RAMADHAN, HARUMNYA SUDAH TERCIUM
May 9, 2018
Add Comment
Asep M Tamam
Bila disepakati tanggal 16 Mei 2018 sebagai tanggal 1 Ramadan 1439 H, maka Ramadan tahun ini akan dijelang 9 hari ke depan. Berarti, Ramadan segera tiba dalam hitungan hari. Namun harumnya, nuansanya, dan segala pernak-perniknya sudah terasa hadir dari hari-hari kemarin. Udara paginya, panas siangnya, sejuk petangnya, mendung sedikit gerimisnya dan berbagai suasana yang ada mengingatkan kita akan hari-hari yang biasa dinikmati di bulan Ramadan tahun-tahun yang lalu.
Setahun yang lalu, sesaat setelah Ramadan beringsut, kita masih ingat doa yang terpanjatkan ke haribaan Sang Khalik, _"Ya Allah, panjangkan umur kami, sampaikan kami ke Ramadan berikutnya di tahun depan”_. Debaran hati menyambut kunjungan tamu agung bergemuruh dan degupnya akan bertambah manakala Ramadan tinggal tersisa dalam hitungan jam. Kebahagian menanti kunjungan Ramadan ini adalah ekspresi tahunan yang dirasakan umat Islam; remaja, dewasa, bahkan anak-anak. Bukankah para mubalig sering menyampaikan hadis nabi, _"Barangsiapa merasa bahagia dengan kehadiran Ramadhan, maka Allah haramkan jasadnya dijilat api neraka."
Tulisan ini sengaja ditulis untuk mengingatkan kita -–penulis khususnya-- agar mempersiapkan diri, fisik maupun spiritual untuk menyongsong kedatangan Ramadan dengan sambutan terhangat. Biasanya, tamu datang kepada kita untuk merepotkan. Tapi Ramadan datang dengan membawa seabreg oleh-oleh, bonus dan aneka keuntungan. Salahnya, ketimbang menyiapkan hadirnya, kita justru sering lebih _concern_ untuk mengantar kepergiannya, lalu menjemput kedatangan tamu yang lain, Idul Fitri.
Nanti, di bulan agung Ramadan, seperti biasanya, kita akan menyaksikan satu fenomena yang unik tapi salah kaprah, di mana kaum muslimin menyambut Idul Fitri dua puluh hari sebelum ia tiba. Pakaian, makanan dan kue-kue, perbaikan perabot dan cat rumah justeru dihadirkan ketika Ramadan masih dalam masa kunjungan, ketika kita tengah bersibuk mesra dengan aktivitas khasnya. Bila dihayati, sebetulnya kita telah zalim memperlakukan tamu spesial Ramadan. Keuntungan yang dibawa Ramadan dibalas dengan perlakuan sebaliknya. Ramadan menghadap, sementara kita membelakanginya karena aktif dan sibuk mendidik watak duniawi; konsumerisme dan syahwat belanja yang berlebihan.
Ramadan dan watak konsumeristik di bulan Ramadan tidak hanya terjadi di Indonesia. DR. Ahmad asy- Syarbashi dalam buku _Yasalûnaka fiddiin wa al- Hayat,_ juga Bintul Islam dalam _Mashaabih Mudhîah fî Thariiq al- Marah al- Muslimah_ menjabarkan bahwa virus konsumerisme Ramadan ini telah menjangkiti hampir di semua negara-negara Islam di dunia. Bahkan Bintul Islam berani menuturkan, umat Islam menghabiskan biaya belanja sebulan Ramadan sama dengan biaya belanja mereka dalam sebelas bulan selainnya.
Anjuran para ulama untuk menekan hasrat belanja Ramadan tampaknya tak cukup efektif karena memang perputaran uang di bulan ini luar biasa derasnya. Dari hari pertama saja, kita biasa melihat kelainan suasana di kota dan pusat perbelanjaan. Hari-hari berikutnya, kota seolah menjadi sungai yang dialiri gelombang lautan manusia yang berbelanja. Statistikanya dari tahun ketahun cenderung meningkat. Politik dagang yang dilancarkan para pedagang dan para pengusaha dengan cara membanting harga dan memberi diskon gede-gedean juga cukup berhasil untuk mengurangi kesucian dan keberkahan bulan ini, Ramadan sebagai bulan spiritual.
Umat Islam generasi demi generasi meyakini, Ramadan datang untuk mendidik dimensi ruhani agar dalam sebulan kedatangannya, mereka lebih bisa mengenal, menghayati, dan mendalami betapa pentingnya menahan diri dan betapa mahalnya harga Ramadan di setiap detiknya. Saum sendiri secara etimologi berarti menahan diri. Maka patron keberhasilan seorang muslim di bulan Ramadan adalah bagaimana ia bisa mengendalikan dirinya dan menaklukkan nafsunya. Zaman ini adalah zaman yang ditandai kemenangan nilai-nilai materi. Asumsi demikian sepertinya berlaku umum dewasa ini. Maka pertahanan diri yang kuat di zaman sepeti ini akan bisa mendorong penguatan semangat spiritualitas dan ibadah kita sebagai muslim.
Dulu, generasi-generasi awal Islam, umat menyambut Ramadan dengan berbagai target, rencana dan strategi yang semuanya bermuara pada pemuasan nilai-nilai rohani. Kita sering mendengar kabar, para ulama telah membereskan urusan-urusan duniawi mereka --berdagang dan usaha-usaha lainnya-- beberapa saat sebelum Ramadan tiba.
Bila Ramadan tiba, urusan mereka hanyalah untuk mendidik segala sesuatu yang berwarna spiritual. Hati, lidah, mata, telinga, dan seluruh anggota badannya mereka tata untuk dijaga. Lalu simbol-simbol spiritualitas mereka data untuk kemudian diakrabi. Simbol-simbol itu adalah mesjid, Alquran, fakir miskin, halaqah ilmu, dan perkakas ibadah yang lainnya. Ketika Ramadan memasuki sepuluh hari terakhir, hari-hari itu mereka jadikan momentum terindah dan kesempatan termahal untuk memuaskan hasrat ibadah dan kemesraan dengan Allah SWT. Yang lebih mengharukan lagi adalah ketika Ramadan menyisakan hari-hari terakhirnya, hari-hari terakhir itu betul-betul mengundang tumpahan air mata mereka. Mereka menganggap kenikmatan ibadah di bulan suci ini takkan menghampiri mereka lagi di tahun depan.
Bersiap dan berbenah
Layaknya menyambut tamu agung sudah semestinya kita siapkan. Kita punya waktu lebih awal dari biasanya agar bisa mendata diri sehingga Ramadan tahun ini menjadi Ramadan terbaik dan terindah. Kegagalan-kegagalan Ramadan tahun lalu tak terulang di tahun ini.
Begitu banyak gelar yang disandang oleh bulan suci Ramadan ini. Ia adalah bulan menahan diri ( _syahr al- shiyam_), bulan ibadah ( _syahr al ibadah_), bulannya al- Quran ( _syahr al- Quran_), bulan kesabaran ( _syahr al- Shabr_), bulan pengampunan ( _syahr al- maghfirah_), bulan kebaikan ( _syahr al- birr_) bulan penuh berkah ( _syahr al- barkah_) dan puluhan bahkan ratusan gelar lainnya. Bagi kita, gelar-gelar demikian haruslah dijadikan pemacu dan pemompa berbagai semangat kebaikan dan pengabdian. Mungkin kemarin-kemarin, di bulan-bulan yang lalu potensi-potensi itu terpendam dan melempem, tak terkawal, tak terperhatikan.
Ramadan tahun 2018 ini harus bisa mewujudkan target dari berbagai peningkatan. Semoga kita bisa. _Wallâhu min warâ al-qashd_
0 Response to "RAMADHAN, HARUMNYA SUDAH TERCIUM"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR