-->

DAHSYATNYA KEKUATAN LAPAR DAN HAUS


Asep M Tamam
Bila ditelisik sepintas saja, nuansa Ramadan yang paling kentara secara lahir adalah lapar dan haus. Dua sejoli ini, bagi mereka yang belum tersinari cahaya Ramadan dan belum merasa terpanggil untuk berpuasa sering terasa menyiksa. Siksaan lapar dan haus akan lebih terasa menyakitkan bagi mereka yang aktif bekerja seharian, di terik matahari siang yang membakar, di tengah ‘belantara’ kota besar semisal Jakarta.

Namun, ceritanya akan lain bagi mereka yang bahagia bersua lapar dan haus Ramadan. Bagi mereka, manisnya lapar dan haus bukan hanya janji semata, tapi bukti konkrit, batiniah maupun jasmaniah. Di mata mereka, kenikmatan lapar dan haus berlaku universal, bukan hanya ditemukan di tempat sejuk dengan pohon-pohonan lebat dan buah-buahan segar, tapi bahkan ketika mereka harus berada di tempat sepanas lautan padang pasir dan segersang benua kering Afrika.

Harus disadari, walaupun kita hidup di negeri yang belum maju, tapi tak pernah kita hawatir anak-anak kita kelaparan. Dulu, untuk mendapat suapan makan, seorang anak harus menunggu nasi matang sambil menangis meronta-ronta. Sekarang, untuk menyuapi seorang anak, seorang ibu harus merayu dan memaksanya dulu. Pada saat itu si anak menangis enggan makan karena memang, ia belum merasa lapar.

Asumsi kita, kenyang adalah simbol kemapanan dan kesejahteraan. Sebaliknya, lapar adalah gambaran kemiskinan dan serba-kekurangan. Ibadah saum rupanya mematahkan asumsi itu. Islam mengajarkan keterpaduan antara fisik dan jiwa, rohani dan jasmani, spirit dan materi. Bahhkan kalau harus dikatakan, kebutuhan rohani dalam Islam menaklukkan kebutuhan jasmani. Hal demikian dalam Alquran difirmankan, _“Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."_ (QS. Yunus [10]: 58)   

MENYIBAK PESONA DI TIAP SISI RAMADAN
oleh Asep M Tamam
_Subhânallâh!_ Kalimat itulah yang spontan meluncur dari mulut kita tiap kali melihat, mendengar atau membaca apapun yang menakjubkan. Kalimat itu juga yang terlontar setiap dibacakan surat al-Baqarah ayat 183. Ayat ini begitu familiar, bahkan sangat familiar karena tiap tahun selalu dibaca mulai jauh-jauh hari sebelum Ramadan tiba, menjelang tiba, di awal bulan bahkan hingga bulan mulia ini bersua hari terakhirnya. Ayat ini selalu ‘ngangenin’. Keanggunannya sering menyingkap lembar demi lembar perjalanan yang telah dilalui, semenjak pertama kali orang tua kita memperkenalkan shaum. Kemuliaan ayat ini, walau beribu-ribu kali diulang takkan mungkin membuat kita sampai bosan.

Ayat ke-183 dari surat al-Baqarah yang selalu dilantunkan para ulama dan pendakwah ini, kekuatannya telah menggerakkan semua manusia beriman penghuni planet bumi untuk serempak bangun dini hari untuk sahur, serempak berbuka puasa bila azan maghrib mengumandang, serempak untuk mengisi setiap relung Ramadan dengan upaya maksimalisasi, dan serempak untuk memanjakan diri menikmati aneka hidangan spiritual dalam kesyahduan menghamba.
Tentunya, disyariatkan shaum melalui ayat ini adalah pesona utama dan terutama dari hadiah Ramadan yang Allah berikan kepada kita. Tanpa diturunkannya ayat ini, pastilah kita kehilangan beribu momentum kenikmatan batiniyah yang efek kepuasannya tak mungkin pudar sepanjang hayatnya bumi.

PESONA LAPAR
Sebulan saja dalam setahun kita diuji untuk mengubah pola hidup, mengganti jadwal makan, jam tidur, jam istirahat, dan tentunya jam ibadah. Dalam sebulan itu umat harus tunduk pada ketentuan yang telah digariskan, yaitu kewajiban menahan lapar, haus, dan syahwat, padahal ketiganya merupakan modal naluriah yang dititipkan bukan hanya pada manusia, tapi juga makhluk yang lain seperti binatang.
Berat memang, dalam setengah hari kita harus mengosongkan perut yang biasanya kita pasok dengan ‘sampah’ yang nikmatnya hanya sampai di lidah. Tapi itulah caranya agama mendidik kita untuk memahami makna keseimbangan. Allah SWT berfirman, _“Makanlah, minumlah, tapi janganlah berlebihan!”_ (QS. Al- A’raf [7]: 31 ), Nabi pun  bersabda, “Sungguh, termasuk kategori berlabihan bila kamu memakan apa saja yang ketika kamu mau, kamu memakannya.”
Para ulama ahli tafsir, ketika menafsirkan ayat,  _”Sebagaimana puasa ini diwajibkan kepada umat-umat sebelum kamu”_, menjelaskan bahwa untuk menjaga keseimbangan jasmani dan rohani, juga untuk lebih memfokuskan diri pada satu misi, orang-orang Yunani kuno, Mesir kuno, Nasrani, Yahudi, Majusi, bahkan para penganut Hindu dan Budha terbiasa melakukan ritual pengosongan perut.
Kekuatan rasa lapar, ternyata telah membangunkan umat Islam sejagat untuk berada dalam satu kondisi dan satu rasa. Keseragaman ini telah menghadirkan empati, altruisme ( _itsar_ dalam bahasa Arab) dan jiwa solidaritas yang kuat antara orang hitam dan putih, orang kaya dan miskin juga para pemimpin dan rakyatnya. Kesatuan rasa inilah yang seharusnya bisa melahirkan _‘izzah_’, yaitu keunggulan Islam dalam segala bidang. Namun sayangya, kebanyakan umat ini tidak atau belum mampu untuk mengarahkan kekuatan dari hikmah ( _falsafah tasyri’_) shaum ke arah sana. Mereka hanya baru mampu untuk memahami shaum sebagai ibadah _mahdhah_ (hubungan dengan Allah) saja. Padahal, bila kita mampu memahami dan memahamkan shaum ini lebih jauh lagi, kita akan menyaksikan indahnya pesona ke-Mahaadilan Allah yang tercipta lewat kewajiban shaum.      

PESONA KEKHUSUSAN BULANDalam hadis qudsi Allah berfirman, _“Shaum itu miliku, aku akan membalas pahala shaum sekehendakku.”_ (HR. al-Bukhari). Dengan firman-Nya ini, Allah mengkhususkan Ramadan sebagai bulan yang teristimewa. Sepuluh hari pertamanya Allah mengguyur umat Islam dengan hujan rahmat, sepuluh hari yang kedua Allah membanjiri umat dengan lautan _maghfirah_ dan sepuluh hari ketiga Allah haramkan jasad umat dari sentuhan bara neraka.
Bila Allah mengkhususkan mesjid sebagai rumah milik-Nya di antara miliaran rumah tempat tinggal ( _Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.”_ (QS. Al- Jinn [72] : 18), dan bila Mesjid al-Haram dikhususkan sebagai rumah-Nya ( _Baitullah_ atau rumah Allah), maka Allah pun mengkhususkan Ramadan sebagai bulan-Nya dan shaum sebagai ibadah khusus bagi-Nya.
Kekhususan bulan ini takan bisa dibandingkan dengan bulan yang lainnya walaupun harus 'dikeroyok’ oleh sebelas bulan. Kekhususannya membuat Ramadan bergelar “Bulan seribu gelar”. Nilai pahala ‘gede-gedean’ dan segala fasilitas kebaikan yang disibak dalam hadis-hadis Nabi menjadi hujjah bahwa di bulan ini umat Islam jangan pernah sampai lengah. Di bulan inilah kitab termulia (Alquran al- Karim) turun kepada makhluk termulia ( _khair al- bariyah_), pada malam paling mulia ( _Lailat al-Qadr_) untuk dipedomani umat termulia ( _khair ummah_). Kitab inilah yang menunjukkan jalan lurus yang menyelamatkan manusia dari bencana duniawi dan derita ukhrawi.        
Kekhususan lainnya adalah turunnya satu malam dalam setahun. Ia adalah _lailat al- qadr._ Malam ini, karena kemuliaannya menjadi pusat kerinduan umat dalam menggapai puncak kenikmatan spiritual. Setetes kebaikan yang dilakukan dalam rentang waktu sedetik saja akan lebih bermakna dari “seribu bulan”. Allah maha berkehendak untuk menyentuhkan kebaikan malam ini bagi siapa pun yang ikhlas dalam mengisi detik demi detik Ramadan dengan terus memagutkan hatinya untuk berbisik, merayu, dan tak putus rindunya untuk bermesraan dengan-Nya. Bagi mereka yang belum mampu mengoptimalkan sepuluh hari pertama dan sepuluh hari kedua, maka sepuluh hari ketiga adalah momen untuk bertanya dan berkata pada dirinya sendiri, “Ayo, kapan lagi kamu punya waktu, ini adalah hari-hari terindah yang belum tentu bisa kamu temukan di tahun depan. Ayo, buanglah malas, lawanlah, kalahkan ia, atau kalau tidak, kamu akan pulang ke haribaan-Nya nanti sebagai pecundang!”

PESONA TAKWA 
“Takwa itu terletak di sini,”, demikian Nabi SAW dalam hadis riwayat Bukhari Muslim bersabda sambil menunjuk dadanya. Memang, kalau kita mengacu pada hari-hari yang lalu sebelum Ramadan tiba, kita mendapatkan hati kita liar dan tak terawat. Ketakterawatan hati inilah yang menyeret panca indera kita menjadi sama liarnya. Namun ada yang aneh ketika Ramadan, dengan segala pesonanya hadir dan membawa kita dalam ‘penggembalaan’ hati. Di bulan yang teramat mulia ini kita harus berfikir dua bahkan sampai berkali-kali untuk membebaskan lidah kita berbicara semaunya, mata kita ‘jelalatan’ sekenanya, kaki kita melangkah sekehendaknya, dan pikiran kita menerawang semesumnya. 

Ramadan datang dengan membawa  satu saja misi, yaitu agar umat Islam bertakwa. Memang tak mudah untuk kita mengisi hari dengan takwa, yaitu mengerjakan setiap perintah dan menjauhi semua larangan. Maunya kita bahkan sebaliknya, bukankah Nabi bersabda, “Surganya Allah diliputi segala hal yang pahit dan memberatkan, sementara neraka-Nya dilingkupi segala hal yang menyenangkan dan menyelerakan.” (HR. al-Bukhari). Takwa adalah barang mahal yang tidak diperjualbelikan, atau pusaka yang tidak bisa diwariskan. Ia hadir di benak siapa pun yang cerdas emosional, cerdas sosial dan terutama cerdas spiritual, dan Ramadan hadir untuk misi itu.

Ketakwaan seorang muslim akan mencapai klimaksnya manakala segenap aspek multidimensional Ramadan bisa dijalankan secara paripurna. Aspek rohani adalah menu utama bulan ini, sementara aspek sosial adalah pelengkap utama. Zakat adalah aspek rohani karena ia adalah perintah ilahi, tapi manfaat sosialnya juga sangat besar karena membawa dampak keadilan dan kenyamanan hidup bermasyarakat.

Pesona Ramadan begitu luas dan tak sesempit apa yang bisa penulis tulis di sini. Pesonanya bahkan seluas cakrawala pemikiran manusia berpikir. Setiap muslim yang berpuasa pasti mendapat pesona Ramadan yang mungkin tidak dirasakan muslim yang lain. Begitu mahalnya pesona itu sehingga Allah menghadirkannya hanya sebulan saja dalam setahun. Oleh karena itu, karena Ramadan masih menyisakan hari-harinya yang panjang, maka mari kita cari pesona-pesonanya yang lain, sebanyak yang bisa kita cari.

Wallâhu min warâ al- qashd_Salah satu buku bergenre hadits Nabi yang otoritatif dan dipelajari para santri di Indonesia adalah _Riyadh al- shalihin_. Dalam buku itu Imam al-Nawawi menggamblangkan bagaimana Nabi dan para sahabat telah adil membagi atensi dalam memenuhi hak-hak fisik dan jiwa. Tentang lapar misalnya, ada setidaknya 30 hadits yang membuat kita harus mengkaji ulang, lalu malu melihat kehidupan kita hari ini yang cenderung timpang dalam memperlakukan fisik di satu sisi, dan jiwa di sisi yang lain.    

Al- Bukhari, Muslim, Turmudzi dan lainnya meriwayatkan pengalaman yang tiada duanya dalam sejarah umat manusia. Nabi dan para sahabat telah berhasil menjadi pelaku utama dalam menaklukkan _syahiyah_  (selera) makan dan minum) demi menjalankan misi dakwah islamiyah.
Aisyah RA menuturkan bahwa keluarga Nabi tak pernah kenyang dalam dua hari berturut-turut sepanjang hidupnya (HR. al- Bukhari dan Muslim). Bahkan pernah dalam tiga bulan dapur rumah Nabi tak terlihat ‘ngebul’. Artinya dalam rentang masa tiga bulan itu keluarga Nabi tidak memasak makanan. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari Muslim itu, Nabi dan keluarganya hanya menyantap _aswadain_ (air dan kurma). Selama tiga bulan itu, para tetangga dari golongan Anshar sering datang mengirim makanan dan susu untuk keluarga Nabi.

Kisah lainnya yang sangat menyentuh hati diriwayatkan oleh Imam Muslim. Imam ahli hadits terbesar setelah al-Bukhari ini meriwayatkan bahwa pada suatu malam, Nabi merasakan lapar yang amat sangat hingga memaksa beliau keluar rumah. Di luar, beliau bertemu Abu Bakar dan Umar yang rupanya, keduanya pun dilanda rasa lapar yang menyiksa. Perjalanan malam mereka bertiga terhenti di rumah Abu Haitsam bin al-Taihan. Betapa bahagianya Abu Haitsam kedatangan tiga orang yang bersahabat dalam naungan keikhlasan cinta karena Allah SWT itu. Jamuan malam yang dihidangkan membuat ketiga guru kita ini kenyang dan puas. Namun yang terjadi selanjutnya adalah, Nabi berkata kepada dua sahabat terkasihnya itu, “Yakinlah, kalian akan ditanya oleh Allah atas nikmat yang Dia berikan malam ini.”

Abu Hurairah adalah seorang sahabat yang mempunyai pengalaman unik dalam hal lapar. Lapar yang menyengat melandanya pada suatu malam. Ia lalu memasukkan beberapa batu untuk mengganjal perutnya. Karena masih lapar ia pun tersungkur dan pingsan di tempat antara mimbar Nabi dan kamar Aisyah. Seseorang lalu datang dan menginjakkan kakinya di leher Abu Hurairah. Abu Hurairah berkata, “Orang itu mengira aku gila, padahal aku normal. Aku tersungkur dan pingsan karena rasa lapar yang tak terperikan.” (HR. al- Bukhari).

DAHSYATNYA LAPAR DAN HAUS
Masih banyak sebetulnya riwayat yang mengisahkan pahitnya rasa lapar yang menyiksa jasad (fisik) orang orang saleh selain para sahabat nabi. Namun kesimpulan yang bisa diraih adalah, tak ada masalah bagi orang saleh, entah jaman dulu atau hari ini, bila lapar hanya bersifat fisik (jasmani) saja. Yang kemudian jadi masalah adalah bila lapar itu menyergap jiwa, mental dan spiritual mereka.
Laparnya para pejuang Islam di medan perang yang terjadi di bulan Ramadan tidak lantas membuat ruh (semangat) mereka kendor akibat lemahnya badan. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Syaikh Ahmad asy- Syarbashi, dalam buku _Yasalûnaka fi al-Dîn wal-Hayat_, jilid enam, menulis judul _Hadatsa fii Ramadhan_ (kejadian-kejadian penting di bulan Ramadan) dengan panjang lebar. Dalam penjelasan dari halaman 427-493 itu, asy-Syarbashi menampilkan puluhan kisah yang cukup lengkap melewati berbagai zaman, dari mulai zaman Nabi sampai dengan abad modern ini.
Yang terpenting dari berpuluh kisah kegemilangan para ‘pejuang Ramadan’ itu adalah kemenangan perang Badar. Kekalahan kafir Quraisy di tangan umat Islam adalah modal yang teramat mahal dalam menghadapi serumit apapun kondisi umat Islam di medan perang. Kemenangan Badar adalah bekal bagi perang-perang selanjutnya bahwa untuk meraih kemenangan, jumlah pasukan tidak jadi masalah. Kemenangan di perang-perang selanjutnya membuktikan bahwa ratusan pasukan umat Islam nyata-nyata telah mengalahkan ribuan pasukan kafirin dan ribuan pasukan muslimin mengalahkan puluhan ribu pasukan kafirin.

Peristiwa kunci yang lainnya adalah penaklukan Mekah ( _futuh makah_) yang terjadi tanggal 20 Ramadan tahun ke-delapan Hijriyah. Peristiwa maha penting itu membuka jalan persatuan negeri Hijaz dalam melebarkan sayap Islam ke luar wilayah. Dan nyatanya, sejak peristiwa itu Islam menjadi hegemoni setelah menjatuhkan dua kekaisaran adidaya; Persia dan Romawi. Philip K. Hitti dalam _Islam and politics_ menuturkan bahwa pada masa itu hanya satu hal yang bisa mengalahkan dua kerajaan penguasa dunia itu. Hal itu adalah “ 'mimpi'.

Peristiwa lain yang mewarnai perjalanan Ramadan dan tercatat dengan tinta emas, secara singkat adalah: peristiwa penghancuran berhalan ‘uzza di tangan Khalid bin Walid pada Ramadan tahun kedelapan H. Di Ramadan tahun kesembilan, kemenangan juga diraih Nabi dan para sahabat dalam perang Tabuk.

Penaklukan Spanyol ( _Fath Andalusia_) terjadi pada Ramadan tahun 91 H. Penaklukan itu membuat Islam berkuasa di Spanyol selama delapan abad. Di spanyol juga, Perang Zallaqah di dekat Cordoba terjadi antara  tentara Islam dengan kafirin Spanyol pada Ramadan tahun 479 H. Perang dahsyat yang dikomandani Yusuf bin Tasyfin itu dimenangkan pasukan muslimin.
Pada Ramadan tahun 658 H, kegemilangan perang ‘Ain Jalut’ dimenangkan umat Islam di Palestina. Pada pertempuran besar-besaran itu umat Islam, di bawah pimpinan sultan Muzhafar Saifuddin al- Ma’zi mengalahkan pasukan Tatar dari Mongolia yang sebelumnya telah mengalahkan pasukan umat Islam di berbagai negara yang ditaklukkan pasukan Islam.

BULAN LAPAR
Kemenangan-kemenangan yang diraih umat Islam dalam pertempuran- pertempuran di bulan Ramadan ini menjadi dalil yang kuat bahwa Ramadan adalah bulan yang ditandai keunggulan dimensi rohani atas jasmani. Memang, hari ini pertempuran jasmani atau kontak fisik tak lagi terjadi. Namun itu bukan berarti kita harus lengah dalam membangun kekuatan rohani. Musuh dalam pertempuran kali ini, di jaman ini adalah perang melawan hasrat menggebu dan dorongan-dorongan duniawi yang arusnya sering menggenangi dan membanjiri wilayah rohani kita.

Bila direnungkan lebih seksama, musuh rohani kita di jaman ini ternyata lebih kuat dan lebih berbahaya dibanding serdadu bersenjata seperti yang terjadi pada peristiwa-peristiwa di atas. Ambisi merebut dan mempertahankan kekuasaan, hasrat membangun kekayaan materi dengan korupsi, perebutan kursi nomor urut caleg, hobi mengutak atik anggaran demi menyisihkan sebagiannya untuk kantong pribadi, kebiasaan mencari-cari alasan dari kesalahan yang diperbuat, kegemaran menipu dan mengobral janji palsu demi meraih dukungan massa dan lain-lainnya adalah musuh yang lebih kuat efek bahayanya dibanding musuh di medan laga.

Maka, apalagikah yang harganya semahal ‘lapar’ ibadah shaum? Adakah satu kekuatan yang mengalahkan kekuatan nilai-nilai rohani? Kalau jawabannya tidak ada, apalagi yang kita tunggu? Ayo, mari kita nikmati lapar Ramadan mumpung kita masih berada di tanggal-tanggal awalnya, untuk mengenyangkan dimensi rohani kita, sekenyang-kenyangnya.
_Wallaahu min waraa al- qashd_.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "DAHSYATNYA KEKUATAN LAPAR DAN HAUS"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel