Konsep Kesejahteraan dalam Islam; sebuah tafsir Tahlili
April 13, 2017
Add Comment
Konsep Kesejahteraan Islam - TahlilyKONSEP AL-QURAN TENTANG
KESEJAHTERAAN SOSIAL (Perintah Bekerja QS. Al-Taubah/9:105)
Pengertian dan Definisi
Kesejahteraan berasal dari kata dasar sejahtera: aman sentosa dan makmur; selamat (terlepas dari segala macam gangguan,
kesukaran, dan sebagainya). Kesejahteraan: hal atau
keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, ketenteraman,
kesenangan hidup, dan sebagainya; kemakmuran.[1] Dalam definisi lain
dijelaskan:
الرفاهية: الحالة التى تتحقق فيها الحاجات
الاساسية للفرد والمجتمع من غداء وتعليم وصحة وتأمين ضد كوارث الحياة.
“Kesejahteraan (welfare) adalah
kondisi yang menghendaki terpenuhimya kebutuhan dasar
bagi individu atau kelompok baik berupa kebutuhan
pangan, pendidikan, kesehatan, sedangkan lawan dari kesejahteraan
adalah kesedihan (bencana) kehidupan”. [2]
Kesejahteraan Sosial atau social welfare adalah keadaan sejahtera
masyarakat. Dalam Mu’jam
Musthalahâtu al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah dijelaskan: الرفاهية الاجتماعية: نسق منظم من الخدمات الاجتماعية والمؤسسات يرمى الى
مساعدة الافراد والجماعات للوصول الى مستويات ملا ئمة للمعيشة والصحة كما يهدف
الى قيام علاقات اجتماعية سوية بين الافراد بتنمية قدراتهم وتحسين الحياة
الانسانية بما يتفق مع حاجات المجتمع.
“Kesejahteraan sosial: sistem yang mengatur pelayanan sosial dan lembaga-lembaga untuk membantu individu-individu dan
kelompok-kelompok untukmencapai tingkat kehidupan,
kesehatan yang layak dengan tujuan menegakkan hubungan
kemasyarakatan yang setara antar individu sesuai
dengan kemampuan pertumbuhan mereka, memperbaiki
kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat”. [3]
Pemerintah Republik Indonesia mendefinisikan Kesejahteraan Sosial
adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga
negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya.[4]
Dari ragam definisi di atas, bagaimana Konsep Islam? Pada intinya,
kesejahteraan sosial menuntut terpenuhinya kebutuhan
manusia yang meliputi kebutuhan primer (primary needs), sekunder
(secondary needs) dan kebutuhan tersier. Kebutuhan primer meliputi: pangan (makanan) sandang (pakaian), papan (tempat tinggal),
kesehatan dan keamanan yang layak. Kebutuhan sekunder
seperti: pengadaan sarana transportasi (sepeda, sepeda
motor, mobil, dsb.), informasi dan telekomunikasi (radio,
televisi, telepon, HP, internet, dan lain sebagainya). Kebutuhan tersier
seperti sarana rekereasi, hiburan. Kategori kebutuhan
di atas bersifat materil sehingga kesejahteraan yang tercipta pun
bersifat materil. Kesejahteraan sosial yang didambakan
al-Quran menurut Qurasih Shihab[5] tercermin di Surga yang dihuni oleh Adam dan
isterinya sesaat sebelum mereka turun melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi.
Seperti diketahui, sebelum Adam dan isterinya diperintahkan turun ke bumi,
mereka terlebih dahulu ditempatkan di Surga. Surga diharapkan menjadi arah
pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu bisa diwujudkan di
bumi dan kelak dihuni secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan
bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berkesejahteraan. Kesejahteraan
surgawi ini dilukiskan antara lain dalam QS. Thâhâ/20:117-119, yang berbunyi :
“Hai adam, sesungguhnya ini (Iblis ) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu,
maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari Surga, yang
akibatnya engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan
di sini (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan
merasakan dahaga maupun kepanasan”. Dari ayat menurut ini jelas bahwa pangan,
sandang, dan papan yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan
kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini
merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial. Lebih lanjut dalam
Undang-undang Kesejahteraan Sosial, kriteria masalah sosial yang perlu diatasi
meliputi i) kemiskinan; ii) ketelantaran; iii) kecacatan; iv) keterpencilan; v)
ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; vi) korban bencana; dan/atau vii) korban
tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Batasan Analisis Konsep Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan
sosial dalam Islam pada intinya mencakup dua hal pokok yaitu kesejahteraan
sosial yang bersifat jasmani (lahir) dan rohani (batin). Sejahtera lahir dan
batin tersebut harus terwujud dalam setiap pribadi (individu) yang bekerja
untuk kesejahteraan hidupnya sendiri, sehingga akan terbentuk
keluarga/masyarakat dan negeri yang sejahtera.[6] Mengingat luasnya definisi
kesejahteraan dan banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan, maka bahasan
kesejahteraan akan dibatasi “lebih kepada aspek ekonomi”. Demikian pula
ayat-ayat Al-Quran yang terkait secara langsung dengan konsep kesejahteraan
dibatasi pada usaha/bekerja, sebagai titik tolak pemilihan ayat yang akan
dibahas. Ayat yang dipilih adalah QS. Al-Taubah/9:105. “dan Katakanlah:
“Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang
mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan.” Adapun ayat lainnya yang akan dipergunakan untuk
memperdalam pembahasan akan dipilih beberapa ayat yang berkaitan, yakni:
Ayat-ayat yang terkait kesejahteraan invidualistik/perorangan (perintah
mencari sumber penghidupan)
Ayat-ayat yang terkait kesejahteraan komunal dalam keluarga/masyarakat
(zakat dan kepedulian terhadap dhuafa)
Ayat-ayat yang terkait kesejahteraan masyarakat yang lebih luas/negara
(keberkahan ahlul quro dan negeri sejahtera atau baladan aminan)
Metode Penafsiran Metode tahlili atau yang dinamai Baqr Al-Shadr
sebagai metode tajzi’i adalah suatu metode tafsir yang mufasirnya berusaha
menjelaskan kandungan ayat-ayat dari berbagai seginya, dengan memperhatikan
runtutan ayat Al-Qur’an sebagaimana
yang tercantum dalam mushaf. Langkah Penafsiran Analitis (Tahlily) yang
ditempuh diupayakan menerapkan metode sebagaimana dijelaskan oleh Shihab
(2013),[7]
secara sistematis mencakup: a)
Bermula dari kosakata yang terdapat pada setiap ayat yang akan
ditafsirkan sebagaimana urutan dalam Al-qur’an
b) Menjelaskan asbabun nuzul ayat ini dengan
menggunakan keterangan yang diberikan oleh hadist (bir-riwayah),
c) Menjelaskan munasabah, atau hubungan ayat
yang ditafsirkan dengan ayat sebelum atau sesudahnya
d) Menjelaskan makna yang terkandung pada
setiap potongan ayat dengan menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain,
atau dengan menggunakan hadist Rasulullah SAW ataudengan menggunakan penalaran
rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai sebuah pendekatan e) Menarik kesimpulan dari ayat tersebut
yang berkenaan dengan hukum mengenai suatu masalah, atau lainnya sesuai dengan
kandungan ayat tersebut.
BAGIAN II PEMBAHASAN
“dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS.
Al-Taubah/9:105)
Pada ayat sebelumnya[8] Allah SWT menganjurkan untuk bertaubat
dan melakukan kegiatan nyata antara lain membayar zakat dan bersedekah, kini pada
ayat 105 ini mereka diminta untuk –bekerja– melakukan aktivitas lain, baik yang
nyata maupun yang tersembunyi.
Demikian korelasi dengan ayat sebelumnya menurut
Shihab (2009).[9] Lebih lanjut dikatakan bahwa ayat yang lalu bagaikan
menyatakan “Katakanlah wahai Muhammad SAW., bahwa Allah menerima taubat,” [dan
katakan lah] juga: [Bekerja lah kamu], demi karena Allah semata dengan aneka
amal saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu
maupun untuk masyarakat umum (maka Allah akan melihat), yakni menilai dan
memberi ganjaran [amal kamu itu, dan Rasulnya serta orang-orang mukmin] akan
melihat dan menilainya juga, kemudian menyesuaikan perlakuan mereka dengan
amal-amal kamu itu dan selanjutnya kamu akan dikembalikan dengan kematian
kepada Allah SWT [Yang Maha Mengetahui yang gaib dan nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu] sanksi dan ganjaran atas [apa yang telah kamu
kerjakan], baik yang nampak ke permukaan maupun yang kamu sembunyikan dalam
hati.
Latar belakang sebab turunnya kelompok ayat-ayat ini adalah sebagai
teguran kepada Abū Lubābah dan kedua kawannya yang tidak ikut dalam Perang Tabuk, namun akhirnya mereka sadar dan
bertaubat. Setelah pada ayat sebelumnya penyampaian harapan tentang bertaubat,
ayat ini melanjutkan tentang beramal saleh. Hal ini perlu karena walaupun
taubat telah diperoleh tetapi waktu yang telah berlalu yang pernah diisi oleh
kedurhakaan tidak mungkin kembali lagi, karena itu perlu giat melakukan aneka
kebajikan agar kerugian tidak terlalu besar. “Bekerja adalah pijakan
kebahagiaan”, demikian menurut Al-Maraghi[10] manakala menafsirkan ayat ini.
Posisi bekerja untuk dunia dan akhirat akan dilihat oleh Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang beriman. Bersabda Nabi SAW “Apabila seseorang diantara kamu bekerja
walaupun didalam batu karang yang keras tiada berpintu ataupun berlobang,
niscaya Allah akan mengeluarkannya (agar terlihat) keberadaaanya oleh manusia”
(HR. Abu Daud). Kata (fa-sa-yaro) yang berarti “maka akan melihat atau
menilai”, bagi Allah berarti “Allah akan
menilai dan memberi ganjaran”, sedangkan bagi Rasul SAW dan orang beriman
berarti “maka Rasul SAW dan orang beriman akan melihat dan menilai”.[11]
Menurut penulis kata “melihat/menilai” akan timbul manakala usaha seseorang itu
telah nampak, dapat dilihat, atau lebih jauh lagi dapat dibuktikan/dirasakan
manfaatnya oleh orang lain.[12]
Hal ini
seakan memberikan isyarat bahwa bekerja yang sungguh-sungguh itu akan memberi manfaat tidak hanya untuk
dirinya, namun untuk kaum muslimin (baca: masyarakat atau bahkan negara), tidak
hanya bermanfaat di dunia namun juga bermanfaat untuk kehidupan akhirat, dan
orang yang menerima manfaat tersebut akan menilai dan menjadi saksi di
akhirat,[13] kesaksian yang diperkuat oleh kesaksian Rasul SAW dan kesaksian
dari Yang Maha Mengetahui yang gaib dan nyata (Allah SWT). Selanjutnya untuk
menggali isyarat makna bekerja yang dilakukan pada ranah individu,
keluarga/masyarakt dan negara akan menggunakan keterangan yang ada pada ayat
lain (ayat pilihan), menggunakan hadist Rasulullah SAW, atau pun dengan menggunakan
penalaran analitis-rasional, sebagaimana telah dijelaskan dalam batasan
pembahasan.
Ayat-ayat Pilihan
Tidak semua ayat-ayat Al-Quran yang terkait bekerja atau terkait dengan
kesejahteraan dibahas dalam makalah ini, namun dipilih enam ayat pada tiga
tingkatan yang diharapkan dapat merepresentasikan kesejahteraan pada ranah
pribadi, keluarga/masyarakat dan negara. a)
Ayat-ayat yang terkait kesejahteraan pribadi:
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan
Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu
bersyukur” (QS. Al-Araf/7:10)
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS Al-Nisa/4: 9).
b) Ayat-ayat yang terkait
kesejahteraan keluarga dan masyarakat
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros” QS. Al-Isra/17:26
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1) Itulah orang yang
menghardik anak yatim (2) dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin
(3)” QS. Al-Maun/107:1-3..
c) Ayat-ayat yang terkait
kesejahteraan pada suatu negara
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya” (QS. Al-A’râf/7: 96).
“dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri
ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah
berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara,
kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat
kembali” (QS.Al-Baqarah/2:126)
Rumusan Konsep
Konsep Kesejahteraan Islam - TahlilyDilihat dari pengertiannya,
sejahtera yang berarti aman, sentosa, damai, makmur, dan selamat (terlepas)
dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya, maka pengertian ini
sejalan dengan pengertian “islam” yang berarti selamat, sentosa, aman, dan
damai.[17] Dari pengertiannya ini dapat dipahami bahwa masalah kesejahteraan
sosial sejalan dengan misi Islam itu sendiri. Misi inilah yang sekaligus
menjadi misi kerasulan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana dinyatakan dalam ayat
berikut : “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.” (Q.S. al-Anbiyâ/21:107).
Kehadiran Islam di semenajung Arab telah berhasil merubah status
kesejahteraan masyarakat arab pada waktu itu –yang sebelumnya sangat timpang.
Kekayaan sebagian besar dimiliki segelintir bangsawan dari pemuka arab, namun
setelah Islam kekayaan terdistibusi lebih merata. Islam telah hadir dengan
segenap konsep (sosialnya).[18]
Dengan Demikian dapat dikatakan bahwa
kesejahteraan sosial dimulai dengan “islam“, yaitu penyerahan diri sepenuhnya
kepada Allah SWT. Agama Islam memberikan kemaslahatan yang besar, karena
dipegang oleh orang yang amanah. Selain itu Islam mengajarkan konsep untuk
berbagi, membagi nikmat, membagi kebahagian dan ketenangan tidak hanya untuk
individu namun untuk seluruh umat muslim lintas negara.[19] Masyarakat Islam
pertama lahir dari Nabi Muhammad Saw., melalui kepribadian beliau yang sangat
mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga seimbang. Khadijah, Ali bin Abi
Thalib, Fathimah Az-Zahra’, dan lain-lain. Kemudian lahir di luar keluarga itu
Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., dan sebagainya, yang juga membentuk keluarga, dan
demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya terbentuklah masyarakat yang seimbang antara keadilan dan
kesejahteraan sosialnya.[20]
Ranah Pribadi
Sesungguhnya Allah SWT ketika menciptakan bumi Ia memberkahi di
dalamnya, melengkapi dengan bahan-bahan makanan, perbekalan-perbekalan dan
sumber-sumber kekayaan di dalam bumi dan permukaannya guna kebutuhan hidup
hamba-hambanya sehingga merasa sejahtera dan bahagia. Tugas setiap orang
(individu) dalam masyarakat Islam diharuskan bekerja dan diperintahkan adalah
bekerja[21] mencari sumber penghidupan (ma’ayisha), sebagaimana dijelaskan
dalam QS. Al-A’raf/:10, dan pada ayat lainnya (QS. Al-Isra/70, QS. Ghofi:64,
QS. Hud:6, QS. Al-Mulk:15, QS. Al-Jumah:10). “Sesungguhnya Kami telah
menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi
(sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur” (QS. Al-A’raf/7:10).
Setelah menerangkan sumber-sumber kekayaan yang Allah SWT peruntukan kepada
manusia, ayat suci di atas meyakinkan bahwa sumber-sumber kekayaan tersebut
cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Hal ini dijelaskan pula
dalam QS. Ibrahim/14: 34. “dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan
segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah,
tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim
dan sangat mengingkari [nikmat Allah]”.
Bekerja mencari sumber penghidupan (ma’ayisha), adalah senjata utama untuk memerangi
kemiskinan, modal pokok dalam mencapai kekayaan, dan faktor dominan dalam
menciptakan kemakmuran dunia. Dimana dalam tugas ini Allah SWT telah memilih
manusia untuk mengelolanya (QS. Hud:61). Islam sangat mengecam pengangguran,
peminta-minta dan orang pasif yang hanya menunggu rizki. Semua usaha dan untuk
mencari rizki yang halal dicatat sebagai ibadah. Beberapa kutipan hadis yang
menguatkan:
“Senantiasa (ada) yang meminta-minta kepada manusia sampai datang hari
kiamat, dan tidak terdapat di wajahnya sepotong daging-pun” (HR. Bukhari
Muslim)
“Tidak ada suatu makanan yang lebih baik bagi seseorang, melainkan apa
yang dihasilkan dari karya tangannya” (HR. Bukhari)
“Merantau lah kalian, niscaya kalian akan menjadi kaya” (HR. Thabrani)
Segenap jerih payah hasil usaha
manusia tersebut dinilai sebagai sedekah baginya,[22] yakni dari harta yang
diusahakan dengan cara yang halal dan untuk dibelanjakan di jalan Allah SWT.
Akhir ayat QS. Al-A’raf/7:10 di atas mengisyaratkan banyaknya manusia yang
tidak pandai bersyukur. Hal ini dapat dinilai sebagai salah satu wujud dari
perilaku zalim yang juga dikecam pada akhir ayat QS. Ibrahim/14:34
“Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari [nikmat Allah]”.
Kezaliman manusia dalam hal distribusi kekayaan dan keingkaran mereka
atas nikmat Allah SWT (dengan semena-mena mengeksploitasi sumber-sumber
anugrah) adalah dua faktor yang menciptakan kesengsaraan hidup bagi manusia
sejak awal sejarah. Dalam bidang ekonomi, Islam mengatur distribusi kekayaan
agar tidak hanya beredar di kalangan para konglomerat
(“…kay lâ yakûna dûlatan bayna al-aghniyâ’ minkum..”:
QS. al-Hayr/59: 7). Sebaliknya Islam
menghendaki agar setiap muslim berjuang meningkatkan kekayaan untuk merealisasikan
tujuan manusia sebagai khalifah dan bukan merupakan pangkal dari terjadinya
dosa. Keadaan ini lah yang menjauhkan manusia dari tuhannya.[23]
Sistim perekonomian dalam Islam tidak hanya dihitung menurut kalkulasi
aritmatika dan kapasitas produksi, namn merupakan suatu sistim yang
komprehensif yang merupakan gabungan antara bisnis dan norma-norma etis
(moral). Transaksi bisnis sangat diperhatikan dan dimuliakan, perdagangan yang
jujur, tidak saling menipu, semua dilakukan oleh setiap individu maupun
perusahaan dengan penuh kejujuran dan saling menghormati. Segala ketentuan
perekonomian, perdagangan dan usaha lainnya dalam Islam adalah untuk
memperlihatkan hak individu yang dilindungi, dan untuk meningkatkan solidaritas
yang tinggi dalam masyarakat.[24]
Dengan kerangka normatif seperti itu, menurut Hendrawan (2009) mudah
bagi pelaku usaha untuk mengembangkan pola mentalitas berkelimpahan (abundance
mentality) yakni pola hidup yang lebih banyak memberi daripada menuntut kepada
pihak lain. Adapun bisnis dalam sistim kapitalis tidak memiliki konsep normatif
seperti itu. Karenanya semua bekerja dengan logika keuntungan jangka pendek dan
sempit. Persaingan juga mendorong pada eksploitasi manusia, perusakan
lingkungan, dan pelanggaran kepentingan umum. Akibatnya jangka panjang bukan
saja dunia bisnis yang terancam, namun juga keberlangsungan hidup manusia
terancam. karena bekerja harus menciptakaan manfaat yang terbaik, tidak heran
jika Islam mengajarkan wajibnya ihsan (bekerja dengan baik) dan jihad (bekerja
dengan sungguh-sungguh).
Bagi orang yang beriman dan bertakwa bekerja dengan baik adalah karena
kesadarannya tentang Allah yang Maha Melihat atas segala sesuatu. (lihat QS.
Al-Taubah/105: “dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”).[25] Perintah dan
motivasi bekerja tersebut diisyaratkan pula pada QS Al-Nisa/4:9, Allah SWT
mengingatkan manusia agar takut apabila
meninggalkan suatu generasi yang lemah, “Dan hendaklah takut (kepada Allah)
orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak lemah,
yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar”.
Ayat tersebut dalam arti luas memberikan motivasi lebih lanjut agar,
usaha yang dilakukan secara maksimal untuk kesejahteraan pribadi dan anak-anak
tanggungannya. Kehidupan yang layak di masa depan harus menjadi fokus perhatian
orang bertakwa, salah satunya melalui penyisihan sebagian hasil usaha sebagai
tabungan –salah satu penggalan ayat yang diulang-ulang Al-Quran sebagai tanda
orang bertakwa adalah: “Dan sebagian dari yang Kami anugerahkan kepada mereka,
mereka nafkahkan” (QS. Al-Baqarah/2: 3) Sebagian lain (yang tidak mereka
nafkahkan itu), mereka tabung, demikian tulis Muhammad Abduh, guna menciptakan
rasa aman menghadapi masa depan, diri, dan keluarga.[26] Kewajiban lain yang
ditetapkan kepada setiap individu adalah zakat fitrah, sedangkan kepada
individu sebagai pemilik harta yang sudah mencapai nishab-nya berupa zakat
māl.[27] Jelaslah dengan demikian bahwa tujuan kehidupan (ghāyah Al-Hayāt)
setiap individu dalam Islam adalah merupakan tujuan bermasyarakat.[28] Jadilah
insan rabaniyyah yang saling mencukupi antara kebutuhan jasmani dan ruhani, dua
hal yang saling melengkapi.[29]
Ranah Keluarga dan Masyarakat
Menurut Murthadha Muthahari “Tidak diragukan lagi menurut Al-Quran
bahwa mengabdi dan ihsan (berbuat baik) pada masyarakat merupakan salah satu
dari nilai-nilai insani dan ilahi, yakni suatu kebaikan dan kesempurnaan yang
mengandung nilai yang sangat tinggi.”[30] Dorongan untuk memperhatikan keluarga
terdekat dan orang yang membutuhkan tercantum jelas dalam ayat : “Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros.” QS. Al-Isra/17:26 Kata (ātū) pada ayat tersebut
bermakna pemberian sempurna. Pemberian yang dimaksud bukan hanya terbatas pada
hal-hal yang bersifat materi tetapi juga immateri. Setelah pada ayat sebelumnya
memberi tuntunan menyangkut ibu-bapak, ayat ini melanjutkan tuntunan kepada
kerabat selain mereka, (Dan berikanlah
kepada keluarga-keluarga yang dekat) baik dari pihak ibu maupun bapak, walau
keluarga jauh (akan haknya) berupa bantuan, kebajikan dan silaturahim dan demikian
juga (kepada orang miskin) walaupun bukan kerabat, (dan orang yang dalam
perjalanan) baik berupa zakat[31] maupun sedekah ataupun bantuan yang mereka
butuhkan, (dan janganlah kamu menghambur-hamburkan [hartamu] secara boros)
yakni pada hal-hal yang tidak mendatangkan kemaslahatan.[32] Adapun kata
tabzir/pemborosan dimaknai sebagai pembelanjaan untuk maksiat kepada Allah SWT
dan lebih luas lagi semua pengeluaran yang yang bukan haknya.[33]
Dalam beberapa riwayat dikemukakan bahwa ada pembesar Kafir Quraish
yang setiap minggu menyembelih unta,
suatu ketika ada seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang
disembelih, namun ia tidak memberinya. Peristiwa tersebut merupakan latar
belakang turunnya tiga ayat pertama dalam QS.Al-Maun/107. Tentu saja perilaku
pembesar Quraish itu dapat dikategorikan kedalam perbuatan tabzir/pemborosan
yang dikecam pada QS. Al-Isra/17:26 di atas,[34] dan mereka termasuk golongan
orang yang mendustakan agama (hari pembalasan). “Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama? (1) Itulah orang yang menghardik anak yatim (2) dan tidak
menganjurkan memberi Makan orang miskin (3)” QS. Al-Maun/107:1-3. Redaksi ayat
di atas bukanlah “tidak memberi makan”, melainkan “tidak menganjurkan memberi
pangan”. Ini mencerrninkan kepedulian. Yang tidak memiliki kemampuan memberi,
minimal harus menganjurkan pemberian itu. Jika ini pun tidak dilakukannya,
sesuai ayat di atas ia termasuk orang yang mendustakan agama dan hari
pembalasan.[35]
Ranah Bernegara
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara negara, demikian
bunyi UUD 1945.[36] Kewajiban negara
adalah mewujudkan negeri yang sejahtera, adil dan makmur. Namun demikian
Al-Quran memberikan syarat tercapainya negeri yang sejahtera tersebut yakni
(‘lau’/jikalau) hanya melalui iman dan takwa. “Jikalau sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS. Al-A’râf/7: 96). Kata barakat dalam ayat di atas berarti kebaikan Tuhan.
Kebaikan itu tidak diterima begitu saja oleh manusia. Ada persyaratan tertentu
yang harus dipenuhi oleh manusia untuk mendapatkannya. Allah SWT mengaitkan
pemberian-Nya (berkah) dengan keimanan dan ketaqwaan. Melalui ketakwaan, suatu
penduduk negeri menjadikan mereka saling bekerjasama dalam kebajikan dan tolong
menolong dalam mengelola bumi dan menikmatinya bersama. Semakin kukuh kerjasama
dan semakin tenang jiwa, semakin banyak pula yang dapat diraih.[37]
Kebaikan itu dapat muncul dari langit dan dari bumi. Menurut
Al-Maraghi, berkah dari langit mencakup pengetahuan yang diberikan Tuhan dan
ilham (bimbingan)-Nya dan dapat pula berarti hujan dan semacamnya yang
mengakibatkan kesuburan dan kemakmuran tanah. Sedangkan berkah dari bumi adalah
tumbuhnya tanaman setelah turunnya hujan dari langit. Berkah berupa turunnya
hujan dari langit yang menyuburkan tanah. Akibatnya, makmurlah kehidupan
penghuni bumi. Berkah lain adalah berupa ilmu pengetahuan dan pemahaman
terhadap sunatullah (hukum alam). Ringkasnya
menurut al-Maraghi, bila penduduk negeri beriman dan bertaqwa, Allah
akan memperluas kebaikan kepada mereka dalam segala segi.[38] Dalam hubungannya
dengan tambahan kebaikan ini, Rasulullah bersabda: “Harta benda tidak akan
berkurang karena disedekahkan” (HR. Bukhari).
Secara lahiriyah, mengeluarkan sedekah berarti mengurangi harta. Akan
tetapi secara tersirat, harta tidak akan berkurang, bahkan akan bertambah,
yakni artinya, Tuhan akan menambah lagi rejeki kepada orang yang mengeluarkan
harta, yang boleh jadi tanpa diduga dan tanpa diketahui oleh orang tersebut.
Orang yang merasa merugi karena mengeluarkan harta di jalan Allah, karena ia
hanya mencari hubungan lahiriyah antara infak harta di jalan Allah dengan
kebaikan yang diperolehnya.[39]
Lebih lanjut dalam konteks bernegara maka infaq, sedekah dan zakat
merupakan salah satu sumber yang dapat dijadikan kemakmuran oleh negara menurut
Yusuf Qardhawi. Zakat bukan lah suatu kebajikan individual akan tetapi suatu
sistem penertiban sosial yang pengelolaannya diserahkan kepada negara dan
diurus oleh lembaga administrasi yang terartur yang sanggup menghimpun dan
membagi kepada yang berhak menerimanya. Negara juga wajib menyediakan jaminan
sosial termasuk penciptaan lapangan kerja.[40] Menurut Al-Maududi (1948),
adalah hak semua orang untuk berusaha dan memperoleh bagian mereka dari
bahan-bahan hidup yang telah dikaruniai tuhan bagi manusia di atas bumi ini.
Islam menjamin supaya dalam usaha ini semua diberi kesempatan-kesempatan yang
sama dan fair chances yang sama pula buat semua orang.
Salah satu dari kewajiban negara ialah melindungi hak-hak perorangan
manusia menurut syariat dan menjamin agar hak-hak itu memenuhi
kewajiban-kewajiban mereka terhadap masyarakat sebagaimana ditetapkan oleh
hukum. Beginilah Islam mengadakan keseimbangan antara individualisme dan
kolektivisme.[41] Demikian maka dapat ditemukan salah satu korelasi langsung
antara manifestasi iman dan takwa, dengan penciptaan kesejahteraan pada suatu
negeri. “dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri
ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah
berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara,
kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat
kembali” (QS.Al-Baqarah/2:126)
Ayat di atas adalah doa Nabi Ibrahim AS untuk menjadikan negeri yang
ditempati orang beriman (kepada Allah dan hari kemudian) sebagai negeri yang
aman sentosa, yang dicukupkan limpahan rezki tidak hanya bagi penduduk yang
beriman, namun juga termasuk yang kafir (sebagai kesenangan sementara). Ayat
ini mengisyaratkan seakan keamanan dan kesejahteraan ini bukan hanya milik umat
Islam, namun dalam konteks bernegara merupakan hak setiap orang sebagai hak
dasar (asasi).
Dengan demikian setiap insan harus memperoleh perlindungan jiwa, harta,
dan kehormatannya. Jangankan membunuh atau merampas harta secara tidak sah,
mengancam atau mengejek dengan sindiran halus, atau menggelari dengan sebutan
yang tidak senonoh, berprasangka buruk tanpa dasar, mencari-cari kesalahan, dan
sebagainya. Kesemuanya ini terlarang dengan tegas, karena semua itu dapat
menimbulkan rasa takut, tidak aman, maupun kecemasan yang mengantarkan kepada
tidak terciptanya kesejahteraan lahir dan batin yang didambakan. Kewajiban
negara adalah mewujudkan negeri yang sejahtera, adil dan makmur bagi setiap
warga penduduknya dapat tercapai, tanpa memandang suku golongan maupun agamanya
–sesuai dengan misi Islam rahmat bagi semesta alam.
BAGIAN III PENUTUP
Sebagai penutup, menurut penulis metode tahlily untuk menganalisis
suatu konsep dirasakan “lebih sulit”, karena tidak fokus pada permasalahan yang
dibahas –bahkan pada beberapa bagian terkesan dipaksakan, dan
dihubung-hubungkan. Namun, walau bagaimana pun akhirnya nampak suatu jalinan
yang dapat menghubungkan setiap ayat yang dibahas –meski tidak dalam satu surah yang sama– dalam jalinan temali yang indah dan
kronologis yang runut. Selanjutnya dapat disampaikan kesimpulan terhadap konsep
kesejahteraan dalam Islam, diantaranya:
Kesejahteraan sosial sejalan dengan misi Islam sebagai rahmatan lil
alamin, yang diwujudkan melalui bekerja untuk pemenuhan kebutuhan dasar.
Pemenuhan kebutuhan tersebut wajib dilakukan untuk meraih kesejahteraan setiap
individu, dalam keluarga dan masyarakat dan dalam suatu negeri.
Kewajiban individu adalah bekerja, berusaha untuk mencari nafkah yang
baik agar mencukupi kebutuhan. Kemudian
setiap harta yang diperoleh dibelanjakan di jalan yang baik (karenanya dinilai
sebagai sedekah), bahkan sebagian disisihkan sebagai tabungan masa depan untuk
jaminan kesejahteraan masing-masing.
Perhatian, bantuan, kebajikan dan silaturahim kepada keluarga/kerabat,
dan kepada orang miskin walaupun bukan kerabat, dan orang yang membutuhkan baik
berupa zakat maupun sedekah ataupun bantuan lainnya adalah salah satu upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan pada level keluarga/masyarakat.
Negara berkewajiban mewujudkan negeri yang sejahtera, adil dan makmur,
dengan segala kebijakan dan strateginya –termasuk pengelolaan zakat, penciptaan
lapangan kerja, dan lain sebagainya. Namun demikian Al-Quran memberikan syarat
tercapainya negeri yang sejahtera tersebut yakni melalui iman dan takwa dari
masing-masing penduduknya. Dengan kata lain kesejahteraan negeri tidak dapat
dicapai tanpa pencapaian kesejahteraan pada level individu yang akan membentuk
keluarga dan masyarakat sejahtera berlandaskan iman dan takwa.
Kesimpulan Besar: “Bekerja untuk meraih kesejahteraan adalah tugas
setiap orang, karenanya ia milik setiap orang dalam bingkai keluarga,
masyarakat dan bernegara”.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd Al-Rahman bin ‘Abd Al-Khaliq, Al-Wishoya Al-‘Ashr lil ‘Amilin bi
Al-Da’wah ilallah Subhanahu wa Ta’ala. Kuwait: Jam’iyah Ihya Turats Al-Islami,
Cet. I 1408H/1988H. ‘Abdalati Hammudah. Ta’rifun bi Al-Islam, diterjemahkan
oleh Nasmay Lofita Anas, MTA., dengan judul Islam Suatu Kepastian, Riyad:
IIFSO, Cet. III, 1407H/1987M Al-Maraghi Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi.
Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah. Edisi II, 2006 Al-Maudūdī Abu A’la.
Nazriyyah Al-Islam Al-Siyasiyyah; Shaut Al-Haq Katīb Islāmī Syahrī. Mesir:
Al-Ittihad Al-‘ām li Thulāb Jumhuriyyah
Misr, 1876M _______. Islamic Way of Life, diterjemahkan oleh Osman
Raliby dengan judul Pokok-pokok pandangan Hidup Muslim. Bandung : PT.
Al-Ma’arif, t.t. Al-Qaradlāwi Syekh Muhammad Yūsuf. Musykilatul Fakri Wa Kaifa
‘ālajahal Islām, diterjemahkan oleh Umar Fanany, B.A, dengan judul Problema
Kemiskinan Apa Konsep Islam. Surabaya: Bina Ilmu, Cet. II, 1982 Al-Wakil
Muhammad Al-Sayyid Ahmad. Hadza Al-Dīn Baina Jahl Abnāihi Wa Kaida A’dāihi.
Madinah:Tanpa Nama Penerbit, Cet. I, 1391H/1871M. Az-Zuhaili Wahbah. Fiqih
Islam Waadillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyi Al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema
Insani, 2011 Badawi Ahmad Zaki, Mu’jam Mushthalahâtu al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah.
Beirut: Maktabah Lubnan, New Impression 1982
Djamaluddin Burhan. Konsep Berkah dalam Islam, http://www.reocities.com/
HotSprings/6774/j-19.html (diakses 23 Oktober 2013) Hendrawan Sanerya.
Spiritual Management; From Personal Enlightment Towards God Corporate
Governance. Bandung: Mizan, Cet. 1, 2009 Mutahhari Murtadha. Insone Komil,
diterjemahkan oleh Abdillah Hamid Ba’abud, dengan judul Manusia Seutuhnya.
Jakarta: Sadra Press, 2012 Rasāil Al-Markaz Al-Islami. Al-Ruhāniyyah
Al-Ijtimā’iyyah fi Al-Islam. Suriah: Al-Markaz Al-Islami, 1385H/1965M Shihab M.
Quraish. Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhlui Atas Berbagai Persoalan Umat. Edisi
E-book _______. Membumikan Al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan
Masyarakat. Bandung: Mizan, Edisi II, 2013 Sugono Dendy, dkk. Kamus Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa 2008 Taufiq Mohamad. Quran In Word. Aplikasi
Al-Quran dan Terjemahan
Bahasa Indonesia Add-Ins Version 1.3 Undang-Undang Republik Indonesia,
Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Kesejahteraan Sosial
[1] Depdiknas, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008),
hal 1284
[2] Dr. Ahmad Zaki Badawi, Mu’jam Mushthalahâtu al-‘Ulûm
al-Ijtimâ’iyyah, (Beirut, Maktabah Lubnan: New
Impression 1982), hal. 445
[3] Dr. Ahmad Zaki Badawi, Mu’jam Mushthalahâtu al-‘Ulûm
al-Ijtimâ’iyyah, (Beirut: Maktabah Lubnan, New
Impression 1982), hal. 399
[4] Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2011 Tentang
Kesejahteraan Sosial
[5] Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhlui Atas Berbagai
Persoalan Umat. Edisi E-book, hal 126-127
[6] Selaras dengan UU No. 11 Tahun 2011 Tentang Kesejahteraan Sosial
bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan kepada a) perseorangan; b)
keluarga; c) kelompok; dan/atau d) Masyarakat. Sedangkan Penyelenggaraan
kesejahteraan sosial meliputi: a. rehabilitasi sosial; b. jaminan sosial; c.
pemberdayaan sosial; dan d. perlindungan sosial
[7]Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu
dalam kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2013), Edisi II, hal. 176
[8] Ayat sebelumnya: [103] “ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. [104] tidaklah mereka mengetahui,
bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan
bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?
[9] [9] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Jakarta: Lentera hati,
Volume V, Cet. V, 2012, hal. 237-238
[10] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Lebanon: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Jilid 3, Edisi II, 2006), hal 165
[11] Lihat penjelasan Quraish Shihab sebelumnya.
[12] Arti “melihat” menurut Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat
Bahasa 2008, hal. 836, adalah
mengetahui; membuktikan
[13] Berkata Ibnu Abbas “Apa yang dinilai baik oleh muslimin baik, maka
dia disisi Allah juga baik”. Lihat Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,
(Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Jilid 3, Edisi II, 2006), hal 166
[14] Ayat ini dalam berbagai kitab tafsir berkenaan dengan pemilik
harta, wali yatim, dan yang sedang menderita sakit, namun Sayyid Thanthawi
berpendapat ayat ini ditujukan kepada semua pihak siapapun, karena semua
diperintahkan untuk berlaku adil, berucap benar dan tepat, dan semua khawatir
akan mengalami apa yang digambarkan ayat ini. Lihat Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah; Jakarta: Lentera hati, Volume II, Cet. V, 2012, hal. 425-426
[15] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Jakarta: Lentera hati, Volume
I, Cet. V, 2012, hal. 109-110.
[16] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Jakarta: Lentera hati, Volume
IV, Cet. V, 2012, hal. 23-25. Lebih lanjut beliau memaparkan pendapat Sayyid
Qutub, bahwa manusia didorong untuk secara bebas bergerak menghadapi alam,
membuka diri, tidak kikir mengungkap rahasia-rahasianya, dan tidak menghalangi
manusia memperoleh bantuan dan pertolongan.
[17] Hammudah Abdalati. Ta’rifun bi Al-Islam, diterjemahkan oleh Nasmay
Lofita Anas, MTA., dengan judul Islam Suatu Kepastian, Riyad: IIFSO, Cet. III,
1407H/1987M, Hal. 13
[18] Al-Wakil Muhammad Al-Sayyid Ahmad. Hadza Al-Dīn Baina Jahl Abnāihi
Wa Kaida A’dāihi. Madinah:Tanpa Nama Penerbit, Cet. I, 1391H/1871M, hal. 65-69
[19] Lihat ‘Abd Al-Rahman bin ‘Abd Al-Khaliq, Al-Wishoya Al-‘Ashr lil
‘Amilin bi Al-Da’wah ilallah Subhanahu wa Ta’ala. Kuwait: Jam’iyah Ihya Turats
Al-Islami, Cet. I 1408H/1988H. Hal 69-85
[20] Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhlui Atas Berbagai
Persoalan Umat. Edisi E-book, hal. 131
[21] Syekh Muhammad Yūsuf Al-Qaradlāwi. Musykilatul Fakri Wa Kaifa
‘ālajahal Islām, diterjemahkan oleh Umar Fanany, B.A, dengan judul Problema
Kemiskinan Apa Konsep Islam. Surabaya: Bina Ilmu, Cet. II, 1982, hal. 62-66
[22] “Tiada seorang muslim pun yang menaburkan benih atau menanam, lalu
seekor burung atau seseorang, atau seekor binatang makan sebagian dari padanya,
melainkan dinilai sebagai sedekah baginya”. (HR. Bukhari). Selain itu, ajaran
Islam menganjurkan agar tidak memanjakan orang lain atau membatasi kreativitas
orang lain, sehingga orang tersebut tidak dapat menolong dirinya sendiri.
Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang ternyata tidak dapat
memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang datang kepada Nabi Saw. mengadukan
kemiskinannya, Nabi Saw. tidak memberinya uang, tetapi kapak agar digunakan
untuk mengambil dan mengumpulkan kayu. Dengan demikian, ajaran Islam tentang
kesejahteraan sosial ini termasuk di dalamnya ajaran yang mendorong orang untuk
kreatif dan bersikap mandiri, tidak banyak bergantung pada orang lain. lihat
Syekh Muhammad Yūsuf Al-Qaradlāwi. Musykilatul Fakri Wa Kaifa ‘ālajahal Islām,
diterjemahkan oleh Umar Fanany, B.A, dengan judul Problema Kemiskinan Apa
Konsep Islam. Surabaya: Bina Ilmu, Cet. II, 1982, hal, 72
[23] Ash-Shadr Muhammad Baqir, Iqtishaduna, diterjemahkan oleh Yudi
dengan Judul Buku Induk Ekonomi Islam. Jakarta: Zahra, Cet. I, 2008, Hal
420-430. Lebih lanjut menurut Ash-Shadr, masalah ini dapat diatasi dengan
mengakhiri kezaliman dan keingkaran manusia, yakni dengan menciptakan hubungan
yang baik antara distribusi dan mobilisasi segenap sumberdaya material untuk
kemakmuran.
[24] Hammudah Abdalati. Ta’rifun bi Al-Islam, diterjemahkan oleh Nasmay
Lofita Anas, MTA., dengan judul Islam Suatu Kepastian, Riyad: IIFSO, Cet. III, 1407H/1987M,
Hal. 280-284
[25]Sanerya Hendrawan, PhD.,
Spiritual Management; From Personal Enlightment Towards God Corporate
Governance, (Bandung: Mizan, Cet. 1, 2009), hal 215-221
[26] Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhlui Atas Berbagai
Persoalan Umat. Edisi E-book, hal. 131
[27] Dari Ibnu Abbas “Rasulullah SAW telah menetapkan wajibnya zakat
fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa, dari perbuatan dan omongan
kotor, dan sebagai suatu hidangan bagi orang miskin” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah,
Imam Malik). Dalam hadis lain “Adapun orang kaya diantara kamu (apabila ia
menunaikan zakat ftrah) maka Allah akan membersihkan kepadanya, dan apabila ia
orang miskin, maka Allah akan mengembalikan kepadanya lebih banyak dari apa
yang ia zakatkan”.
[28] Abu A’la Al-Maudūdī, Nazriyyah Al-Islam Al-Siyasiyyah; Shaut
Al-Haq Katīb Islāmī Syahrī, (Mesir: Al-Ittihad Al-‘ām li Thulāb Jumhuriyyah
Misr, 1876), hal 28
[29] Rasāil Al-Markaz Al-Islami , Al-Ruhāniyyah Al-Ijtimā’iyyah fi
Al-Islam, (Suriah: Al-Markaz Al-Islami, 1385H/1965M), hal. 50-51
[30] Murtadha Mutahhari, Insone Kamil, diterjemahkan oleh Abdillah
Hamid Ba’abud, dengan judul Manusia Seutuhnya. Jakarta: Sadra Press, 2012, hal.
72
[31] Termasuk kewajiban zakat fitrah ditetapkan tidak hanya kepada setiap
individu, namun juga anak dan siapapun yang menjadi tanggung jawab kewalian dan
nafkahnya. Lihat Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Waadillatuhu, diterjemahkan
oleh Abdul Hayyi Al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, Jilid III, Cet. I,
2011, hal. 348
[32] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Jakarta: Lentera hati, Volume
VII, Cet. V, 2012, hal. 71
[33] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Lebanon: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Jilid 5, Edisi II, 2006),
hal 307. Lebih lanjut beliau mengisahkan riwayat dari Ahmad dari Anas
bin Malik RA, dimana seorang sahabat yang memiliki harta meminta petunjuk untuk
membelanjakannya, Rasul SAW bersabda “keluarkan zakat karena ia mensucikan,
sambungkan kekerabatanmu, tunaikan hak peminta-minta, tetangga dan orang
miskin” (HR. Ibnu Majah).
[34] Usman bin al-Aswad mengatakan “sekiranya manusia menginfakan
sebesar uhud dalam taat kepada Allah niscaya bukan pemborosan, namun apabila
membelanjakan satu dirham dalam maksiat kepada Allah SWT itu merupakan
pemborosan”. Dikisahkan oleh Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,
Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Jilid 5, Edisi II, 2006, hal 307.
[35] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Jakarta: Lentera hati, Volume
XV, Cet. V, 2012, hal. 646
[36] Pasal 34 Ayat (1) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945
[37] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Jakarta: Lentera hati, Volume
IV, Cet. V, 2012, hal. 217
[38] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Lebanon: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah. Edisi II, Jilid 3, 2006), hal 361
[39] Burhan Djamaluddin, Konsep Berkah dalam Islam,
http://www.reocities.com/HotSprings/ 6774/j-19.html (diakses 23 Oktober 2013)
[40] Bersandar pada QS. At-Taubah:60, Al-Baqoroh:103 dan hadis Ibnu
Abbas manakala Bani SAW mengutus Muaz bin Jabal ke Yaman untuk mengambil zakat
(HR. Bukhari-Muslim, Jamaah). Lihat Syekh Muhammad Yūsuf Al-Qaradlāwi.
Musykilatul Fakri Wa Kaifa ‘ālajahal Islām, diterjemahkan oleh Umar Fanany,
B.A, dengan judul Problema Kemiskinan Apa Konsep Islam. Surabaya: Bina Ilmu,
Cet. II, 1982, hal, 137-138 dan 236. Di Indonesia pengelolaan zakat telah
diatur dalam UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
[41] Abu A’la Al-Maudūdī, Islamic Way of Life, diterjemahkan oleh Osman
Raliby dengan judul Pokok-pokok pandangan Hidup Muslim, (Bandung : PT.
Al-Ma’arif), hal. 86-89
0 Response to "Konsep Kesejahteraan dalam Islam; sebuah tafsir Tahlili"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR