ini sama dengan rumusan Muktamar Ulama Dunia yang di gagas Grand Syeikh Al-Azhar Mesir di Checnya pada 25-27 Agustus 2016
Pertama, akidah merujuk pada Imam Abu Musa al-Asya’ari dan Abu Hasan al-Maturudi.Teori kasab (usaha) adalah inti dari akidah Asy’ariyah.  Bagi pengikut Asy’ariyah, apa yang terjadi di dunia ini adalah karena usaha manusia dan juga  ketentuan Tuhan. Manusia berusaha, Tuhan menentukan. Ini berbeda dengan penganut paham Jabbariyah yang memiliki keyakinan bahwa semua yang terjadi itu ditentukan Tuhan dan Qadariyah yang meyakini semua ditentukan manusia.

Kedua, fikih bersandar pada salah satu empat imam mazhab yaitu Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. artinya Aswaja mempraktikkan Islam kaffah (paripurna) karena merujuk kepada imam yang paling hebat dalam bidang fikih.  Ketiga, tasawuf NU merujuk pada Imam Junaidi al-Baghdadi dan al-Ghazali

secara Aqidah, pemahaman Aswaja yang di pegang oleh Nahdlatul Ulama berbeda bahkan bertentangan dengan Aqidah Wahhabi dengan trilogi Tauhidnya yakni Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma Wasifat, berikut penjelesannya

1.    Ajaran Trilogi Tauhid; Uluhiyyah, Rububiyyah dan Asma Wasifat adalah ajaran Tauhid Wahhabi yang disebarkan sebagai tandingan bahkan penolakan terhadap Sifat Qiyamuhu bi nafsihi  yang menjadi satu dari 20 sifat yang wajib di Allah dalam Teologi Asyariyyah. Wahhabi Jelas menolak Qiyamuhu binafsihi yang berarti Allah ada tanpa tempat. Karena Wahhabi berpendapat Allah menepati tempat yakni berada di Arays. Perdebatan seputar ini dimuat dalam buku “Menalar NU” yang dikeluarkan oleh Aswaja Center Tasikmalaya

2.    Ajaran Trilogi Tauhid; Uluhiyyah, Rububiyyah dan Asma Wasifat adalah propaganda Wahhabi untuk menyerang kaum pengikut As’ariyyah yang masih melestarikan Tawassul kepada para Wali dan para Nabi. Hal ini bisa dilihat dari salah satu pernyataan Tokoh Wahhabi yaitu Muhammad bin Ahmad Basyumil dalam karyanya yang berjudul “Kaifa Nafham Tauhid” dalam kitab tersebut disebutkan “Imannya Abu Jahal dan Abu Lahab lebih unggul daripada Imannya orang-orang mukmin yang masih bertawassul dengan para wali dan para Rasul”  

Bin Basyumil sebagai tokoh wahhabi mengambil kesimpulan ini adalah implikasi dari pemahaman Trilogi Tauhid: Uluhiyyah, Rububiyyah dan Asma Wasifat, berikut penjelasannya:

Mulanya Wahhabi berpendapat bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab bertauhid Rububiyyah karena keduanya saat ditanyakan siapakah pencipta (robb) langit bumi, maka Abu Jahal dan Abu Lahab bahwa yang menciptakan langit dan bumi adalah Allah berdasarkan  al ankabut aya 61:

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? Tentu mereka akan menjawab Allah” 

Wahabi berkesimpulan bahwa Abu Jahal (Musyrikin Makkah) bertauhid secara rububiyyah artinya Abu Jahal cs masih menyakini bahwa Allah adalah robbun (penguasa semesta Alam) selain itu Abu Jahal cs juga meminta kepada Allah saat situasi terdesak. Namun Abu Jahal cs tidak bertauhid secara Uluhiyyah karena artinya musyrik sebab mereka menyebah kepada selain Allah yakin menyebah berhala-berhala

Nah, sementara orang-orang yang bertawassul itu mereka meminta pada orang mati alias meminta kepada kuburan, seolah-olah orang meninggal dapat berikan manfaat dan madarat, padahal itu adalah wewenang Allah, padahal yang mengatur seluruh alam adalah Allah (Tauhid rububiyyah) artinya orang-orang mukmin yang bertawassul

Wahhabi berpendapat meminta kepada kuburan atau orang mati adalah bukti tidak bertauhid secara Uluhiyyah, dan keyakinan bahwa orang meninggal dapat memberikan madarat dan manfaat adalah bukti tidak bertauhid secara Rububiyyah. Sementara Abu Jahal dan Abu Lahab sekalipun tidak uluhiyyah mereka masih percaya Allah alias masih bertauhid Rububiyyah

Maka pantas saja, bahwa orang-orang yang masih bertawassul lebih beriman daripada Abu Jahal dan Abu Lahab, begitulah nalar dan kesimpulan bin Basyumil. Selain itu term Tauhid Uluhiyyah dan Rubuyyah menjadi amunisi Wahhabi untuk men-Tauhid-kan Abu Jahal sekaligus Memusyrikan orang-orang yang masih bertawassul

dari dua poin ini, kiranya pembaca dapat memahami bahayanya ajaran Trilogi Tauhid Wahhabi ini, maka tak heran jika darul Ifta (semacam MUI-nya Mesir)yang saat itu dipimpin oleh Dr. Ali Gomah mengkatagorikan ajaran Trilogi Tauhid Wahhabi ini sebagai ajaran yang menyimpang

Aswaja an-Nahdliyyah

sejak tahun 2015, Aswaja yang menjadi semangat kehidupan warga NU ditambahi dengan istilah an-Nahdliyyah untuk membedakan dengan aswaja versi lain, tepatnya pada Forum Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada awal Agustus 2015  dalam diskusi "Khashaish Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyyah" atau Aswaja Perspektif NU pada sidang komisi bahtsul masail diniyah maudhu’iyyah yang dipimpin oleh KH Afifuddin Muhajir

Berikut ini rumusannya: Khashaish Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdhiyah[1]
Islam sebagai agama samawi terakhir memiliki banyak ciri khas (khashaish) yang membedakannya dari agama lain. Ciri khas Islam yang paling menonjol adalah tawassuth, ta’adul, dan tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki arti yang sangat berdekatan atau bahkan sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa disatukan menjadi “wasathiyah”. Watak wasathiyah Islam ini dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil dan pilihan), agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah;143)

Nabi Muhammad SAW sendiri menafsirkan kata وَسَطًا dalam firman Allah di atas dengan adil, yang berarti fair dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Perubahan fatwa karena perubahan situasi dan kondisi, dan perbedaan penetapan hukum karena perbedaan kondisi dan psikologi seseorang adalah adil. Selain ayat di atas, ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan watak wasathiyah dalam Islam, misalnya firman Allah:

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra’: 29)

Sementara dalam hadits dikatakan,

خَيْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا

Sebaik-baik persoalan adalah sikap-sikap moderat.”

Mirip dengan hadits di atas adalah riwayat,

وَخَيْرُ اْلأَعْمَالِ أَوْسَطُهَا وَدِيْنُ اللهِ بَيْنَ الْقَاسِىْ وَالْغَالِىْ

Dan sebaik-baik amal perbuatan adalah yang pertengahan, dan agama Allah itu berada di antara yang beku dan yang mendidih.”

Wasathiyyah yang sering diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa pengertian sebagai berikut: Pertama, keadilan di antara dua kezhaliman (عدل بين ظلمين) atau kebenaran di antara dua kebatilan (حق بين باطلين), seperti wasathiyah antara atheisme dan poletheisme.

Islam ada di antara atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan poletheisme yang memercayai adanya banyak Tuhan. Artinya, Islam tidak mengambil paham atheisme dan tidak pula paham poletheisme, melainkan paham monotheisme, yakni paham yang memercayai Tuhan Yang Esa. Begitu juga wasathiyyah antara boros dan kikir yang menunjuk pada pengertian tidak boros dan tidak kikir. Artinya, Islam mengajarkan agar seseorang di dalam memberi nafkah tidak kikir dan tidak pula boros, melainkan ada di antara keduanya, yaitu al-karam dan al-jud.

Kedua, pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan. Misalnya, (a). wasathiyyah antara rohani dan jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya memerhatikan aspek rohani saja atau jasmani saja, melainkan memerhatikan keduanya. Wasathiyyah antara nushûs dan maqâshid. Itu berarti Islam tak hanya fokus pada nushûs saja atau maqâshid saja, melainkan memadukan antara keduanya. 

(b). Islam pun merupakan agama yang menyeimbangkan antara `aql dan naql. Bagi Islam, akal dan wahyu merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting yang sifatnya komplementer (saling mendukung antara satu sama lain). Kalau diibaratkan dengan pengadilan, akal berfungsi sebagai syahid (saksi) sementara wahyu sebagai hakim, atau sebaliknya, yakni akal sebagai hakim sementara wahyu sebagai syahid. 

(c).  Islam menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat,  antara ilmu dan amal, antara ushul dan furu’, antara sarana (wasilah) dan tujuan (ghayah), antara optimis dan pesimis, dan seterusnya.

Ketiga, realistis (wâqi’iyyah). Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu idealistis. Islam memunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam tidak menutup mata dari realitas kehidupan yang–justru–lebih banyak diwarnai hal-hal yang sangat tidak ideal. Untuk itu, Islam turun ke bumi realitas daripada terus menggantung di langit idealitas yang hampa. Ini tidak berarti bahwa Islam menyerah pada pada realitas yang terjadi, melainkan justru memerhatikan realitas sambil tetap berusaha untuk tercapainya idealitas. Contoh wasathiyyah dalam arti waqi’iyyah ini adalah pemberlakuan hukum ‘azîmah dalam kondisi normal dan hukum rukhshah dalam kondisi dharurat atau hajat.

Watak wasathiyyah dalam Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin dalam semua aspek ajarannya, yaitu akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam manhaj. Dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, watak wasathiyyah tersebut antara lain terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Melandaskan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pokok dan juga kepada sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur’an dan As-sunnah seperti ijma’ dan qiyas.

2. Menjadikan ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi. Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad, tidak ada jalan lain kecuali harus bermazhab dengan mengikuti salah satu dari mazhab-mazhab yang diyakini penisbatannya kepada ashabul madzahib. Namun, Nahdlatul Ulama membuka ruang untuk bermadzhab secara manhaji dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin dipecahkan dengan bermadzhab secara qauli.

3. Berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar, yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan mujadalah bil husna.

4. Sebagai salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah (realistis), Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang sah menurut pandangan Islam dan tetap berusaha secara terus menerus melakukan perbaikan sehingga menjadi negara adil makmur berketuhanan Yang Maha Esa.

5. Mengakui keutamaan dan keadilan para shahabat Nabi, mencintai dan menghormati mereka serta menolak dengan keras segala bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap mereka apalagi menuduh mereka kafir.

6. Tidak menganggap siapapun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan dosa).

7. Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa`il furu`iyyah-ijtihadiyah adalah keharusan. Nahdhatul Ulama tak perlu melakukan klaim kebenaran dalam masalah ijtihadiyyah tersebut.

8. Menghindari hal-hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama muslim, ahlul qiblah.

9. Menjaga ukhuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan ukhuwwah wathaniyyah terhadap para pemeluk agama-agama lain. Dalam konteks NU, menjaga ukhuwwah nahdliyyah adalah niscaya terutama untuk menjaga persatuan dan kekompakan seluruh warga NU.

10. Menjaga keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani dengan mengembangkan tasawwuf `amali, majelis-majelis dzikir, dan sholawat sebagai sarana taqarrub ilallah di samping mendorong umat Islam agar melakukan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Aswaja al-Nahdliyyah sebagai Spirit Of Human Being"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel