Bagaimana Memahami al-Qur'an?
June 12, 2018
Add Comment
Jika dihadapan
kita terdapat sebuah ayat al-Qur'an, apa yang akan kita perbuat terhadap teks
suci tersebut? Paling tidak, kita akan membaca, mencoba memahami dan kemudian
mencoba menafsirkannya. Bagaimana kita membaca, memahami dan menafsirkan
al-Qur'an? Bagaimana seorang manusia yang lemah dan hina seperti kita dapat
memahami makna sebuah ayat yang pada dasarnya merupakan "bahasa"
Allah? Al-Qur'an adalah kalamullah, yang kita tidak tahu bagaimana hakikat
bentuk dan jenis kalamullah tersebut [Lihat
Syihab al-Din al-Qarafi, "Syarh Tanqih al-Fusul," Beirut, Dar
al-Fikr, 1973, h. 67; Jamal al-Din al-Asnawi, "Nihayah al-Sul,
Beirut", Dar al-Kutub al-'Ilmiah, 1984, juz 1, h. 41; Wahbah al-Zuhaili,
"Usul al-Fiqh al-Islami", Beirut, Dar al-Fikr, 1986, h. 38-399
Ketika Allah
"mengucapkan" kalam-Nya kepada Malaikat Jibril, maka terjadilah
sebuah proses pertama dari turunnya wahyu. Kalam tersebut ditangkap dan
dipahami oleh Malaikat Jibril untuk kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad
SAW lewat medium bahasa Arab. Pada titik ini terjadi proses kedua, yaitu
transfer dari firman Allah, yang dipahami oleh Jibril, kepada Nabi melalui
medium bahasa yang dapat dipahami oleh Nabi, yaitu bahasa Arab. Ummat Islam
meyakini bahwa dalam kedua proses tersebut tidak ada unsur kesalahan ataupun
distorsi makna.
Proses ini
belum berhenti. Proses selanjutnya adalah ketika Nabi menyampaikan firman Allah
tersebut kepada para sahabatnya. Pada titik ini, berbeda dengan Jibril yang
hanya menerima dari Allah dan menyampaikannya kepada Nabi secara apa adanya,
Muhammad SAW tidak hanya menerima dan menyampaikan, melainkan juga turut
menjelaskan dan menafsirkan serta, pada sejumlah ayat, memberi contoh praktis
penerapan wahyu Allah tersebut.
Sejarah
mencatat bahwa proses keempat juga harus dilewati, yaitu proses pengumpulan
ayat-ayat al-Qur'an yang dihapal dan dicatat dalam beberapa bentuk untuk
kemudian disatukan. Proses keempat ini, yang terjadi pada masa setelah Nabi
wafat, melewati perdebatan sengit di kalangan sahabat, pembentukan panitia
pengumpulan dan kemudian proses kesaksian. Sekali lagi, proses belum berhenti.
Proses kelima adalah memperbanyak mushaf yang telah selesai pada masa
sebelumnya. Sekali lagi, pada titik ini, telah terjadi perdebatan seputar kegiatan
ini seperti perbedaan qiraat dan berapa jumlah mushaf yang dikirim ke sejumlah
daerah tertentu sebagai pedoman bila terjadi perbedaan bacaan. Setelah semua
proses ini dilewati (termasuk penambahan tanda baca) maka al-Qur'an hadir dan
bisa kita nikmati dalam bentuknya seperti sekarang.
Proses
terakhir (keenam) boleh jadi adalah penafsiran dan penerjemahan ayat al-Qur'an
ke dalam berbagai bahasa di dunia yang melibatkan unsur budaya lokal,
interpretasi, ekspresi dan pilihan kata atau tafsir tertentu. Pada proses
terakhir ini, betapapun hebatnya sebuah tafsir atau sebuah terjemah,
kualitasnya tidaklah sama dengan kualitas asli Kalamullah yang dibawa Jibril
a.s dan disampaikan kepada Muhammad saw.
Lazim
diketahui bahwa ayat-ayat al-Qur'an itu tidak turun sekaligus, tetapi melewati
proses panjang selama lebih dari dua puluh tahun. Selama sekitar dua puluh
tahun, Allah berdialog dengan hamba-Nya melalui medium bahasa dengan Nabi
sebagai medium penjelas. Karena proses turunnya al-Qur'an berangsur-angsur maka
sebagian ayat turun untuk "mengomentari" suatu peristiwa khusus atau
tertentu (belakangan peristia itu dikenal dengan istilah asbabun nuzul),
sebagian lagi merupakan cerita dari Allah tentang masyarakat yang lalu,
sebagian lagi merupakan pernyataan-pernyataan ketuhanan tentang sejumlah aspek
kemanusiaan (akhlak, hukum, tauhid, dan lainnya).
Ketika Nabi
menyampaikan (tabligh) isi dan teks wahyu kepada para sahabat, ummat Islam,
sekali lagi, menyakini bahwa tidak terjadi perubahan, penyimpangan ataupun kesalahan
informasi. Walaupun para ahli ilmu kalam berdebat mengenai kema'shuman Nabi:
apakah Nabi ma'shum dalam segala hal atau tidak? namun mereka sepakat bawa Nabi
Muhammad SAW itu ma'shum dalam hal menyampaikan wahyu (tabligh).
Seperti
disinggung pada proses ketiga di atas, Nabi Muhammad SAW tidak hanya
menyampaikan "bahasa" ilahi kepada para sahabat, tetapi juga
memahami, menjelaskan, menafsirkan dan mempraktekkannya. Sampai di sini terjadi
perdebatan lagi: apakah penafsiran atau ijtihad Nabi itu bisa dianggap bagian
dari wahyu (wahy gair matluw) yang pasti benar dan terjamin validitasnya atau
murni berdasarkan akal pikiran (ra'yu) yang boleh jadi mengandung kesalahan?
Jikalau itu berdasarkan ra'yu, pada bidang apa saja Nabi boleh berijtihad?
[lebih lanjut lihat diskusi soal ini dalam Wahbah al-Zuhaili, "Usul
al-Fiqh al-Islami", Vol. II, h 1060; Muhammad Salam Madkur, "Manahij
al-Ijtihad fi al-Islam", 1974, p. 350; Nadiyah Syarif al-'Umari,
"Ijtihad al-Rasul Shalla Allah 'Alayh wa Sallam", 1985, p. 40]
Sejumlah ulama
berpendapat bahwa Nabi SAW melakukan ijtihad dalam bidang al-hurub dan al-ahkam
al-syari'ah. Ibn Hazm, al-Qadi 'Abd al-Jabbar, dan Abu Hasan al-Basri
berpendapat bahwa Nabi berijtihad dalam bidang al-hurub dan fi tatbiq hukm
Allah. Kumpulan ulama terakhir ini menolak pendapat bahwa Nabi berijtihad dalam
bidang din atau al-ahkam al-syari'ah karena Allah telah menetapkan
masalah-masalah dalam kedua bidang tersebut dalam al-Qur'an. Singkat kata, pada
titik ini perdebatan muncul dengan terang-terangan.
Kita juga
memasuki wilayah yang paling musykil pada bagian ini: bagaimana kita membedakan
antara hasil ijtihad Nabi dengan Hadis Nabi yang merupakan sumber kedua ajaran
Islam?
Apapun pilihan
kita dalam perdebatan di atas, satu hal yang jelas ialah Nabi mewariskan kepada
kita Al-Qur'an al-Karim. Namun demikian, al-Qur'an menggunakan sejumlah kata,
susunan kalimat dan sistematika yang dapat mengundang sejumlah perdebatan.
Sebagian dikarenakan memang kata yang dipilih Allah ternyata mengandung makna
lebih dari satu, sebagian lagi dikarenakan penjelasan Allah bersifat isyarat
atau mengandung kalimat samar yang membutuhkan kemampuan tertentu untuk
memahaminya, dan sebagian lagi karena ayat-ayat yang diturunkan mengandung
persoalan kompleks yang kemudian dipadatkan dengan struktur bahasa dan gaya
sastra yang mengagumkan sehingga tidak bisa dipahami kecuali oleh mereka yang
memiliki kemampuan bahasa dan sastra yang amat baik. Begitulah, sebagai
kesimpulan, ada ayat yang begitu mudah dipahami, namun ada pula ayat yang tidak
sembarang orang dapat memahaminya.
Salah satu
yang menarik adalah gaya bahasa yang digunakan al-Qur'an ketika menjelaskan
tentang Dzat Tuhan dan persoalan gaib dimana al-Qur'an menggunakan
ungkapan-ungkapan yang sangat manusiawi; yang terasa akrab dengan keseharian
manusia. Begitupula retorika yang digunakan al-Qur'an sanggup menantang
imajinasi dan daya intelektual manusia dengan ilustrasi dan pengandaian yang
menakjubkan. Sampai disini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa meskipun
al-Qur'an merupakan produk "langit", namun ia menggunakan ungkapan
yang sangat "membumi".
Semua seluk
beluk al-Qur'an yang dipaparkan di atas telah dijawab dengan luar biasa oleh
para ulama dengan sebuah disiplin ilmu, yaitu 'Ulumul Qur'an. Kaidah-kaidah
penafsiran yang telah disusun itu merupakan alat bagi umat Islam untuk dapat
memahami kitab sucinya. Yang jadi persoalan, sementara dialog dengan al-Qur'an
terus berlangsung, para ulama telah menganggap disiplin ini sebagai ilmu yang
telah dewasa atau matang sehingga tidak perlu ada pemikiran baru tentangnya.
Setiap upaya
untuk memberikan cara pandang baru atau lain terhadap al-Qur'an dipandang
melanggar kesucian al-Qur'an itu sendiri. Padahal cara pandang tersebut belum
memasuki wilayah kesucian al-Qur'an atau proses pertama dan kedua yang
digambarkan di awal tulisan ini. Para ulama kontemporer berargumen dan berdebat
di wilayah non-suci yaitu 'ulumul qur'an. sayang, banyak yg menganggap 'ulumul
qur'an sama sucinya dengan al-Qur'an.
Lebih celaka
lagi, sebagian ummat islam tidak mengenal disiplin ilmu ini ('ulumul Qur'an).
Mereka langsung membaca produknya (tafsir Ibn katsir atau tafsir fi zhilalil
Qur'an, misalnya) dan tidak memahami prosesnya (qawa'id al-tafsir sebagaimana
dibahas dalam al-Burhan fi 'ulumil Qur'an, atau al-Itqan atau Mabahis fi
'ulumil Qur'an, untuk sekedar menyebut contoh kitab-kitab tentang 'ulumul
Qur'an). Ketika muncul produk (tafsir) yang berbeda akibat proses (kaidah) yang
berbeda, mereka menjadi bingung dan menolak perbedaan-perbedaan itu dengan alasan
perbedaan pendapat itu sesuatu yang jelek, tercela bahkan terlarang dalam Islam
Memahami
sebuah teks sebenarnya melibatkan tiga unsur utama, yaitu pengarang, teks dan
pembaca. Sebenarnya membaca tidaklah sekedar membaca, tetapi melibatkan proses
panjang seperti digambarkan di atas (lihat lima proses yang digambarkan di awal
tulisan ini) antara pengarang, teks dan pembaca. Seorang pengarang yang luar
biasa cerdas akan melahirkan teks yang juga luar biasa cerdas, namun
"kecerdasan" pengarang dan teks tidak akan berarti apa-apa bila teks
tersebut dibaca oleh pembaca yang tidak cerdas. Semakin cerdas kita membaca
atau berdialog dengan teks, maka semakin cerdas pula teks itu memberikan
jawaban.
Masalahnya,
bagaimana pembaca bisa mengetahui dengan baik apa maksud pengarang akan teks
tersebut? Lazim diketahui bahwa tidak ada satupun yang mengetahui maksud suatu
teks seratus persen selain pengarang teks itu sendiri. Dalam bahasa Islam,
hanya Allah SWT yang tahu makna paling hakiki dari al-Qur'an. Kemudian timbul
pertanyaan lanjutan, bagaimana teks yang ditulis ribuan tahun yang lalu (proses
ketiga, keempat dan kelima) dengan menggunakan bahasa, ungkapan dan ilustrasi
serta retorika yang akrab dikenal pada saat kitab suci tersebut diturunkan,
ditulis atau ditafsirkan dapat juga dipahami oleh pembaca masa kini? Tidakkah
terjadi pergeseran pemahaman akibat teks itu dibaca dan didialogkan oleh
pembaca yang berbeda-beda pada masa yang juga berbeda? Apakah pengarang rela
kalau teks yang dia tulis ternyata dipahami secara berbeda-beda tergantung
siapa, dimana dan bagaimana pembacanya? Apakah seorang pengarang masih
mempunyai hak untuk memonopoli pemahaman terhadap teks yang ditulis ketika teks
tersebut sudah sampai pada tangan pembaca?
Pertanyaan
lebih jauh, pemahaman atau penafsiran siapakah yang paling benar atau paling
mendekati kebenaran sebagaimana yang dimaksud oleh pengarang? Siapakah yang
berhak mengklaim penafsiran kelompoknya benar dan penafsiran selain kelompoknya
salah?
Sejarah
mencatat betapa darah amat mudah menetes hanya karena sebuah tafsir. Banyak
orang membunuh kelompok lain atas nama ayat suci. Sebenarnya mereka bertindak
demikian bukan atas nama kitab suci, melainkan atas nama penafsiran yang mereka
anggap sama suci dan sama benarnya dengan kitab suci. Nama Tuhan diagungkan dan
diteriakkan sambil membunuh dan menghancurkan ciptaan Tuhan yang paling baik
dan sempurna.
Namun tafsir
juga bagaikan dua sisi pada mata uang yang sama. Tafsir bisa menggerakkan orang
untuk mengklaim sebuah kebenaran; namun tafsir juga bisa menggerakkan orang
untuk bersikap ramah, toleran, inklusif, dan pluralis terhadap keragaman
tafsir. Lalu dimana posisi kita?
Apakah kita
berpihak pada tafsir yang memonopoli kebenaran atau pada tafsir yang mengakui
bahwa tafsiran kita terhadap ayat suci hanyalah setetes kebenaran dari samudra
khazanah ilahi yang amat luas terbentang, tak bertepi?
Wa fawqa
kulli dzi 'ilmin 'alim
Wa Allahu
A'lam bi al-Shawab
Tabik,
Nadirsyah
Hosen
0 Response to "Bagaimana Memahami al-Qur'an?"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR