BEDAH Wahabi dan NU dalam Pandangan Kiai Ali Mustafa Yaqub
April 16, 2017
Add Comment
Faquha.site- Persatuan dan kesatuan umat Islam adalah impian setiap
muslim. Meskipun sudah diperjuangkan dengan sangat maksimal, perbedaan memang
tidak dapat dihindari dan dihilangkan. Dengan demikian, perbedaan dan keragaman
bukanlah masalah, namun jika tidak dikelola dengan baik, justru akan menjadi
sumber masalah. Tidak siap menerima perbedaan dan cenderung
membesar-besarkannya, apalagi hanya menyangkut hal yang tidak prinsip, adalah
sikap yang harus dihindari. Hal yang paling miris dari ekses perbedaan yang
tidak dikelola dengan baik adalah tumbuhnya rasa nyaman dan nikmat dalam
perpecahan dan permusuhan, hanya karena kepentingan sejenak dari beberapa
pihak.
Perbedaan dapat berubah menjadi perpecahan manakala
ditunggangi oleh kepentingan dan tidak dilakukan dialog yang baik. Dalam
konteks Indonesia, Islam yang melembaga dalam banyak ormas juga sangat rawan
mengarah kepada perpecahan. Budaya “katanya” yang menjangkiti umat Islam di
Indonesia turut berkontribusi dalam melahirkan perpecahan karena membawa
informasi yang seringkali bias. Budaya klarifikasi dan membangun persatuan
dalam keberagaman tampaknya hanya akan menjadi cita-cita yang utopis selama
budaya “katanya” masih dibiarkan mewabah. Sikap paling bijak dalam hal ini
adalah membasmi budaya “katanya” tanpa harus menghilangkan perbedaan atau
keragaman ormas. Hal lain yang harus dikedepankan bukanlah sikap mencari-cari
siapa yang salah dan siapa yang benar.
Umat Islam Indonesia seringkali diributkan oleh masalah
perbedaan pemikiran keagamaan yang tidak jarang berujung pada permusuhan.
Syiah, Ahmadiyah, Salafi-Wahabi adalah beberapa contoh gerakan pemikiran
keagamaan yang seringkali terdengar keterlibatannya dalam konflik sosial.
Hingga kini, telah banyak penulis yang menyerukan secara tegas untuk berdamai
dengan Syiah, Ahmadiyah, atau dengan agama apapun di dunia ini. Namun, tampak
sangat sedikit sekali—atau bahkan belum ada—seruan perdamaian antara NU dan Wahhabi.
Buku “Titik Temu Wahabi-NU” atau yang dalam versi Arabnya
berjudul “al-Wahhabiyah wa Nahdlatul Ulama, Ittifaq fi al-Ushul la Ikhtilaf”,
muncul dalam rangka mengisi kekosongan terebut. Tujuannya adalah untuk
menyadarkan akan pentingnya persatuan umat Islam. Jika kesatuan faham adalah
hal yang mustahil, maka persatuan umat adalah hal yang wajib diperjuangkan.
Buku ini lahir pada waktu dan moment yang sangat tepat. Pada saat Indonesia
sedang diributkan oleh masalah konflik sosial keagamaan, dan juga pada saat
menjelang digelarnya Muktamar NU yang ke-89 di Jombang beberapa bulan
mendatang.
Berangkat dari pengalaman pribadinya sebagai putera bangsa
yang lahir, tumbuh, dan besar di lingkungan NU, penulisnya mampu melihat NU
secara mendalam dan tetap kritis-objektif. Pengalaman pribadinya dalam bergaul
dengan orang-orang yang berbeda latar belakang dan pemikiran, membuatnya tidak
berpandangan sempit dalam menyikapi berbagai persoalan sosial keagamaan.
Buku ini merupakan sebuah refleksi pengalaman pribadi penulisnya
yang tidak dapat dirasakan oleh siapapun, meskipun memiliki latar belakang,
lingkungan dan pendidikan yang sama. Intensitas penulisnya dalam bergaul dengan
orang-orang “Wahabi” dan juga orang NU membuatnya dapat menuangkan ide-ide
kritis konstruktif yang orisinal dan mendalam. Buku ini menawarkan sebuah
cita-cita Islam tentang persatuan meskipun tidak satu pemahaman. Isinya sangat
sejalan dengan cita-cita agama yang tertuang dalam al-Quran, Sunnah Nabi, dan
juga cita-cita Bangsa dalam semboyannya, Bhinneka Tunggal Ika.
Secara implisit, buku ini berpesan agar sejarah kelam tidak
boleh dijadikan sebagai dasar untuk balas dendam atau pembenaran atas sikap
saling menyalahkan dan menyesatkan satu sama lain. Sudah selaiknya, sejarah
dijadikan sebagai pelajaran untuk membangun persatuan dalam rangka membenahi
akhlak dan moral umat. Kemampuan penulisnya dalam menyajikan ide-ide besarnya
dalam bahasa yang lugas, simpel, tegas, jelas dan sangat berani itu, patut
mendapatkan apresiasi. Buku ini juga membuktikan bahwa perbedaan itu telah ada
sejak masa-masa ulama Salaf salih, atau sejak generasi sahabat. Tentu, hal ini
telah terjadi jauh sekali sebelum lahirnya gerakan Wahabiyyah dan organisasi
NU. Itulah sejarah yang juga harus diungkap agar informasi seputar kedua
gerakan keagamaan itu dapat lebih berimbang.
Sebagai seorang santri NU dan “sahabat Wahabi”, Penulis buku
ini mampu dengan apik menyajikan pemikirannya tanpa memihak kepada salah
satunya. Bahkan penulisnya tampak sangat berhati-hati dalam mengonfirmasi berita
dan pemikiran yang berkembang di dalam tubuh kedua gerakan keagamaan tersebut.
Hal ini tampak jelas misalnya, sebelum buku ini terbit, penulis meminta
beberapa ulama Wahabi untuk mengoreksi, bukan sekadar konfirmasi kepada
orang-orang awam. Begitu pula ketika memastikan kebenaran pemikiran-pemikiran
ulama NU, seperti pemikiran Imam Hasyim Asy’ari, beliau juga langsung meneliti
kitab-kitab karya beliau langsung lalu mengonfirmasikannya kepada keluarga
besar dan para murid Imam Hasyim Asy’ari yang masih hidup. Dengan demikian,
data-data yang tersaji di dalamnya, tidak hanya bersumber dari
literatur-literatur, apalagi dari budaya “konon katanya”, melainkan juga
data-data empiris di lapangan yang juga dikonfirmasikan langsung kepada
tokoh-tokoh yang otoritatif dari kedua pihak.
Hal yang paling menarik dalam buku ini adalah, ketika
orang-orang Wahabi diduga kuat menolak tawassul, ternyata Imam Ibn Taymiyah
yang merupakan rujukan utama para ulama Wahhabi, justru membenarkan tawassul.
Hal lain yang juga penting untuk digarisbawahi adalah bahwa Wahhabi yang
sebenarnya, tidak identik dengan Neo-Khawarij sebagaimana disangkakan oleh
banyak orang.
Buku ini diawali dengan pembahasan seputar apa dan siapa
sebenarnya Wahhabi. Pada dasarnya orang Wahabi sendiri tidak familiar dengan
istilah tersebut, bahkan merasa “risih” dengan nama Wahabi. Meski demikian,
sebuah harapan besar akan sebuah kemuliaan dari nama yang awalya cenderung
sangat bias dan peyoratif tersebut tidak boleh pudar.
Berikutnya, menyikapi faktor perpecahan Wahhabi-NU, keduanya
harus selalu berintrospeksi diri dan kritis ke dalam, merujuk kepada sumber
otoritatif dalam mencari data dan berita, serta tidak mudah menggeneralisir
perbedaan dan tidak gegabah menghukumi sesuatu. Hal terpenting lain adalah harus
berkomitmen pada jamaah dan ukhuwwah Islam. Kedunaya juga harus waspada
terhadap banyaknya pihak-pihak tak bertanggung jawab yang ingin merusak Islam
dari dalam. Lalu Siapakah yang harus bertanggungjawab atas perpecahan ini?
Kenapa Indonesia dan Saudi sasarannya? Dan bagaimana solusi untuk
menghadapinya? Temukan jawabannya dalam buku kecil ini.
Selanjutnya, ada beberapa temuan menarik tentang kesamaan
Wahabi-NU. Dalam hal-hal yang bersifat prinsip, sedikitnya ada 31 poin kesamaan
antara Wahabi dan NU. Sedangkan perbedaan-perbedaan yang ada hanyalah perbedaan
kecil yang tidak prinsip, sehingga tidak perlu dibesar-besarkan.
Temuan menarik lainnya adalah bahwa Kiai Hasyim sangat
menghargai dan menghormati Wahabi. Ulama-ulama terkemuka NU juga biasa bergaul
dengan ulama-ulama Wahabi. Begitu pula para tokoh Wahabi sangat menghormati
orang-orang NU. Mereka melakukan klarifikasi atas berita-berita miring seputar
NU, serta tidak gegabah menguhukumi keliru terhadap NU. Itulah teladan baik
yang ditunjukkan oleh para tokoh Wahhabi dan NU.
Pada bagian terakhir, buku ini menyerukan pentingnya
persatuan umat Islam. Kita tidak boleh mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang
memecah belah umat. Kita juga harus selalu berada di jalan yang lurus dengan
tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan keributan. Dalam menyikapi perbedaan,
tetaplah pada barisan besar umat Islam.
Meski demikian, sedikitnya ada dua hal yang perlu
diungkapkan lebih tegas lagi dalam buku ini. Pertama, mengingat segmentasinya
adalah untuk masyarakat umum, barangkali akan lebih lengkap jika ditambahkan
panduan praktis yang lebih detil terkait cara mengamalkan hadis “Fa’alaykum bi
al-Sawad al-A’zham.” Hal ini karena dalam konteks masyarakat muslim yang sangat
beragam seperti di Indonesia, hadis tersebut sering disalahgunakan sebagai
pembenaran beberapa kelompok untuk memecah belah umat dengan dalih suara
mayoritas.
Kedua, kiranya ada hal yang sangat penting dikedepankan,
yaitu budaya kritis kedalam, bukan sekadar kritis keluar. Banyak orang yang
sibuk menilai kesalahan orang lain, tapi lupa akan kekurangan dalam dirinya.
Maka, begitupun dengan umat Islam, hendaknya tidak lupa dengan persatuan, hanya
karena sibuk memikirkan musuh bersama, zionisme.
Jika Wahabi dan NU sudah bisa bersatu dan berdamai dengan non-muslim,
kini saatnya seluruh umat Islam bersatu, bukan hanya antara Wahabi-NU saja! ***
Deskripsi buku:
Judul Arab :
al-Wahhabiyyah wa Nahdlatul Ulama: Ittifaq fi al-Ushul La Ikhtilaf
Judul Indonesia : Titik Temu Wahabi-NU
Penulis
: Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
Penerbit :
Maktabah Darus-Sunnah Jakarta, 2015.
Tebal
: 104 halaman (Arab), 120 halaman (Indonesia)
0 Response to "BEDAH Wahabi dan NU dalam Pandangan Kiai Ali Mustafa Yaqub"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR