Memahami Hadis Bendera Nabi SAW; Jangan Mau di bohongi HTI
April 16, 2017
Add Comment
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بن رِشْدِين
قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْغَفَّارِ بْنُ دَاوُدَ أَبُوْ صَالِحٍ الْحَرَّانِي
قَالَ حَدَّثَنَا حَيَّانٌ بن عُبَيْدُ اللهِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُوْ مَجَازٍ بن
حُمَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللهِ سَوْدَاءَ
وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ مَكْتُوْبٌ عَلَيْهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ
رَسُوْلُ اللهِ.
“Dari Ibnu Abbas mengatakan:
“Bendera (pasukan) Rasulullah itu hitam dan panjinya itu putih yang bertuliskan
di atasnya La Ilaha illa Allah Muhammadu Rasulullah” (HR. Thabrani)
Hadis yang menerangkan tentang bendera hitam bertuliskan
kalimat tauhid di atas terdapat dalam kitab Mu’jam al-’Awsath karya imam
al-Thabrani.
Selain terdapat dalam Mu’jam al-Thabrani, Hadis serupa juga
terdapat dalam kitab Akhlaq al-Nabi Saw wa Adabuhu karya Abu al-Syaikh
al-Ashbihani.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
زَنْجَويه المخرمي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بن أَبِي السَّرِي العَسْقَلَانِي،
حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ بن طَالِبٍ، عَنْ حَيَّان بن عُبَيْدِ اللهِ، عَنْ أَبِيْ
مَجَازٍ، عَنِ ابْنُ عَبَّاسٍ، قال: كَانَتْ
رَايَةُ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ سَوْدَاءَ وَلِوَاءُهُ أَبْيَضُ،
مَكْتُوْبٌ فِيْهِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ
Kajian Sanad
Secara umum Hadis-Hadis yang menerangkan tentang bendera
hitam yang bertuliskan La Ilaha Illa Allah Muhammad Rasulullah sebagaimana yang
tertera di atas mempunyai kualitas lemah baik yang diriwayatkan oleh
al-Thabrani maupun Abu al-Syaikh. Hadis di atas termaktub dalam kitab al-Kamil
fi Dhu’afa al-Rijal karya Ibnu ‘Adi, yang mana kitab tersebut menghimpun
Hadis-Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah.
Adapun kedaifan Hadis riwayat al-Thabrani ini dikarenakan
adanya seorang perawi yang bernama Ahmad bin Risydin. Oleh imam al-Nasa’i,
perawi dikategorikan sebagai kadzdzab, imam al-Dzahabi memberikan status
muttaham bi al-wadh’, imam Ibnu Hatim mengomentarinya dengan takallamu fihi,
dan Ibnu ‘Adi mengatakan bahwa ia adalah perawi yang banyak memilki riwayat
Hadis akan tetapi banyak sekali yang munkar dan palsu, dan ia termasuk orang
yang riwayat Hadisnya banyak ditulis. Sedangkan Ibnu Yunus, Ibnu ‘Asakir, Ibnu
al-Qaththan, dan Maslamah bin al-Qasim mengatakan bahwa Ahmad bin Risydin
merupakan huffazh al-Hadis dan tsiqah.
Setelah menimbang sesuai dengan kaidah al- jarh wa al-ta’dil yang mengatakan
“bila terdapat dua keterangan antara jarh dan ta’dil maka diutamakan jarh
apabila terdapat keterangan”, maka penulis mengategorikan Ahmad bin Risydin
sebagai muttaham bi al-kidzb yang banyak sekali mempunyai riwayat Hadis dan
Hadisnya pun ditulis.
Sedangkan kedaifan dalam Hadis riwayat Abu Syaikh dari Abu
Hurairah di atas disebabkan oleh perawi bernama Muhammad bin Abu Humaid. Oleh
kebanyakan ulama ahli Hadis seperti al-Bukhari, Ibnu Hibban, Ahmad bin Hanbal,
Abu Hatim al-Razi, al-Nasa’i, Abu Zur’ah, Ibnu Ma’in, dan al-Daruquthni,
semuanya mengatakan bahwa rawi tersebut
lemah karena ia termasuk dalam kategori munkar al-Hadis. Dan Hadis riwayat Abu
Syaikh dari Ibnu Abbas tergolong Hadis hasan karena mempunyai rawi yang
diterima. Hanya saja ke-hasan-annya
tidak sampai kepada derajat sahih.
Jadi, Hadis di atas tergolong Hadis yang tingkat kedaifannya
parah sehingga Hadis riwayat al-Thabrani termasuk dalam lingkup Hadis matruk
dan Hadis riwayat Abu Syaikh dari Abu Hurairah tergolong sebagai Hadis munkar.
Sedang riwayat Abu al-Syaikh dari Ibnu Abbas tergolong hasan.
Rayah dan Liwa’ Secara Bahasa
Secara istilah bendera adalah sepotong kain atau kertas segi
empat atau segitiga yang diikatkan pada ujung tongkat, tiang, dan sebagainya,
dan dipergunakan sebagai lambang negara, perkumpulan, badan, dan sebagainya,
atau sebagai tanda, panji-panji, tunggul. Dalam beberapa kamus Arab-Indonesia
disebutkan bahwa antara al-’Alam, al-Rayat, dan al-Liwa’ bermakna sama yaitu
bendera, padahal ketiga kata tersebut mempunyai makna yang berbeda. Menurut
Ibnu al-Manzhur dalam Lisan al-’Arab, al-Fairuz Abadi dalam Qamus al-Muhith,
Ibnu al-’Atsir dalam kitabnya al-Nihayah fi Gharib al-’Atsar, dan juga Ibnu
Hajar dalam kitab Fath al-Bari-nya mengatakan bahwa antara al-Rayat dan
al-Liwa’ itu sama dari segi makna, yang mana ia adalah panji yang dipegang oleh pemimpin pasukan.
Menurut al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfat-nya mengatakan
bahwa al-Liwa’ adalah bendera perang yang terbuat sepotong kain yang terikat di
tengah-tengah tombak, sedangkan al-Rayah adalah bendera perang yang berada di
atas al-Liwa’. Menurut al-Turbusi, sebagaimana dikutip oleh al-Mubarakfuri,
al-Rayat adalah bendera perang yang mana para tentara berperang di bawah
naungannya dan condong kepadanya sebagai kode pertempuran dan kode kemenangan.
Sedangkan al-Liwa’ adalah bendera yang digunakan pemimpin untuk mengumpulkan
pasukan perang. Imam al-Nawawi dalam kitab Syarh Muslim mengatakan bahwa
al-Rayat itu bendera yang berukuran kecil, sedangkan al-Liwa’ itu bendera yang
berukuran besar.
Dari beberapa pengertian di atas kita dapat simpulkan bahwa
al-Rayat dan al-Liwa’ itu adalah sebuah bendera yang dipakai oleh pemimpin
perang dan mempunyai ukuran, fungsi serta peletakan yang berbeda. Jika
berukuran kecil maka disebut al-Rayah dan jika berukuran besar maka disebut
al-Liwa’. Al-Rayat diletakkan di ujung tombak sedang al-Liwa’ di bawah al-Rayat
dan juga al-Liwa’ digunakan untuk mengumpulkan pasukan perang sedang al-Rayat
untuk mengkomandoi pasukan ketika perang.
Eksistensi Bendera dalam Sejarah Islam
Awal penggunaan bendera pada masa Islam, menurut
al-Thaibawi, yaitu ketika Rasulullah pertama kali masuk ke kota Yatsrib. Pada
masa itu, oleh golongan Anshar, Rasulullah Saw diminta membawa sesuatu yang
mampu menunjukkan bahwa itu Rasulullah Saw ketika masuk ke kota tersebut.
Rasulullah kemudian menggunakan imamahnya yang diletakkan di sebuah kayu
sebagai simbol bahwa itu adalah Rasul Saw.
Pada masa selanjutnya, ketika terjadi perang Abwa’, tahun
pertama Hijriah, pasukan Islam yang dipimpin Hamzah membawa bendera putih
sebagai simbol dari laskar perangnya, dan pada waktu itu bendera tersebut
dipegang oleh Abu Marsyad.
Pada perang Badar tahun kedua hijriah, panji (al-Liwa’)
Islam dipegang oleh Mush’ab bin Umair, dan bendera kalangan Muhajirin di bawah
kendali Ali bin Abi Thalib, sedang bendera kaum Anshar di bawa oleh Sa’d bin
Mu’adz, yang mana kedua bendera tersebut berwarna hitam. Selanjutnya pada masa
perang Uhud, awalnya bendera dipegang oleh Mush’ab bin Umair, karena Mush’ab
gugur di medan perang, estafet pemegang bendera dilanjutkan oleh Ali bin Abi
Thalib. Selanjutnya Ali bin Abi Thalib dipercaya sebagai pembawa bendera pada
masa perang Khaibar.
Eksistensi bendera tidak cukup sampai perang Khaibar, pada
masa perang Quraizhah, pasukan muslim juga membawa bendera sebagai pembeda
antara pasukan Islam dan pasukan Romawi Arab. Dalam perang ini awalnya bendera
dipegang oleh Zaid bin Haritsah, kemudian Ja’far bin Abi Thalib, dan terakhir
dipegang oleh Abdullah bin Rawahah.
Di masa-masa akhir kehidupan Rasulullah Saw, beliau
menyiapkan pasukan yang dikomandoi oleh Usamah bin Zaid, dan ia juga yang
memegang bendera kepemimpinan. Pada masa ini bendera yang dipakai Rasul hanya
meliputi bendera hitam dan putih.
Setelah Rasul Saw wafat, bendera-bendera yang tadinya
dipakai pasukan Rasul ketika perang, masih dipakai sampai berakhirnya masa
kekhilafahan Khulafa’ al-Rasidin. Selain itu, setiap kabilah –ketika menghadapi
perang- diperboleh untuk memakai benderanya masing-masing.
Setelah kekhalifahan Ali bin Abi Thalib berakhir, estafet
perpolitikan Islam dilanjutkan oleh Bani Umayah. Pada masa ini, menurut
al-Qalansandi, Bani Umayah memakai bendera hijau. Ada yang mengatakan untuk
membedakan antara Bani Umayah dan Bani Abbasiyah, maka Bani Umayah memakai
bendera putih, sedang Bani Abbas berbendera hitam. Namun menurut al-Thaibawi,
bahwa bendera Bani Umayah itu berwarna putih dan bertuliskan “La Ilaha Illah
Allah Muhammad Rasulallah” dan juga ayat “Nashrun Min Allahi Qarib”
Pada masa Bani Abbas, bendera yang digunakan adalah bendera
hitam karena banyaknya tentara Bani Abbas yang meninggal. Selanjutnya karena
terjadi perpecahan di kalangan Bani Abbas dan kaum pengikut Ali, maka akhirnya
Bani Abbas mengganti bendera dengan warna putih. Ketika tampuk kepemimpinan
Bani Abbas dipegang al-Makmun, warna bendera Bani Abbas dirubah menjadi hijau.
Akan tetapi setelah wafatnya al-Makmun, Abbasiyah kembali memakai bendera hitam
sebagai bendera kenegaraannya. Hal tersebut untuk membedakan antara kalangan
pendukung Bani Abbas dan kelompok Alawiyyin.
Hukum Penggunaan Bendera Hitam
Pada masa Nabi Saw pengunaan bendera begitu intensif, yang
mana setiap kali perang Rasul dan para sahabatnya tidak pernah meninggalkan
yang namanya bendera. Sehingga kalau kita mengikuti kaidah fikih yang berbunyi
“sesuatu yang diulang-ulang pada suatu masa yang mana hal tersebut berujung
kepada syariat maka ia bisa masuk perkara umum dan bisa juga masuk dalam
perkara khusus”. Pada masalah ini terdapat dua ungkapan, sebagaimana dinukil
oleh Abdul Hamid Hakim, al-Syafii dan para pengikutnya, mengatakan bahwa kalau
kita kembalikan ke makna aslinya sebagai suatu budaya maka ia tidak termasuk
syariat, sedang kalau kita ambil dari makna dzahirnya maka ia termasuk syariat.
Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari mengatakan bahwa sunah
menggunakan bendera ketika perang. Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya Zad al-Ma’ad
mengatakan bahwa sunah menggunakan bendera di saat perang dan ia menganjurkan
panji (al-Liwa’) yang digunakan itu putih, dan bendera (al-Rayat) yang
digunakan itu hitam. Sedang ulama-ulama kontemporer yang tergabung dalam Markaz
al-Fatwa dalam laman Islamweb mengatakan bahwa tidak ada seorang ulama pun yang
mewajibkan bendera umat Islam ketika perang itu pada jenis dan warna tertentu.
Untuk memahami apakah masalah penggunaan bendera ini syariat
atau bukan? Maka menurut Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, dalam menentukan
apakah itu syariat atau bukan maka kita harus tahu, 1) Kalau hal tersebut
merupakan agama, maka hanya kaum Muslimlah yang menjalankannya. 2) Sebagian
budaya tersebut sudah dilaksanakan sebelum Islam datang, dan ketika Islam
datang budaya tersebut masih dijalankan, sedangkan yang namanya agama itu tidak
dijalankan sebelum datangnya Islam. Dan penggunaan bendera serta bendera itu
sendiri digunakan oleh umat Islam dan kalangan kafir, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Ibnu Katsir bahwa Ibnu Ubaid (tentara Quraisy dan ia masih
dalam keadaan kafir) ketika perang Badar menjadi pembawa bendera Bani Hasyim.
Maka yang wajib kita ambil dari Rasul Saw itu hanya berhubungan dengan syariat,
sedangkan apa saja yang berhubungan dengan kebudayaan Arab atau penghidupan
dunia maka umat Islam boleh mengambilnya atau meninggalkannya. Dan menurut Ibnu
Khaldun dalam Mukaddimah-nya mengatakan bahwa memperbanyak, memberi warna, serta
mamanjangkan bendera itu semata-mata hanya untuk menakut-nakuti musuh dan untuk
kepentingan politik suatu pemerintahan. Wallahu A’lam.
Penulis adalah alumni Darus-Sunnah International Institute
for Hadith Sciences
0 Response to "Memahami Hadis Bendera Nabi SAW; Jangan Mau di bohongi HTI "
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR