Aswaja al-Nahdliyyah sebagai Spirit Of Human Being
July 1, 2019
Add Comment
Aswaja al-Nahdiyyah sebagai
spirit of human being
Aswaja sebuah akronim dari
Ahlusunnah wal jamaah sebagaimana yang dirumuskan Hadratussyekh Hasyim Asy’ari
dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah- memiliki tiga dasar dalam berislam
yakni memadukan antara tiga dimensi; akidah, fikih, dan tasawuf. Dan ternyata
belakangan rumusan ini sama dengan rumusan Muktamar Ulama Dunia yang di gagas
Grand Syeikh Al-Azhar Mesir di Checnya pada 25-27 Agustus 2016
Pertama,
akidah merujuk pada Imam Abu Musa al-Asya’ari dan Abu Hasan al-Maturudi.Teori
kasab (usaha) adalah inti dari akidah Asy’ariyah. Bagi pengikut Asy’ariyah, apa yang terjadi di
dunia ini adalah karena usaha manusia dan juga
ketentuan Tuhan. Manusia berusaha, Tuhan menentukan. Ini berbeda dengan
penganut paham Jabbariyah yang memiliki keyakinan bahwa semua yang terjadi itu
ditentukan Tuhan dan Qadariyah yang meyakini semua ditentukan manusia.
Kedua,
fikih bersandar pada salah satu empat imam mazhab yaitu Imam Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali. artinya Aswaja mempraktikkan Islam kaffah (paripurna)
karena merujuk kepada imam yang paling hebat dalam bidang fikih. Ketiga, tasawuf NU merujuk pada Imam Junaidi
al-Baghdadi dan al-Ghazali
secara Aqidah, pemahaman
Aswaja yang di pegang oleh Nahdlatul Ulama berbeda bahkan bertentangan dengan
Aqidah Wahhabi dengan trilogi Tauhidnya yakni Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah dan
Asma Wasifat, berikut penjelesannya
1.
Ajaran Trilogi
Tauhid; Uluhiyyah, Rububiyyah dan Asma Wasifat adalah ajaran Tauhid Wahhabi
yang disebarkan sebagai tandingan bahkan penolakan terhadap Sifat Qiyamuhu
bi nafsihi yang menjadi satu dari 20
sifat yang wajib di Allah dalam Teologi Asyariyyah. Wahhabi Jelas menolak
Qiyamuhu binafsihi yang berarti Allah ada tanpa tempat. Karena Wahhabi
berpendapat Allah menepati tempat yakni berada di Arays. Perdebatan
seputar ini dimuat dalam buku “Menalar NU” yang dikeluarkan oleh Aswaja Center
Tasikmalaya
2.
Ajaran Trilogi
Tauhid; Uluhiyyah, Rububiyyah dan Asma Wasifat adalah propaganda Wahhabi untuk
menyerang kaum pengikut As’ariyyah yang masih melestarikan Tawassul kepada para
Wali dan para Nabi. Hal ini bisa dilihat dari salah satu pernyataan Tokoh
Wahhabi yaitu Muhammad bin Ahmad Basyumil dalam karyanya yang berjudul “Kaifa
Nafham Tauhid” dalam kitab tersebut disebutkan “Imannya Abu Jahal dan Abu
Lahab lebih unggul daripada Imannya orang-orang mukmin yang masih bertawassul
dengan para wali dan para Rasul”
Bin
Basyumil sebagai tokoh wahhabi mengambil kesimpulan ini adalah implikasi dari
pemahaman Trilogi Tauhid: Uluhiyyah, Rububiyyah dan Asma Wasifat, berikut
penjelasannya:
Mulanya
Wahhabi berpendapat bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab bertauhid Rububiyyah karena
keduanya saat ditanyakan siapakah pencipta (robb) langit bumi, maka Abu Jahal
dan Abu Lahab bahwa yang menciptakan langit dan bumi adalah Allah
berdasarkan al ankabut aya 61:
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka
Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?
Tentu mereka akan menjawab Allah”
Wahabi
berkesimpulan bahwa Abu Jahal (Musyrikin Makkah) bertauhid secara rububiyyah
artinya Abu Jahal cs masih menyakini bahwa Allah adalah robbun (penguasa
semesta Alam) selain itu Abu Jahal cs juga meminta kepada Allah saat situasi
terdesak. Namun Abu Jahal cs tidak bertauhid secara Uluhiyyah karena artinya
musyrik sebab mereka menyebah kepada selain Allah yakin menyebah
berhala-berhala
Nah,
sementara orang-orang yang bertawassul itu mereka meminta pada orang mati alias
meminta kepada kuburan, seolah-olah orang meninggal dapat berikan manfaat dan
madarat, padahal itu adalah wewenang Allah, padahal yang mengatur seluruh alam
adalah Allah (Tauhid rububiyyah) artinya orang-orang mukmin yang bertawassul
Wahhabi
berpendapat meminta kepada kuburan atau orang mati adalah bukti tidak
bertauhid secara Uluhiyyah, dan keyakinan bahwa orang meninggal dapat
memberikan madarat dan manfaat adalah bukti tidak bertauhid secara
Rububiyyah. Sementara Abu Jahal dan Abu Lahab sekalipun tidak uluhiyyah
mereka masih percaya Allah alias masih bertauhid Rububiyyah
Maka
pantas saja, bahwa orang-orang yang masih bertawassul lebih beriman daripada
Abu Jahal dan Abu Lahab, begitulah nalar dan kesimpulan bin Basyumil. Selain
itu term Tauhid Uluhiyyah dan Rubuyyah menjadi amunisi Wahhabi untuk
men-Tauhid-kan Abu Jahal sekaligus Memusyrikan orang-orang yang masih
bertawassul
dari dua poin ini, kiranya
pembaca dapat memahami bahayanya ajaran Trilogi Tauhid Wahhabi ini, maka tak
heran jika darul Ifta (semacam MUI-nya Mesir)yang saat itu dipimpin oleh Dr.
Ali Gomah mengkatagorikan ajaran Trilogi Tauhid Wahhabi ini sebagai ajaran yang
menyimpang
Aswaja an-Nahdliyyah
sejak tahun 2015, Aswaja
yang menjadi semangat kehidupan warga NU ditambahi dengan istilah an-Nahdliyyah
untuk membedakan dengan aswaja versi lain, tepatnya pada Forum Muktamar Ke-33
NU di Jombang pada awal Agustus 2015
dalam diskusi "Khashaish Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyyah"
atau Aswaja Perspektif NU pada sidang komisi bahtsul masail diniyah
maudhu’iyyah yang dipimpin oleh KH Afifuddin Muhajir
Berikut ini rumusannya: Khashaish
Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdhiyah[1]
Islam sebagai agama samawi
terakhir memiliki banyak ciri khas (khashaish) yang membedakannya dari agama
lain. Ciri khas Islam yang paling menonjol adalah tawassuth, ta’adul, dan
tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki arti yang sangat berdekatan
atau bahkan sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa disatukan
menjadi “wasathiyah”. Watak wasathiyah Islam ini dinyatakan sendiri oleh Allah
SWT di dalam Al-Qur’an,
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ
عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan
demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil dan
pilihan), agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad
SAW) menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah;143)
Nabi Muhammad SAW sendiri
menafsirkan kata وَسَطًا dalam firman Allah di atas dengan adil, yang berarti fair dan
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Perubahan fatwa karena perubahan situasi
dan kondisi, dan perbedaan penetapan hukum karena perbedaan kondisi dan
psikologi seseorang adalah adil. Selain ayat di atas, ada beberapa ayat dan
hadits yang menunjukkan watak wasathiyah dalam Islam, misalnya firman Allah:
وَلَا
تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ
مَلُومًا مَحْسُورًا
“Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS.
Al-Isra’: 29)
Sementara dalam hadits
dikatakan,
خَيْرُ
اْلأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا
“Sebaik-baik
persoalan adalah sikap-sikap moderat.”
Mirip dengan hadits di atas
adalah riwayat,
وَخَيْرُ
اْلأَعْمَالِ أَوْسَطُهَا وَدِيْنُ اللهِ بَيْنَ الْقَاسِىْ وَالْغَالِىْ
“Dan
sebaik-baik amal perbuatan adalah yang pertengahan, dan agama Allah itu berada
di antara yang beku dan yang mendidih.”
Wasathiyyah yang sering
diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:
Pertama, keadilan di antara dua kezhaliman (عدل
بين ظلمين) atau kebenaran di
antara dua kebatilan (حق بين باطلين), seperti wasathiyah antara atheisme dan
poletheisme.
Islam ada di antara
atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan poletheisme yang memercayai adanya
banyak Tuhan. Artinya, Islam tidak mengambil paham atheisme dan tidak pula
paham poletheisme, melainkan paham monotheisme, yakni paham yang memercayai
Tuhan Yang Esa. Begitu juga wasathiyyah antara boros dan kikir yang menunjuk
pada pengertian tidak boros dan tidak kikir. Artinya, Islam mengajarkan agar
seseorang di dalam memberi nafkah tidak kikir dan tidak pula boros, melainkan
ada di antara keduanya, yaitu al-karam dan al-jud.
Kedua, pemaduan antara dua
hal yang berbeda/berlawanan. Misalnya, (a). wasathiyyah antara rohani dan
jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya memerhatikan aspek rohani saja atau
jasmani saja, melainkan memerhatikan keduanya. Wasathiyyah antara nushûs dan
maqâshid. Itu berarti Islam tak hanya fokus pada nushûs saja atau maqâshid
saja, melainkan memadukan antara keduanya.
(b). Islam pun merupakan agama yang
menyeimbangkan antara `aql dan naql. Bagi Islam, akal dan wahyu merupakan dua
hal yang sama-sama memiliki peranan penting yang sifatnya komplementer (saling
mendukung antara satu sama lain). Kalau diibaratkan dengan pengadilan, akal
berfungsi sebagai syahid (saksi) sementara wahyu sebagai hakim, atau
sebaliknya, yakni akal sebagai hakim sementara wahyu sebagai syahid.
(c). Islam menjaga keseimbangan antara dunia dan
akhirat, antara individu dan masyarakat,
antara ilmu dan amal, antara ushul dan furu’, antara sarana (wasilah) dan
tujuan (ghayah), antara optimis dan pesimis, dan seterusnya.
Ketiga, realistis
(wâqi’iyyah). Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu idealistis. Islam
memunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk mengaplikasikan
ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam tidak menutup mata
dari realitas kehidupan yang–justru–lebih banyak diwarnai hal-hal yang sangat
tidak ideal. Untuk itu, Islam turun ke bumi realitas daripada terus menggantung
di langit idealitas yang hampa. Ini tidak berarti bahwa Islam menyerah pada
pada realitas yang terjadi, melainkan justru memerhatikan realitas sambil tetap
berusaha untuk tercapainya idealitas. Contoh wasathiyyah dalam arti waqi’iyyah
ini adalah pemberlakuan hukum ‘azîmah dalam kondisi normal dan hukum rukhshah
dalam kondisi dharurat atau hajat.
Watak wasathiyyah dalam
Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin dalam semua aspek ajarannya, yaitu
akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam manhaj. Dalam jam’iyyah
Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, watak
wasathiyyah tersebut antara lain terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Melandaskan ajaran Islam
kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pokok dan juga kepada
sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur’an dan As-sunnah seperti ijma’
dan qiyas.
2. Menjadikan ijtihad
sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi
syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi. Sedangkan bagi yang
tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad, tidak ada jalan lain kecuali harus
bermazhab dengan mengikuti salah satu dari mazhab-mazhab yang diyakini
penisbatannya kepada ashabul madzahib. Namun, Nahdlatul Ulama membuka ruang
untuk bermadzhab secara manhaji dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin
dipecahkan dengan bermadzhab secara qauli.
3. Berpegang teguh pada
petunjuk Al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar,
yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan mujadalah bil
husna.
4. Sebagai salah satu wujud
dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah (realistis), Nahdlatul
Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila
sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang sah menurut pandangan Islam dan
tetap berusaha secara terus menerus melakukan perbaikan sehingga menjadi negara
adil makmur berketuhanan Yang Maha Esa.
5. Mengakui keutamaan dan
keadilan para shahabat Nabi, mencintai dan menghormati mereka serta menolak
dengan keras segala bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap mereka apalagi
menuduh mereka kafir.
6. Tidak menganggap
siapapun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma’shum (terjaga dari
kesalahan dan dosa).
7. Perbedaan yang terjadi
di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah kemanusiaan. Karena
itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa`il furu`iyyah-ijtihadiyah adalah
keharusan. Nahdhatul Ulama tak perlu melakukan klaim kebenaran dalam masalah
ijtihadiyyah tersebut.
8. Menghindari hal-hal yang
menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama muslim, ahlul
qiblah.
9. Menjaga ukhuwwah
imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan ukhuwwah wathaniyyah
terhadap para pemeluk agama-agama lain. Dalam konteks NU, menjaga ukhuwwah
nahdliyyah adalah niscaya terutama untuk menjaga persatuan dan kekompakan
seluruh warga NU.
10. Menjaga keseimbangan
antara aspek rohani dan jasmani dengan mengembangkan tasawwuf `amali,
majelis-majelis dzikir, dan sholawat sebagai sarana taqarrub ilallah di samping
mendorong umat Islam agar melakukan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi mereka.
0 Response to "Aswaja al-Nahdliyyah sebagai Spirit Of Human Being"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR