Etika Mengeluarkan Fatwa
March 1, 2017
Add Comment
FAQUHA.com - Fatwa menempati kedudukan penting dalam masyarakat Islam.
Untuk itulah para ulama telah menyusun seperangkat etika (code of conduct) bagi
mereka yang memberi fatwa. Literatur klasik menyebutnya dengan istilah adabul
fatwa wal mufti wal mustafti. Kode etik ini dibuat sampai terinci seperti cara
menuliskan fatwa di lembaran kertas, tidak boleh berganti pena, memulai dengan
kalimat hamdalah, mengakhiri dengan kalimat Wa Allahu a'lam, menulis nama
mufti, dan seterusnya. Selain hal-hal teknis, kode etik juga mengatur cara
mufti menjawab. Misalnya, berbeda dengan masa sekarang yang banyak meminta
penjelasan dalil dengan detil, kode etik justru menyarankan untuk menjawab
singkat dan jelas dengan kalimat: iya, hukumnya mubah atau haram, benar atau
salah.
Di bawah ini saya petik penjelasan Imam Nawawi dari
muqaddimah kitab al-Majmu' mengenai kode etik berfatwa tersebut. Mari kita
ngaji bersama yuk.
اعْلَمْ أَنَّ هَذَا الْبَابَ مُهِمٌّ جِدًّا فَأَحْبَبْتُ
تَقْدِيمَهُ لِعُمُومِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ وَقَدْ صَنَّفَ فِي هَذَا جَمَاعَةٌ
مِنْ أَصْحَابِنَا مِنْهُمْ أَبُو الْقَاسِمِ الصَّيْمَرِيُّ شَيْخُ صَاحِبِ
الْحَاوِي ثُمَّ الْخَطِيبُ أَبُو بَكْرٍ الْحَافِظُ الْبَغْدَادِيُّ ثُمَّ
الشَّيْخُ أَبُو عَمْرِو بن الصلاح وكل منهم ذكر نفايس لَمْ يَذْكُرْهَا
الْآخَرَانِ: وَقَدْ طَالَعْتُ كُتُبَ الثَّلَاثَةِ وَلَخَّصْتُ مِنْهَا جُمْلَةً
مُخْتَصَرَةً مُسْتَوْعِبَةً لِكُلِّ مَا ذَكَرُوهُ مِنْ الْمُهِمِّ وَضَمَمْتُ
إلَيْهَا نَفَائِسَ مِنْ مُتَفَرِّقَاتِ كَلَامِ الْأَصْحَابِ وَبِاَللَّهِ
التَّوْفِيقُ
Ketahuilah bab ini sangat penting. Saya [Imam Nawawi] ingin
mendahulukannya karena kebutuhan umum menghendaki demikian dan sejumlah kolega
sudah menuliskan tentang ini [kode etik fatwa] diantaranya Abul Qasim
al-Shaymari pengarang kitab al-Hawi; al-Khatib Abu Bakr al-Hafiz al-Baghdadi;
dan Syekh Abu Amr bin al-Shalah. Masing-masing dari mereka telah menyebutkan
hal-hal penting yang belum pernah dibahas sebelumnya. Saya telah mempelajari
ketiga karya mereka dan saya akan mengutip ringkasannya dan menambahkan dari
ucapan kolega yang lain, wa billahi taufiq.
* اعْلَمْ أَنَّ الْإِفْتَاءَ عَظِيمُ الْخَطَرِ كَبِيرُ
الْمَوْقِعِ كَثِيرُ الْفَضْلِ لِأَنَّ الْمُفْتِيَ وَارِثُ الْأَنْبِيَاءِ
صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عليهم وقائم بفرض الكفاية لكنه مُعَرِّضٌ لِلْخَطَأِ
وَلِهَذَا قَالُوا الْمُفْتِي مُوقِعٌ عَنْ اللَّهِ تَعَالَى: وَرَوَيْنَا عَنْ
ابْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ العالم بين الله تعالى وخلقه فينظر كَيْفَ يَدْخُلُ
بَيْنَهُمْ.
Ketahuilah bahwa memberi fatwa adalah perkara yang sangat
penting, posisi yang besar dan utama karena mufti itu adalah pewaris Nabi SAW,
dan mufti ini posisi yang fardhu kifayah tapi dia juga bisa mengandung
kesalahan. Itulah sebabnya dikatakan mufti itu memiliki kedekatan posisi dengan
Allah. Riwayat dari Ibn Munzir, "orang alim itu antara Allah dan
makhlukNya, maka lihatlah bagaimana ia masuk diantara mereka."
وَرَوَيْنَا عَنْ السَّلَفِ وَفُضَلَاءِ الْخَلْفِ مِنْ
التَّوَقُّفِ عَنْ الْفُتْيَا أَشْيَاءَ كَثِيرَةً: مَعْرُوفَةً نَذْكُرُ مِنْهَا
أَحْرُفًا تَبَرُّكًا:
setelah menguraikan posisi penting seorang mufti, Imam
Nawawi mengutip keterangan betapa hati-hatinya para sahabat dan ulama salaf
mengeluarkan fatwa. Berikut petikannya....
وَرَوَيْنَا عَنْ عبد الرحمن ابن أَبِي
لَيْلَى قَالَ أَدْرَكْتُ عِشْرِينَ وَمِائَةً مِنْ الْأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يسئل أَحَدُهُمْ عَنْ الْمَسْأَلَةِ
فَيَرُدُّهَا هَذَا إلَى هَذَا وَهَذَا إلَى هَذَا حَتَّى تَرْجِعَ إلَى
الْأَوَّلِ.
Kami meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Layla yang berkata:
"saya bertemu dengan 120 sahabat Ansar radhiyallah 'anhum. Salah satu dari
mereka ditanya suatu masalah, dan dia meminta yang lain menjawab, yang diminta
kemudian meminta yg lain lagi menjawab, sampai akhirnya balik lagi ke orang
pertama."
وَعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمْ مَنْ أَفْتَى عَنْ كل ما يسئل فَهُوَ مَجْنُونٌ.
وَعَنْ الشَّعْبِيِّ وَالْحَسَنِ وَأَبِي حَصِينٍ بفتح الحاء
التابعين قَالُوا إنَّ أَحَدَكُمْ لَيُفْتِي فِي الْمَسْأَلَةِ وَلَوْ وَرَدَتْ
عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لجمع لها أن أَهْلَ بَدْرٍ:
Dari Ibn Mas'ud dan Ibn Abbas: "siapa yang memberi
fatwa mengenai setiap masalah maka ia orang gila (majnun)." Dari Tsa'bi,
al-Hasan dan Abi Hashayn (tabi'in): "jika salah seorang dari kalian memberi
fatwa dan perkara itu sampai ke Umar bin Khattab, beliau akan kumpulkan para
ahli badr [untuk melawannya]."
وَعَنْ الشَّافِعِيِّ وَقَدْ سُئِلَ عَنْ مَسْأَلَةٍ فَلَمْ
يُجِبْ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ حَتَّى أَدْرِيَ أَنَّ الْفَضْلَ فِي السُّكُوتِ أَوْ
فِي الْجَوَابِ.
وَعَنْ الْأَثْرَمِ سَمِعْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ يُكْثِرُ
أَنْ يَقُولَ لَا أَدْرِي وَذَلِكَ فِيمَا عُرِفَ الْأَقَاوِيلُ فِيهِ.
وَعَنْ الْهَيْثَمِ بْنِ جَمِيلٍ شَهِدْتُ
مَالِكًا سُئِلَ عَنْ ثَمَانٍ وَأَرْبَعِينَ مَسْأَلَةً
فَقَالَ في ثنتين وَثَلَاثِينَ مِنْهَا لَا أَدْرِي.
Imam Syafi'i ketika ditanya satu masalah dan beliau tidak
menjawabnya. Pas ditanya mengapa diam saja, beliau menjawab, "sampai saya
tahu apakah lebih baik diam atau memberi jawaban". Dari Al-Atsram bahwa ia
mendengar Ahmad bin Hambal seringkali berkata 'saya tidak tahu'. Dari
al-Haytsam: saya meyaksikan Imam Malik ditanya 48 masalah, dan beliau menjawab
saya "tidak tahu" dalam 32 masalah [hanya sedikit sekali yang beliau
jawab].
وَعَنْ مَالِكٍ أَيْضًا انه ربما كان يسئل عَنْ خَمْسِينَ
مَسْأَلَةً فَلَا يُجِيبُ فِي وَاحِدَةٍ مِنْهَا وَكَانَ يَقُولُ مَنْ أَجَابَ فِي
مَسْأَلَةٍ فَيَنْبَغِي قَبْلَ الْجَوَابِ أَنْ يَعْرِضَ نَفْسَهُ عَلَى
الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَكَيْفَ خَلَاصُهُ ثُمَّ يُجِيبُ: وَسُئِلَ عَنْ
مَسْأَلَةٍ فَقَالَ لَا أَدْرِي فَقِيلَ هِيَ مَسْأَلَةٌ خَفِيفَةٌ سَهْلَةٌ
فَغَضِبَ وَقَالَ لَيْسَ فِي العلم شئ خَفِيفٌ.
Diriwayatkan juga dari Imam Malik bahwa beliau ditanya 50
masalah dan tak satupun beliau memberi jawaban. Beliau sering berkata:
"sesiapa yang suka memberi jawaban sebaiknya sebelum menjawab ia bayangkan
dirinya berada di antara surga dan neraka, dan memikirkan bagaimana nasibnya
kelak, baru kemudian ia memberi jawaban." Dalam satu kesempatan Imam Malik
ditanya satu masalah dan ia menjawab 'saya tidak tahu'. Kemudian si penanya
berkata, 'ini kan masakah ringan'. Imam Malik menjadi marah dan berkata: 'tidak
ada hal ringan dalam ilmu pengetahuan!'
وقال أبو حنيفة لولا الْفَرَقُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى أَنْ
يَضِيعَ الْعِلْمُ مَا أَفْتَيْتُ يَكُونُ لَهُمْ الْمَهْنَأُ وَعَلَيَّ الْوِزْرُ
وَأَقْوَالُهُمْ فِي هَذَا كَثِيرَةٌ مَعْرُوفَةٌ
Berkata pula Abu Hanifah: "jika karena tidak takut
kepada Allah bahwa ilmu akan lenyap saya tidak akan memberi fatwa. Mereka yang
bertanya dapat keuntungan sementara saya kena beban tanggungjawab."
Pernyataan para ulama diatas [mengenai kehati-hatian memberi fatwa] sangat
banyak dan sudah diketahui bersama.
[Sekarang tiba saatnya saya mengutip satu bagian penting
dari kode etik berfatwa ini yang cukup relevan dengan situasi aktual]
قَالَ الصَّيْمَرِيُّ وَالْخَطِيبُ إذَا سُئِلَ عَمَّنْ قَالَ
أَنَا أَصْدَقُ مِنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَوْ الصَّلَاةُ لَعِبٌ
وَشِبْهَ ذَلِكَ فَلَا يُبَادِرُ بِقَوْلِهِ هَذَا حَلَالُ الدَّمِ أَوْ عَلَيْهِ
الْقَتْلُ بَلْ يَقُولُ إنْ صَحَّ هَذَا بِإِقْرَارِهِ أَوْ بِالْبَيِّنَةِ
اسْتَتَابَهُ السُّلْطَانُ فَإِنْ تَابَ قُبِلَتْ تَوْبَتُهُ وَإِنْ لَمْ يَتُبْ
فَعَلَ بِهِ كَذَا وَكَذَا وَبَالَغَ فِي ذَلِكَ وَأَشْبَعَهُ
Berkata al-Shaymari dan al-Khatib: "jika seseorang
berkata 'saya lebih jujur ketimbang Nabi Muhammad' atau 'shalat itu cuma
permainan' atau ucapan sejenis [yang berupa penistaan agama] maka seorang mufti
tidak seharusnya terburu-buru mengeluarkan fatwa 'darah orang ini halal' atau
'orang ini harus dibunuh'. Sebaiknya mufti berkata 'jika ucapan semacam itu
sudah terverifikasi dan terkonfirmasi maka penguasa harus meminta orang
tersebut bertaubat. Jika ia bertaubat/meminta maaf maka itu harus diterima.
Tetapi kalau ia tidak mau bertaubat/memint amaaf maka penguasa dapat melakukan
tindakan ini dan itu."
قَالَ وَإِنْ سئل عمن تكلم بشئ يَحْتَمِلُ وُجُوهًا يُكَفَّرُ
بِبَعْضِهَا دُونَ بَعْضٍ قَالَ يسئل هَذَا الْقَائِلَ فَإِنْ قَالَ أَرَدْتُ
كَذَا فَالْجَوَابُ كَذَا:
Dan jika mufti ditanya mengenai seseorang yang mengucapkan
kalimat yang bisa membawanya kepada kekufuran, mufti sebaiknya merespon: 'orang
yang mengucapkan hal ini harus ditanya terlebih dahulu. Jikalau yang dimaksud
dari kalimatnya adalah demikian maka hukumnya seperti demikian.'
Kawan,
Demikian petikan dari Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu'. Ini
adalah salah satu kitab rujukan utama dalam fiqh. Seperti kita telah mengaji
bersama di atas, seorang mufti bukan saja harus berhati-hati dalam mengeluarkan
fatwa tapi juga harus melakukan verifikasi, konfirmasi dan klarifikasi akan
ucapan seseorang sebelum kemudian mengeluarkan fatwa mengenai ucapan tersebut.
Pendek kata, Imam Nawawi menghendaki tabayun dulu lah!
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan
Dosen Senior Monash Law School
0 Response to "Etika Mengeluarkan Fatwa"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR