-->

Manusia sebagai Makhluk Surgawi

RENUNGAN SERIAL MENGENAL DIRI : MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SURGAWI (SELESTIAL)


Wahai manusia, sesungguhnya dirimu yang sejati bukanlah makhluk duniawi (terestrial) tetapi makhluk surgawi-samawi (selestial). Ingatlah jetika Suhrawardi berkata: "Engkau adalah burung merak yang sangat indah yang diturunkan ke bumi dalam keadaan terbungkus, sehingga kau tak kenal lagi keindahanmu yang sejati." "Engkau," kata Ibnu Sina, "adalah burung yang terpedaya oleh umpan sang pemburu, sehingga terjerat jaring dan kini berada dalam sangkar, padahal asalmu dari langit.."
"Engkau," kata Maulana, "bukanlah burung biasa, tetapi burung Rajawali peliharaan sang raja, yang dengan sayapnya yang panjang dan lebar dan kepakannya yang kuat, dapat melesat cepat ke istana raja." "Ibarat hewan," kata Maulana selanjutnya, "engkau bukanlah hewan biasa, tetapi Singa si raja rimba, di mana hewan yang lain memakan sisa makanannya." "Terhadap dunia," katanya lagi, "engkau adalah kutub, di mana yang lain berputar mengikuti arahanmu." Tapi, kata Mawlana, "Kepulan debu di belakang kuda yang kita tunggangi dalam perjalanan terestrial ini menutup pandangan kita sehingga lupa dari mana kita berasal, dan dengan itu pula kita lupa harus ke mana kita kembali."
Dengan demikian kau bukan makhluk yang lemah dan hina.. Dengan potensi besar yang Allah anugerahkan padamu, kau bisa menjadi apa saja yang kau mau, asal mau berjuang untuk mengaktualkannya..  Sekali kau mengenal jati dirimu, kau adalah makhluk yang indah, makhluk surgawi yang tangguh dan perkasa.. kau adalah poros dunia dan panutan bangsa manusia dan makhluk Tuhan yang lainnya.
RENUNGAN SERIAL MENGENAL DIRI (2): DI MANA LETAK KEKUATANMU?
Di seri pertama dikatakan bahwa manusia itu tidak lemah dan hina tetapi kuat. Tapi pertanyaannya di mana letak kekuatanmu? Jelas bukan pada fisihmu, seberapapun hebat dan canggihnya ia. Sebab kalau diukur secara fisik, gajah jauh lebih besar dan lebih kuat. Lagi pula sang Nabi bersabda: "Orang kuat bukanlah yang mampu menjatuhkan lawan ketika berkelahi. Tetapi orang kuat itu adalah yang dapat menahan emosi kietika marah!" Tubuh hanyalah alat bagi kekuatan jiwa yang tersembunyi di dalamnya. Plato pernah mengumpamakan jiwa seperti penunggang kuda, dan tubuh seperti kudanya. Ia adalah alat dan pembantu jiwa dalam merealisasikan keinginannya. Atau seperti yang dikatakan Nashiruddin Thusi, jiwa ibarat pemilik rumah dan tubuh adalah rumahnya..
Lalu di mana kekuatan itu terletak? Para filosof menjawabnya pada akal yang dipandang sebagai differentia yang membedakannya dari hewan lainnya. Marah misalnya hanya bisa dikendalikan oleh akal, yang dipandang sebagai mudabbir alias manager dari nafsu-nafsu rendah, syahwiyyah dan ghadhabiyyah. Akal pula yang memungkinkan manusia untuk meraih ilmu, sebagai cahaya atau lentera kehidupan. Dengan ilmu manusia mengetahui berbagai realitas (haqa'iq) baik yang fisik maupun yang non-fisik. Dengan akal manusia tahu akan keberadaan Tuhan, hakikat alam dan dirinya. Dengan akal manusia mampu nembedakan yang baik dan yang buruk, dan dengannya manusia dibimbing ke arah yang benar.
Tetapi dalam Islam, akal tidak dipandang sebagai segalanya. Di samping banyak kelebihannya, menurut para sufi, akal juga punya banyak kelemahannya. Pada hal-hal tertentu bahknan ia tidak tahu apa-apa. Bukankan sang Maulama pernah berkara: "ketika akal ditanya tentang cinta, ia tersungkur ke lumpur seperti seekor keledai." Dan juga: "di gerbang cinta, akal tiada berguna, karena di sana tidak ada tanya mengapa dan bagaimana."
Lagi pula ilmu yang diperoleh akal hanya mencapai level teoritis (nazhariyyah), dan sering tidak mencapai level praktis. Bahkan fikih dan teologi (ilmu kalam) yang lebih cenderung pada formalitas, menurut Rumi, tak mampu melakukan transfornasi jiwa yang sangat diperlukan bagi perealisasian potensi-potensi kemanusiaan yang menjadi syarat bagi tercapainya cita-cita tertinggi manusia: insan kamil. Menurut beliau hanya ilmu tasawuf dengan makrifahnya yang mampu melakukan transformasi jiwa yang dimaksud. Semoga manfa'at!
RENUNGAN SERIAL MENGENAL DIRI (3): STRUKTUR JIWA MANUSIA
Atas pertamyaan teman tentang jiwa manusia. Berikut ini adalah jawaban yang bisa saya berikan: Yang perlu dicermati ketika bicara jiwa dan divisinya adalah perbedaan tinjauan tentang jiwa antara filosof dan sufi. Kalau para filosof, sebagai kaum rasionalis, lebih menekankan akal. Bagi mereka akal adalah jiwa manusia, yang dibedakannya dengan jiwa tumbuhan dan jiwa hewani yang juga ada dalam diri manusia. Selagi ada dalam tubuh ia disebut jiwa rasional, tetapi ketika bercerai dengan tubuh ia disebut akal, dan akal itu merupakan substansi rohani, karena itu, dilihat dari sifat dasarnya ia juga bisa disebut ruh, yang tidak ikut mati dengan kematian tubuh. Sumber utama mereka adalah filsafat Yunani. Para filosof membagi jiwa ke dalam tiga bagian: syahwiyyah (Syahwat), ghadhabiyyah (marah) dan nuthqiyyah (rasional) yang nenjadi ciri khas manusia. Kadang jiwa rasional ini disebut dengan akal saja. Para filosof jarang sekali menguraikan "ruh" atau "qalb," tetapi mereka menggunakan istilah nafs dan akal, ketika membahas jiwa manusia.
Para sufi melihat jiwa manusia agak berbeda tapi pada dasarnya tidak bertentangan. Karena iru ada sufi, seoerti al-Ghazali yang menccoba mengkombinasikan konsep para filosof dan sufi. Bersumber pada al-Qur'an, mereka bicara tentang nafs, qalb dan ruh. Nafsu kadang diterjemahkan sebagai nafsu, ada juga jiwa, ada juga diri (self), tergantung pada konteks dan penafsiran sang sufi. Nafs dibagi ke dalam beberapa bagian tergantung pengarangnya. Ada yang membaginya menjadi 3, musalnya nafsu amarah, lawwanah dan muthma'innah ada juga 7: ammarah, lawwamah, mulhamah, muthma'innah, radhiyyah, mardhiyyah dan kamilah. Qalb, biasanya diterjemahkan sebagai hati, tapi al-Ghazali kadang menyamakannya dengan ruh. Hakim Turmudzi membagi qalb menjadi 4: shudur, qalb, fu'ad dan lubb. Ruh dibagi oleh tarekat Khalwati ke dalam 7 tingkat: ma'dani, nabati, haiwani, nafsani, insani, sirr dan sirr al-asrar.
Saran saya supaya tidak bingung, fahami jiwa menurut perspektif yang digunakannya, filosofis atau sufistik. Mencampur adukkan keduanya bisanya menjadi sumber kebingungan bagi pelajar psikologi Islam. 

Terima kasih, semoga manfaat!

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Manusia sebagai Makhluk Surgawi"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel