Seabad Lebih Gerakan Islam Ideologis: Ideologi Konflik!
May 26, 2018
Add Comment
Seabad Lebih Gerakan Islam Ideologis: Ideologi Konflik!
Sepanjang abad 20 adalah masa-masa yang sangat krusial bagi banyak gerakan Islam, yang dampaknya masih terasa sampai hari ini. Di Pakistan muncul Jamaat Islami (Maududi), di Mesir muncul Ikhwanul Muslimin (Al-Banna dkk)--yang kelak pada 1990-an di Indonesia mewujud mejadi Partai Keadilan, lalu berubah menjadi Partai Keadilan dan Sejahtera, dan AK Party di Turki. Di Afghanistan-Turki muncul Pan-Islamisme (Afghani), di Indonesia tahun 1949 muncul DI TII (Kartosuwiryo dkk), di era tahun 1990an dan 2000an muncul Laskar Jihad (Ja’far Umar Thalib), Majelis Mujahidin Indonesia (Abu Bakar Baasyir), FPI (Riziq Syihab), dan HTI di Indonesia, dan tahun 2010an muncul Al-Qaeda dan ISIS di tanah Arab sana. Semua organisasi ini punya penekanan yang berbeda: ada yang fokus ke dakwah, pendidikan (“Tarbiyah”), dan ada yang seribu persen fokusnya politik. Tapi semua punya satu tujuan: membentuk Nizam Islami (sistem Islam):
Masyarakat Muslim yang hidup dalam Darul Islam. Islam jadi ideologi. Soal Darul Islam ini, ada yang terang-terangan, dan ada yang samar-samar. Meskipun samar kalau ditelusuri, akhirnya ke sana juga: Darul Islam. Semua gerakan ini dulu muncul hanya dengan satu asbab: Lawan! Melawan apa? Kolonialisme Barat, gaya hidup sekuler dan sains yang positivistik, yang mereka anggap bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan Jamaluddin Afghani, yang begitu benci dengan tradisi Barat Kolonial, menyerukan tiga hal: (1) tolak semua yang datang dari Barat, termasuk modernitasnya, (2) semua orang Islam yang mengadopsi atau terkagum-kagum dengan peradaban Barat harus dituduh sebagai pengkhianat dan antek Barat, dan (3) kaum Muslim harus kembali kepada al-Quran dan sunnah.
Bagaimana cara melawannya? Ya membangun Darul Islam, baik secara frontal maupun gradual. Apa itu Darul Islam? Saya sederhanakan saja: membuat garis (demarkasi) yang jelas: “sini syariah, kamu tidak syariah”, “ini model yang syar’i, kamu tidak syar’i”, “ini Islami, kamu tidak islami”, “ini muslim/mukmin, kamu kafir”, akhirnya “ini Darul Islam, kamu Darul kufri, negeri kafir, kamu Darul harbi, negeri yang harus saya perangi”. Semua organisasi diatas mengkampanyekan garis demarkasi ini secara militan dan terstruktur, apakah di awal pendirian, di tengah perjuangan atau di akhir tujuan. Sama saja. Pokoknya sistem Islami. Boleh juga dikampanyekan “mau membentuk masyarakat yang Islami”, padahal maksudnya Darul Islam, bukan masyarakat dengan Islam kultural.
Setelah satu abad lebih diperjuangkan, bagaimana hasilnya? Konflik! Dan gagal! Konflik dengan Negara-negara tempat organisasi itu hidup, dan yang lebih menyakitkan adalah konflik dengan sesama umat manusia, dengan sesama kaum Muslim yang menelan korban jutaan nyawa. Dua tokoh Ikhwan, Hasan al-Banna—dalam sebuah insiden gerakan--ditembak 7 kali hingga meninggal, dan Sayyid Qutb meninggal di tiang gantungan karena dituduh merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Nasser. Keduanya dibunuh oleh Rezim yang juga Muslim, Gamal A. Nasser. Raden Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo akhirnya ditembak mati di pulau Seribu (1962) atas perintah temannya sendiri, Presiden Soekarno yang juga Muslim. DI TII ditumpas. Ikhwanul Muslimin terus mengalami pelarangan demi pelarangan. Laskar Jihad bubar. MMI kadang sayup-sayup terdengar. FPI terlibat banyak konflik dengan masyarakat, apakah di Jawa atau luar Jawa. Rizieq Syihab bolak-balik keluar masuk penjara. Alhamdulillah HTI sudah resmi dilarang. Dengan perasaan yang sangat sedih, saya mengkliping puluhan berita Koran tentang ratusan ribu pengungsi Muslim dari negeri-negeri Islam, berjalan--hidup atau mati--menuju negeri-negeri Eropa karena konflik ISIS dan Al-Qaeda yang begitu kejam.
Kalau hasilnya konflik, dan selama proses perjuangannya terus berkecamuk konflik, berarti ada yang salah dalam gerakan itu? Apa yang salah? Ideologi Darul Islam itu tidak Qurani alias tidak termaktub dalam al-Quran. Allah dalam al-Quran mengajak manusia untuk membangun Darus Salam: negeri yang damai, bukan Darul Islam, “Wa Allāhu yad’ū ila dār al-salām” (Surat Yunus ayat 25) “Dan Allah menyeru manusia kepada negeri yang damai”. Kenapa ayat ini selalu ditafsirkan surga (padahal ayat itu tidak sedang bicara surga)? Bolehkah jika kita tafsirkan ayat itu bahwa kita mesti membangun negeri yang damai di dunia ini?
Mengapa selalu memunculkan konflik? Bahkan jadi global conflict dan global chaos? Satu saja jawabnya: garis demarkasi yang dibuat itu pasti mengundang musuh. Itu alami. Menuduh-nuduh kekafiran (dalam pengertian negatif) kepada orang lain, termasuk yang beda agama, pasti melahirkan respons balik yang juga negatif. Nah sekarang problemnya, ketika paham Islam ideologis dari negeri-negeri yang penuh konflik di Timur Tengah sana, diimpor ke Indonesia, bahkan sejak akhir 1980-an, dan tidak ada musuh ideologis non-Muslim disini, maka kini yang jadi sasaran adalah sesama Muslim. Sesama Muslim yang dituduh “tidak syar’i, tidak kaafah, tidak Islami, thaghut, dajjal dll”, sambil ditunjuk-tunjuk mukanya, tinggal tunggu saja konflik meledak. Dan akhirnya itu terjadi.
Karena itu sudahi saja. Enough is enough! Pemberontakan napi teroris di Mako Brimob dan bom Gereja Surabaya (13 Mei), semoga jadi insiden terorisme yang terakhir. Kalau pemerintah berani melarang HTI dan tegas terhadap kelompok Takfiri dan terorisme, kami—Muslim Indonesia—pasti sangat mendukung. Pemerintah Mesir saja berani kok melarang gerakan Ikhwan. Garis demarkasi yang dibuat gerakan-gerakan diatas hanya membuat kaum Muslim terpecah dan terpolarisasi dalam aras konflik. Kini, sebagian dari kelompok-kelompok Islam ideologis itu hanya sibuk merakit bom dan meledakannya! Islam ideologis ini menuntut orang untuk “mencintai” agamanya tapi harus tercerabut dari akar kulturalnya, dari tanahnya, dari airnya, dari keluarganya, dan dari asal-usul primordialnya, aneh bukan? Padahal, Islam ideologis adalah produk tafsir atas Islam, bukan Islam itu sendiri.
Mari kita kembangkan Islam kultural Indonesia yang kaya ini. Ada dua keistimewaan Islam kultural ini. Pertama, dengan senang dan bebas kita merayakan keislaman kita sambil merayakan kekayaan kebudayaan kita. Sejak kerajaan Majapahit, lalu muncul kerajaan-kerajaan Islam, lalu disepakatilah NKRI dan Pancasila. Sebagian besar Ulama Indonesia menyebut Pancasila itu sudah “sesuai dengan syariat Islam”, bahkan kini disebut lagi “Huwas syari’atu Aynuha” Pancasila menjadi syariat itu sendiri, karena isinya berisi pokok-pokok syariat agama. Karena itu, Pancasila mengikat perjanjian dan kesepakatan seluruh kaum Muslim Indonesia. Dari Pancasila kita mengembangkan ukhuwwah basyariyah, ukhuwwah wathaniyyah, dan tentu saja ukhuwwah Islamiyyah/Imaniyyah. Bagaimana mungkin kita bisa menjalankan agama dengan nikmat dan bebas jika tidak menjaga dan mencintai negeri ini (ukhuwwah wathaniyyah dan basyariyyah). Sejak tahun 1950-an Islam Indonesia terus mengalami perkembangan dan dinamikanya yang positif. Siapa yang telah berjasa besar mengembangkan model Islam, dakwah Islam, wajah Islam dan kajian keislaman Indonesia dalam 60 tahun terakhir? Jawaban yang riil adalah NU, Muhammadiyyah, Nahdhatul Wathan, Mathlaul Anwar, Al-Wasliyah, Persis, MUI, Jamiat Khair, Al-Khairat, Badan Kontak Majlis Ta’lim, puluhan IAIN/UIN dan ribuan pesantren di negeri ini. Masyarakat Muslim dari lembaga-lembaga ini memahami, mengembangkan, dan mempraktikkan Islam Indonesia secara kreatif dari masa ke masa. Itu faktual. Tak perlu pakai ideologi ini atau ideologi itu. Cukup Islam dalam kultur Indonesia.
Kedua, gerakan Islam ideologis diatas, karena menghabiskan energi dan tersedot kepada tujuan-tujuan politik, maka ilmu pengetahuan, sains dan studi Islam tidak berkembang, jika tidak disebut mati. Dalam banyak hal, Islam ideologis yang tekstual juga melumpuhkan nalar dan kritisisme. Perdebatan ilmiah hampir tidak ada. Yang ada adalah doktrin dan indoktrinasi. Yang penting adalah taklid buta kepada tokoh-tokoh gerakan. Nah, Islam kultural, karena ada aspek kultur, aspek saeculum atau yang sekuler (maksudnya menjadikan hal-hal yang bersifat duniawi bagian dari agama), maka Islam model ini kreatif berjibaku dengan persoalan-persoalan keagamaan, kebudayaan dan kemanusiaan. Dari Islam kultural di Timur Tengah, Asia Tengah dan Asia Tenggara, muncullah para sarjana, ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang kreatif merumuskan keislaman dan kehidupan yang kompleks. Di Indonesia sendiri kemudian muncul diskursus keislaman yang merangsang gairah keilmuan seperti istilah-istilah “Keislaman, kemodernan dan keindonesiaan”, “Pribumisasi Islam”, “Islam rasional”, “Islam transformatif”, “Neo-Modernisme Islam”, “Post-Tradisionalisme Islam”, “Islam Berkemajuan” dan lain-lain. Dalam tanah Islam kultural yang subur, tumbuhlah ilmu-ilmu sosial Islam, humaniora Islam, bersamaan dengan sains, matematika, fisika dan logika. Dalam tanah yang disirami oleh darah karena konflik, kebencian, permusuhan, dan perang, apakah mungkin ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang?
Cukuplah kaum Takfiri dan terorisme, enough is enough!
Sepanjang abad 20 adalah masa-masa yang sangat krusial bagi banyak gerakan Islam, yang dampaknya masih terasa sampai hari ini. Di Pakistan muncul Jamaat Islami (Maududi), di Mesir muncul Ikhwanul Muslimin (Al-Banna dkk)--yang kelak pada 1990-an di Indonesia mewujud mejadi Partai Keadilan, lalu berubah menjadi Partai Keadilan dan Sejahtera, dan AK Party di Turki. Di Afghanistan-Turki muncul Pan-Islamisme (Afghani), di Indonesia tahun 1949 muncul DI TII (Kartosuwiryo dkk), di era tahun 1990an dan 2000an muncul Laskar Jihad (Ja’far Umar Thalib), Majelis Mujahidin Indonesia (Abu Bakar Baasyir), FPI (Riziq Syihab), dan HTI di Indonesia, dan tahun 2010an muncul Al-Qaeda dan ISIS di tanah Arab sana. Semua organisasi ini punya penekanan yang berbeda: ada yang fokus ke dakwah, pendidikan (“Tarbiyah”), dan ada yang seribu persen fokusnya politik. Tapi semua punya satu tujuan: membentuk Nizam Islami (sistem Islam):
Masyarakat Muslim yang hidup dalam Darul Islam. Islam jadi ideologi. Soal Darul Islam ini, ada yang terang-terangan, dan ada yang samar-samar. Meskipun samar kalau ditelusuri, akhirnya ke sana juga: Darul Islam. Semua gerakan ini dulu muncul hanya dengan satu asbab: Lawan! Melawan apa? Kolonialisme Barat, gaya hidup sekuler dan sains yang positivistik, yang mereka anggap bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan Jamaluddin Afghani, yang begitu benci dengan tradisi Barat Kolonial, menyerukan tiga hal: (1) tolak semua yang datang dari Barat, termasuk modernitasnya, (2) semua orang Islam yang mengadopsi atau terkagum-kagum dengan peradaban Barat harus dituduh sebagai pengkhianat dan antek Barat, dan (3) kaum Muslim harus kembali kepada al-Quran dan sunnah.
Bagaimana cara melawannya? Ya membangun Darul Islam, baik secara frontal maupun gradual. Apa itu Darul Islam? Saya sederhanakan saja: membuat garis (demarkasi) yang jelas: “sini syariah, kamu tidak syariah”, “ini model yang syar’i, kamu tidak syar’i”, “ini Islami, kamu tidak islami”, “ini muslim/mukmin, kamu kafir”, akhirnya “ini Darul Islam, kamu Darul kufri, negeri kafir, kamu Darul harbi, negeri yang harus saya perangi”. Semua organisasi diatas mengkampanyekan garis demarkasi ini secara militan dan terstruktur, apakah di awal pendirian, di tengah perjuangan atau di akhir tujuan. Sama saja. Pokoknya sistem Islami. Boleh juga dikampanyekan “mau membentuk masyarakat yang Islami”, padahal maksudnya Darul Islam, bukan masyarakat dengan Islam kultural.
Setelah satu abad lebih diperjuangkan, bagaimana hasilnya? Konflik! Dan gagal! Konflik dengan Negara-negara tempat organisasi itu hidup, dan yang lebih menyakitkan adalah konflik dengan sesama umat manusia, dengan sesama kaum Muslim yang menelan korban jutaan nyawa. Dua tokoh Ikhwan, Hasan al-Banna—dalam sebuah insiden gerakan--ditembak 7 kali hingga meninggal, dan Sayyid Qutb meninggal di tiang gantungan karena dituduh merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Nasser. Keduanya dibunuh oleh Rezim yang juga Muslim, Gamal A. Nasser. Raden Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo akhirnya ditembak mati di pulau Seribu (1962) atas perintah temannya sendiri, Presiden Soekarno yang juga Muslim. DI TII ditumpas. Ikhwanul Muslimin terus mengalami pelarangan demi pelarangan. Laskar Jihad bubar. MMI kadang sayup-sayup terdengar. FPI terlibat banyak konflik dengan masyarakat, apakah di Jawa atau luar Jawa. Rizieq Syihab bolak-balik keluar masuk penjara. Alhamdulillah HTI sudah resmi dilarang. Dengan perasaan yang sangat sedih, saya mengkliping puluhan berita Koran tentang ratusan ribu pengungsi Muslim dari negeri-negeri Islam, berjalan--hidup atau mati--menuju negeri-negeri Eropa karena konflik ISIS dan Al-Qaeda yang begitu kejam.
Kalau hasilnya konflik, dan selama proses perjuangannya terus berkecamuk konflik, berarti ada yang salah dalam gerakan itu? Apa yang salah? Ideologi Darul Islam itu tidak Qurani alias tidak termaktub dalam al-Quran. Allah dalam al-Quran mengajak manusia untuk membangun Darus Salam: negeri yang damai, bukan Darul Islam, “Wa Allāhu yad’ū ila dār al-salām” (Surat Yunus ayat 25) “Dan Allah menyeru manusia kepada negeri yang damai”. Kenapa ayat ini selalu ditafsirkan surga (padahal ayat itu tidak sedang bicara surga)? Bolehkah jika kita tafsirkan ayat itu bahwa kita mesti membangun negeri yang damai di dunia ini?
Mengapa selalu memunculkan konflik? Bahkan jadi global conflict dan global chaos? Satu saja jawabnya: garis demarkasi yang dibuat itu pasti mengundang musuh. Itu alami. Menuduh-nuduh kekafiran (dalam pengertian negatif) kepada orang lain, termasuk yang beda agama, pasti melahirkan respons balik yang juga negatif. Nah sekarang problemnya, ketika paham Islam ideologis dari negeri-negeri yang penuh konflik di Timur Tengah sana, diimpor ke Indonesia, bahkan sejak akhir 1980-an, dan tidak ada musuh ideologis non-Muslim disini, maka kini yang jadi sasaran adalah sesama Muslim. Sesama Muslim yang dituduh “tidak syar’i, tidak kaafah, tidak Islami, thaghut, dajjal dll”, sambil ditunjuk-tunjuk mukanya, tinggal tunggu saja konflik meledak. Dan akhirnya itu terjadi.
Karena itu sudahi saja. Enough is enough! Pemberontakan napi teroris di Mako Brimob dan bom Gereja Surabaya (13 Mei), semoga jadi insiden terorisme yang terakhir. Kalau pemerintah berani melarang HTI dan tegas terhadap kelompok Takfiri dan terorisme, kami—Muslim Indonesia—pasti sangat mendukung. Pemerintah Mesir saja berani kok melarang gerakan Ikhwan. Garis demarkasi yang dibuat gerakan-gerakan diatas hanya membuat kaum Muslim terpecah dan terpolarisasi dalam aras konflik. Kini, sebagian dari kelompok-kelompok Islam ideologis itu hanya sibuk merakit bom dan meledakannya! Islam ideologis ini menuntut orang untuk “mencintai” agamanya tapi harus tercerabut dari akar kulturalnya, dari tanahnya, dari airnya, dari keluarganya, dan dari asal-usul primordialnya, aneh bukan? Padahal, Islam ideologis adalah produk tafsir atas Islam, bukan Islam itu sendiri.
Mari kita kembangkan Islam kultural Indonesia yang kaya ini. Ada dua keistimewaan Islam kultural ini. Pertama, dengan senang dan bebas kita merayakan keislaman kita sambil merayakan kekayaan kebudayaan kita. Sejak kerajaan Majapahit, lalu muncul kerajaan-kerajaan Islam, lalu disepakatilah NKRI dan Pancasila. Sebagian besar Ulama Indonesia menyebut Pancasila itu sudah “sesuai dengan syariat Islam”, bahkan kini disebut lagi “Huwas syari’atu Aynuha” Pancasila menjadi syariat itu sendiri, karena isinya berisi pokok-pokok syariat agama. Karena itu, Pancasila mengikat perjanjian dan kesepakatan seluruh kaum Muslim Indonesia. Dari Pancasila kita mengembangkan ukhuwwah basyariyah, ukhuwwah wathaniyyah, dan tentu saja ukhuwwah Islamiyyah/Imaniyyah. Bagaimana mungkin kita bisa menjalankan agama dengan nikmat dan bebas jika tidak menjaga dan mencintai negeri ini (ukhuwwah wathaniyyah dan basyariyyah). Sejak tahun 1950-an Islam Indonesia terus mengalami perkembangan dan dinamikanya yang positif. Siapa yang telah berjasa besar mengembangkan model Islam, dakwah Islam, wajah Islam dan kajian keislaman Indonesia dalam 60 tahun terakhir? Jawaban yang riil adalah NU, Muhammadiyyah, Nahdhatul Wathan, Mathlaul Anwar, Al-Wasliyah, Persis, MUI, Jamiat Khair, Al-Khairat, Badan Kontak Majlis Ta’lim, puluhan IAIN/UIN dan ribuan pesantren di negeri ini. Masyarakat Muslim dari lembaga-lembaga ini memahami, mengembangkan, dan mempraktikkan Islam Indonesia secara kreatif dari masa ke masa. Itu faktual. Tak perlu pakai ideologi ini atau ideologi itu. Cukup Islam dalam kultur Indonesia.
Kedua, gerakan Islam ideologis diatas, karena menghabiskan energi dan tersedot kepada tujuan-tujuan politik, maka ilmu pengetahuan, sains dan studi Islam tidak berkembang, jika tidak disebut mati. Dalam banyak hal, Islam ideologis yang tekstual juga melumpuhkan nalar dan kritisisme. Perdebatan ilmiah hampir tidak ada. Yang ada adalah doktrin dan indoktrinasi. Yang penting adalah taklid buta kepada tokoh-tokoh gerakan. Nah, Islam kultural, karena ada aspek kultur, aspek saeculum atau yang sekuler (maksudnya menjadikan hal-hal yang bersifat duniawi bagian dari agama), maka Islam model ini kreatif berjibaku dengan persoalan-persoalan keagamaan, kebudayaan dan kemanusiaan. Dari Islam kultural di Timur Tengah, Asia Tengah dan Asia Tenggara, muncullah para sarjana, ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang kreatif merumuskan keislaman dan kehidupan yang kompleks. Di Indonesia sendiri kemudian muncul diskursus keislaman yang merangsang gairah keilmuan seperti istilah-istilah “Keislaman, kemodernan dan keindonesiaan”, “Pribumisasi Islam”, “Islam rasional”, “Islam transformatif”, “Neo-Modernisme Islam”, “Post-Tradisionalisme Islam”, “Islam Berkemajuan” dan lain-lain. Dalam tanah Islam kultural yang subur, tumbuhlah ilmu-ilmu sosial Islam, humaniora Islam, bersamaan dengan sains, matematika, fisika dan logika. Dalam tanah yang disirami oleh darah karena konflik, kebencian, permusuhan, dan perang, apakah mungkin ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang?
Cukuplah kaum Takfiri dan terorisme, enough is enough!
0 Response to "Seabad Lebih Gerakan Islam Ideologis: Ideologi Konflik!"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR