Imam al-Ghazali “Kajian tentang imamah (khilafah) bukan termasuk hal yang penting
February 16, 2017
Add Comment
Faquha.com Urgensi khilafah dalam ranah
politik Islam sebagai simbol pemer satu kaum Muslimin dan lambang kejayaan umat
Islam di masa silam memang benar. Para ulama telah memaparkan pentingnya
khilafah serta segala hal yang terkait dengannya dalam kitab-kitab mereka.
Tetapi lebih penting dari itu, harus dijelaskan pula bahwa khilafah bukan
termasuk rukun iman dan bukan pula rukun Islam.
Hujjatul Islam al-Ghazali berkata:
“Kajian tentang imamah (khilafah) bukan termasuk hal yang penting. Ia juga
bukan termasuk bagian studi ilmu rasional, akan tetapi termasuk bagian dari
ilmu fikih (ijtihad ulama). Kemudian masalah imamah berpotensi melahirkan sikap
fanatik. Orang yang menghindar dari menyelami soal imamah lebih selamat dari
pada yang menyelaminya, meskipun ia menyelaminya dengan benar, dan apalagi
ketika salah dalam menyelaminya”. (al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Beirut:
al-Hikmah, 1994), hal. 200, (edisi Muwaffaq Fauzi al-Jabr).
Fatwa al-Azhar juga menegaskan
bahwa: “Sistem khilafah, imarah, pemerintahan, presiden republik dan lainnya
adalah sekedar sebuah istilah, bukan termasuk nama dalam agama dan bukan hukum
agama” (Fatawa al-Azhar 7/359)
Usia Khilafah Hanya 30 Tahun
Sabda Rasulullah bukanlah sekedar
ucapan yang berdasarkan nafsu, melainkan berdasakan wahyu kepadanya (al-Najm:
3-4), dalam masalah Khilafah Rasulullah telah membatasinya dengan masa, tidak
berlaku untuk selamanya. Rasulullah Saw bersabda: “al-Khilafatu fi ummatii
tsalaatsuna sanatan, tsumma mulkun ba’da dzalika”. Artinya: “Usia khilafah
dalam umatku adalah 30 tahun, kemudian setelah itu adalah sistem kerajaan” (HR
Ahmad No 21978 dan Turmudzi No 2226, ia mengatakan: ‘Hadis ini hasan’)
Kebenaran hadis ini telah diteliti
oleh ahli hadis al-Hafidz as-Suyuthi, beliau mengatakan: “Masa Abu Bakar
menjadi Khalifah adalah 2 tahun, 3 bulan dan 10 hari. Umar adalah 10 tahun, 6
bulan dan 8 hari. Utsman adalah 11 tahun, 11 bulan dan 9 hari. Ali adalah 4
tahun, 9 bulan dan 7 hari” (Tuhfat al-Ahwadzi Syarah Sahih Turmudzi 6/8). Jika
digenapkan maka telah sesuai dengan hitungan Rasullah, yaitu sekitar 30 tahun
Kesalahan Memaknai Hadis Datangnya
Khilafah
Hudzaifah berkata: “Sesungguhnya
Nabi r bersabda: “Kenabian akan menyertai kalian selama Allah menghendakinya,
kemudian Allah I mengangkat kenabian itu bila menghendakinya. Kemudian akan
datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian dalam waktu Allah menghendakinya.
Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang
kerajaan yang menggigit dalam waktu yang Allah kehendaki. Kemudian Allah
mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai
dengan jalan kenabian. Lalu Nabi r diam”.
Menurut sebagian kalangan, hadits
Hudzaifah di atas telah membagi kepemimpinan umat Islam pada 5 fase. Pertama,
fase kenabian yang dipimpin langsung oleh Nabi r. Kedua, fase khilafah yang
sesuai dengan minhaj al-nubuwwah yang dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin. Ketiga
dan keempat fase kerajaan yang diktator dan otoriter. Kelima, fase khilafah
al-nubuwwah yang sedang dinanti-natikan kalangan tertentu.
Asumsi tentang hadits ini adalah
tidak benar. Karena menurut semua ulama, yang dimaksud dengan kabar gembira
(bisyarah) khilafah al-nubuwwah pada fase kelima dalam hadits di atas adalah
khilafahnya Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H). Di antara ulama tersebut 1)
al-Imam Ahmad bin Hanbal, 2) Abu Bakar al-Bazzar, 3) Abu Dawud al-Thayalisi, 4)
Abu Nu’aim al-Ashfihani, 5) al-Hafizh al-Baihaqi, 6) al-Hafizh Ibn Rajab
al-Hanbali, 7) al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, dan Syaikh Yusuf bin Isma’il
al-Nabhani.
Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani
al-Asy’ari al-Syafi’i, ulama Sunni, kakek Syaikh Taqiyyudin al-Nabhani, pendiri
Hizbut Tahrir, menyebutkan dalam kitabnya, Hujjatullah ‘ala al-’Alamin fi
Mu’jizat Sayyid al-Mursalin, hal. 527, bahwa yang dimaksud dengan khilafah
al-nubuwwah dalam hadits Hudzaifah tersebut adalah khilafahnya Umar bin Abdul
Aziz.
Pandangan para ulama diatas telah
sesuai dengan redaksi hadis yang sering sengaja tidak disampaikan sebagai
lanjutan riwayat diatas. Yaitu setelah Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah,
maka Yazid bin Nu’man berkata kepadanya: “Saya harap Umar bin Abdul Aziz
sebagai Amir al-Mu’minin (Khalifah) setelah masa raja yang otoriter”. Kemudian
Umar bin Abdul Aziz senang dengan hal itu dan mengaguminya (HR Ahmad 4/273)
Hadis Tentang Banyaknya Pemimpin
Umat Islam
Abu Hazim berkata: “Saya belajar kepada
Abu Hurairah selama lima tahun. Aku pernah mendengarnya menyampaikan hadits
dari Nabi r yang bersabda: “Kaum Bani Israil selalu dipimpin oleh para nabi.
Setiap ada nabi meninggal, maka akan diganti oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya
tidak ada nabi sesudahku. Dan akan ada para khalifah yang banyak.” Mereka
bertanya: “Apakah perintahmu kepada kami?” Beliau menjawab: “Penuhilah dengan
membai’at yang pertama, lalu yang pertama. Penuhilah kewajiban kalian terhadap
mereka, karena sesungguhnya Allah akan menanyakan mereka tentang apa yang
menjadi tanggung jawab mereka” (HR Muslim No 1842)
Al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq
al-Ghumari (Ulama Sunni), menjelaskan dalam kitabnya, Muthabaqat al-Ikhtira’at
al-’Ashriyyah limaa Akhbara bihi Sayyid al-Bariyyah, hal. 43, bahwa Nabi r
telah mengabarkan, “Umat Islam akan dipimpin oleh banyak penguasa (tanpa
penguasa tunggal).”
Bahtsul Masail Tentang Khilafah
Para ulama di Jatim telah melakukan
Bahtsul Masail (seperti Komisi Fatwa MUI) tentang Khilafah di Pondok Pesantren
Zainul Hasan, Genggong Pajarakan Probolinggo, 21-23 Syawal 1428 H. / 02-04
Nopember 2007. Keputusannya menyatakan secara tegas, bahwa Tidak ada dalil nash
yang mewajibkan berdirinya khilafah, karena keberadaan sistem khilafah adalah
bentuk ijtihadiyah.
Dalil empirisnya adalah sebelum
Rasulullah Saw wafat sama sekali tidak ada wasiat tentang siapa calon Khalifah
(pengganti Nabi) dan bagaimana sistem itu dijalankan. Ternyata Rasulullah
menyerahkan kepada para sahabat itu untuk menentukan sistem yang akan dijalankannya
sepeninggal Raulullah Saw.
Kejayaan Islam Bukan Karena
Khilafah
Point utama kejayaan Islam bukan
karena khilafah, kalaupun karena khilafah itu tidak lepas dari kehebatan
personal dan pribadi para Khulafa’ ar-Rasyidin yang banyak dipuji oleh
Rasulullah dalam hadis-hadis sahih. Namun secara umum Rasulullah memberi
penjelasan yang indah: “Inna shalaaha awwali hadzihi al-ummati bi az-zahaadati
wa al-yaqiini wa halaakuhaa bi al-bukhli wa al-amali”. Artinya: “Sungguh
kejayaan generasi awal umat ini adalah dengan sifat zuhud (tidak cinta dunia)
dan keyakinan. Dan kehancuran generasi akhir umatku adalah dengan kikir dan
angan-angan panjang” (HR Ahmad dalam az-Zuhd, Thabrani dan Baihaqi dari Amr bin
Syuaib)
Penutup
Mengenang kembali dan bernostalgia
tentang kejayaan Islam di masa Khalifah hanyalah semakin membuat mimpi yang tak
berkesudahan. Sebab di samping pentingnya membuat sebuah sistem, ada hal yang
jauh lebih penting, yaitu membentuk kesalehan individu, komunitas dan akhirnya
akan terbangun kesalehan sosial, sebagaimana Rasulullah Saw telah berhasil
menjadikan sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali sebagai pemimpin yang luar
biasa hebatnya sebagai pengganti Rasulullah Saw.
Sementara dari segi dalil,
mendirikan khilafah yang dikumandangkan saat ini bukanlah berdasarkan dalil
yang pasti dan akurat, melainkan berdasarkan asumsi yang justru bertolak
belakang dengan pendapat mayoritas ulama. Maka tepatkah mendirikan ‘sesuatu yang
besar’ yang didasarkan pada pondasi agama yang rapuh?
0 Response to "Imam al-Ghazali “Kajian tentang imamah (khilafah) bukan termasuk hal yang penting"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR