Demo Kasus Ahok hanya Pengalihan Isu dari Freeport; Terlalu Fokus Jakarta, Lupa Perang Sesungguhnya;
February 23, 2017
Add Comment
FAQUHA.site - Saya ingin sekali menahan diri untuk tidak berkomentar.
Karena bagi saya, komentar yang tidak sedang ditujukan dalam rangka bercanda
memiliki tanggung jawab ilmu di belakangnya. Lebih-lebih apa yang ingin saya
sampaikan hanya sebatas opini dan bukan taraf analisa.
Indonesia menjadi sedemikian tegangnya. Paling tidak itu
yang tertangkap dalam semarak perang komentar di media massa. Apalagi jika
bukan tentang Jakarta. Tentang pemilihan gubernur dan beserta anasir-anasir
yang terkadang terlalu manja. Anasir yang tak mampu bersikap matang dalam
memetakan masalah, apalagi kalau tak dikatakan anasir manja. Maka, sedari awal
saya menegaskan bahwa tulisan ini hanya opini, bukan analisis data, meskipun
dasar penulisannya menggunakan data.
Saya berpaling dari Jakarta. Jauh ke seberang timur, di
Papua, saat sebagian mata meliput hanya Jakarta. Di ujung pulau sana, tepatnya
di Kabupaten Mimika, sedang terjadi duka. Ribuan karyawan PT. Freeport
Indonesia (PTFI) terancam PHK. Alasannya? Bersitegang dengan pemerintah terkait
kepastian investasi dan Kontrak Karya (KK). Tentu Anda bisa mencari sendiri
dari kapan PTFI berstatus KK, apa privilege-nya, dan bahkan sejarah berdirinya.
Tapi bukan itu yang ingin saya soroti. Opini saya berkutat terhadap tenun
kebangsaan yang mungkin akan tercabik-cabik karena tindakan tak hati-hati—kalau
tidak bisa dibilang ceroboh—oleh Pemerintah RI. Agar lebih lugas, saya ingin
mengemukakan opini saya per poin.
Nasionalisasi Freeport?
Bukan. Bagi saya menggelikan. Bagaimana tidak? PTFI pernah
menawarkan divestasi 10,64 persen kepada Indonesia. PT. Antam, Tbk saat itu
tidak sanggup dengan tawaran yang diberikan oleh PTFI. Padahal kondisi saat itu
bisa dibilang cukup tepat. Freeport mendapat momentum berturut-turut yang
menyebabkan nilai sahamnya turun. Dimulai dengan runtuhnya tambang Big Gossan
yang menewaskan 34 orang pekerja, pembatasan ekspor mineral karena kebijakan
smelter, dan demo karyawan SPSI membuat saham Freeport turun menjadi 2,4 dollar
per lembar. Saat itu tidak ada ambisi ngotot pemerintah untuk melakukan
divestasi. Dan memaksa melakukan divestasi sekarang saat harga tembaga sedang
tinggi, adalah hal yang cukup membuat bertanya.
Apa yang ada di sebalik pengetatan peraturan pemerintah?
Sebatas penegakan hukum? Jikalau memang secara naif jawabannya iya, maka
ke-naif-an itu bisa membuat bumerang jika tidak memetakan masalahnya dengan
sangat apik (akan dijelaskan kemudian). Tapi mengingat FI diwarnai aspek-aspek
kongkalikong dan tawar-menawar politis, rasanya bukan jika alasan Pemerintah RI
ngotot hanya sebatas penegakan hukum.
Dengan tetiba menawar 50 persen lebih divestasi saham adalah
hal yang konyol bagi saya. Meskipun saya sangat setuju jika PTFI
dinasionalisasi dengan cara yang santun dan memberi porsi yang jelas terhadap
pembangunan Papua. Perubahan kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK), pelarangan ekspor dengan alasan pembangunan smelter bisa jadi
cara untuk menekan saham FI sehingga lebih murah ketika naik ke arbitrase
internasional. Tapi tentunya tak mudah mengingat harga mineral juga sedang
bagus. Apalagi melihat sejarah bahwa pemerintah tak sanggup membeli 10,64
persen saham Freeport sebelumnya, maka dimungkinkan Pemerintah meminta bantuan
pihak ketiga untuk membeli saham FI. Jika pihak ketiga ini bukan BUMN dan harus
perusahaan dari negara lain—yang mungkin sedang mesra dengan pemerintah, maka
apa bedanya dengan pengelolaan di bawah manajemen Freeport McMoran? Kecuali
jika ini hanya semata gertakan menuju Pilpres 2019.
PHK massal?
Bisa jadi. PHK sudah dimulai sejak Jumat, 10 Februari 2017
dengan dipulangkannya 10 ekspatriat senior staff PTFI. Beberapa karyawan juga
sudah mulai dirumahkan. Interoffice Memo terakhir, pihak PTFI masih keberatan
dengan syarat-syarat yang diajukan pemerintah. Keberatan itu antara lain
ketidakjelasan keamanan investasi dalam jangka panjang. Hal ini wajar,
mengingat PTFI sedang berinvestasi besar-besaran untuk mengalihkan produksi
total melalui underground operation—setelah ditutupnya tambang terbuka
Grasberg. Jika tidak ada kesepakatan antara FI dan Pemerintah, tak menutup
kemungkinan ada pengurangan karyawan dengan perkiraan konservatif mencapai
sepertiga dari total jumlah karyawan. Tentunya hal ini akan berdampak langsung
terhadap ekonomi Papua dan menambah pengangguran 10.000 orang di Indonesia.
Pengaruh Freeport di Papua
Freeport sangat berpengaruh di Papua. Terlebih di Kabupaten
Mimika. Ambillah contoh rerata sumbangan FI dari 2009-2011 sebesar 53,4 persen
untuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua dan 95,5 persen untuk PDRB
Mimika. Sangat bisa dibayangkan jika tiba-tiba ada masa kekosongan di mana
Freeport tidak beroperasi—jika tidak diambil alih dengan baik dan cerdas.
Ditambah dengan persepsi masyarakat Papua terhadap Indonesia yang terlanjur
menganggap Indonesia sebagai musuh akibat faktor ketidakadilan dalam
pembangunan daerah. Lebih-lebih akibat operasi militer tahun lalu yang memakan
korban yang tak sedikit. Nampaknya FI juga bermain cantik di sini. Kita tahu
benar dalam tahapan peradaban manusia—tanpa pernah sedikitpun menganggap rendah
budaya Papua—ada proses-proses yang harus dilalui. Saya pribadi masih
menganggap apa yang terjadi di sekitaran area kerja PTFI adalah shock culture.
Tidak semua 7 suku yang terkena dampak terhadap proses kerja
FI siap dengan adanya budaya baru yang dibawa Freeport. Jikalau memang FI
berkomitmen terhadap pembangunan Papua, maka tak lama setelah FI berdiri—paling
tidak 10 tahun dari berdirinya, PTFI memberi perhatian terhadap pendidikan SDM
Papua secara serius dan merata. Pada kenyataannya tidak. Freeport memilih hanya
menyerahkan dana 1 persen dari pendapatan kotor untuk “pengembangan” masyarakat
7 suku. Saya sebut “pengembangan” karena dari sejak 1967 saat Ertsberg
ditambang, tidak ada perubahan signifikan dari pengelolaan daerah.
Perkembangan wilayah tak hanya diukur dari
infrastruktur—walaupun infrastruktur tersebut juga berguna langsung untuk FI
sendiri—tapi juga dari cara pengelolaan infrastruktur. Dan semua itu bermula
dari pendidikan dan asimilasi dengan budaya setempat. Pada kenyataannya tidak
ada perubahan signifikan dari pendidikan dan layanan kebutuhan dasar di Papua.
Uang pengembangan itu justru seperti suap kepada beberapa pihak untuk tidak
perlu pintar-pintar mencermati masalah Freeport.
Di mata sebagian masyarakat Papua pada umumnya, Freeport
seperti dewa, yang selalu mampu mengeluarkan uang. Ditambah kebencian dan
dendam akibat luka lama ketidakadilan oleh Pemerintah Indonesia, Freeport
seperti mendapat angin segar atau kartu As untuk memainkan peran sebagai
penguasa tunggal di sana. Jika Anda pergi ke area tambang FI, adalah wajar
untuk menemukan lambang bendera Papua merdeka di tas, helm, dan atribut
pekerja. Terlebih jika pertemuan OPM dapat dilakukan di suatu pulau dengan
yatch yang cukup mewah bersama bule-bule, tentunya Anda akan bertanya dari mana
dana tersebut. Saya tak hendak mengatakan FI berada di balik semua itu. Bisa
iya, bisa juga tidak. Tapi jika FI memegang kartu As dari proses
integrasi-disintegrasi bangsa, maka saya katakan: iya.
Geopolitik Papua
Saya teringat ketika Presiden Soekarno getol memerintahkan
untuk merebut Papua kembali ke tangan Indonesia hingga mengobarkan Yos Sudarso
dan teman-temannya. Saya ingat juga kenapa Jenderal McArthur membangun
pangkalan perang di Papua. Ya, dengan natural resources sebanyak itu, dan
kondisi geogragis yang mendukung, Papua menjadi salah satu kunci penting di
wilayah pasifik. Bagi saya, saya melihat Papua seperti bagian tembok besar dari
blok US. Dari Jepang, Filipina, Papua, hingga Australia. Oleh karena itu, bukan
tak memungkinkan jika US juga akan mempertahankan pengaruhnya di wilayah ini.
Terlebih jika yang akan menggantikannya adalah dari blok yang berseberangan
dengannya. Pertanyaannya, jika asumsi saya benar, apakah dari blok-blok
tersebut ada yang peduli dengan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia? Tentu
tidak. Jika Freeport digoyang pemerintah sedemikian hebatnya, sudah siapkah
dengan segala kemungkinan resiko yang terjadi? Termasuk disintegrasi bangsa?
Hari-hari ini masyarakat Indonesia sangat getol dengan
identitas barunya sebagai pengamat dan analis. Bahkan ada yang energinya tak
habis dengan hanya sekedar membaca (mencari) berita, dianalisa sekenanya, dan
dioper sana sini di grup-grup sosial media. Di tengah hilangnya gravitasi
berpikir, dan keasyikan menghakimi diri sendiri sebagai representasi pihak
putih dan menyerang orang lain sebagi pihak hitam, masyarakat kita nampaknya
sedang dalam turbulence yang luar biasa—jika boleh meminjam istilah mbah Nun di
tulisan beliau Pandawayudha di Kompas lalu—dari ketidaksiapan era millenial.
Hilangnya sikap sareh dari generasi tua, dan tumbuhnya
jumawa dan sikap kesusu di generasi muda, menjadikan kita tak hanya menjadi
korban dari pertikaian antar suku dan bangsa, tapi juga subjek pembuat eskalasi
pertikaian yang lebih besar. Dan nampaknya hingar bingar Jakarta selalu nampak
menarik bagi generasi millenial untuk sekedar unjuk bahwa dirinya mampu
beranalisa. Untuk menampakkan siapa yang benar dan siapa yang salah, meskipun
sebagian mereka hanya memahami dari apa yang nampak di permukaan saja tanpa
melakukan laku kesabaran untuk meneliti lebih dalam ke mana arah angin membawa
biduk bernama Bangsa Indonesia. Atau minimal memperlihatkan laku kesabaran
untuk tidak segera menghakimi dan menjadi penyeimbang di tengah turbulence
kapal negara kita.
(judul di edit ulang oleh redaktur FAQUHA.com)
Aditya Wijaya
Mahasiswa S2 Water Resources Engineering, Leibniz Universitat Hannover, Jerman. Asli dari Yogyakarta.
0 Response to "Demo Kasus Ahok hanya Pengalihan Isu dari Freeport; Terlalu Fokus Jakarta, Lupa Perang Sesungguhnya; "
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR